Di antara patokan dasar Islam mengenai jual beli nan kudu diperhatikan baik oleh penjual maupun oleh pembeli adalah kewenangan khiyar. Dalam bisnis, khiyar menjadi pedoman agar kedua belah pihak tidak mengalami kerugian alias penyesalan setelah berlangsungnya sebuah janji transaksi, misalnya kerugian nan berangkaian dengan peralatan ataupun nilai nan telah disepakati.
Lalu, apa itu khiyar?
Merujuk ke dalam bahasa Arab, kata ‘khiyar’ merupakan corak masdar dari kata kerja ‘Al-Ikhtiyar’ yang artinya dalam bahasa kita, “memilih dan menyaring.” [1]
Sedangkan menurut istilah mahir fikih, khiyar maknanya adalah “hak orang nan melangsungkan sebuah janji untuk memilih dan menentukan bagi dirinya sesuatu nan terbaik antara dua hal: meneruskan janji perjanjian alias membatalkannya.”
Dalam fikih Islam, kewenangan khiyar mempunyai beragam rupa dan bentuk. Di antaranya ada nan disepakati bakal keabsahannya dan kebolehannya dan di antaranya juga ada nan tetap diperselisihkan hukumnya.
Doktor Abdul Sattar Abu Ghadah telah mengumpulkan pembahasan mengenai khiyar ini dalam salah satu jurnal ilmiah karyanya. Jurnal inilah nan menjadi referensi kita di dalam mengenal dan mempelajari beragam macam khiyar pada pembahasan fikih muamalah kita ke depannya.
Pembahasan khiyar kita, hanya kita cukupkan pada empat macam khiyar nan paling krusial dan berkesempatan besar terjadi pada sebagian besar corak janji nan ada. Dan itu lantaran memandang besarnya kebutuhan manusia bakal keempat macam kewenangan khiyar ini. Keempatnya adalah: khiyar majelis, khiyar syarat, khiyar penglihatan, dan khiyar cacat/aib.
Hak khiyar pertama: khiyar majelis
Apa itu khiyar majelis?
Khiyar majelis merupakan khiyar nan ditetapkan dan diakui oleh hukum Islam, meskipun salah satu dari pihak nan melangsungkan janji tidak menyaratkannya. Tujuannya adalah menegakkan keadilan di antara manusia dan menyelesaikan perselisihan nan terjadi di antara mereka serta mencegah terjadinya kerugian dan ancaman bagi seseorang.
Pengertian khiyar majelis adalah: “Tetapnya dan adanya kewenangan memilih bagi kedua pihak nan melangsungkan janji untuk meneruskan perjanjian janji alias membatalkannya, (hal ini berlangsung) selama keduanya tetap berada di dalam majelis (tempat) nan sama dan belum berpisah badan.”
Saat seorang penjual dan pembeli bermufakat untuk melangsungkan sebuah janji jual beli dalam sebuah tempat, janji tersebut belumlah menjadi lazim selama keduanya tetap berada di dalam satu tempat (majelis) nan sama. Boleh bagi salah satu dari keduanya untuk menarik kata-katanya dan membatalkan akad. Adapun jika majelis janji tersebut telah selesai dengan berpisahnya kedua belah pihak, maka sudah tidak ada lagi kewenangan membatalkan janji (khiyar) bagi kedua orang nan melangsungkan janji tersebut dan akadnya pun menjadi janji lazim [2].
Khiyar hanya bertindak pada akad-akad nan berasosiasi dengan tukar-menukar harta, baik itu janji jual beli maupun janji sewa menyewa. Khiyar ini tidak bertindak pada akad-akad selainnya.
Akad nikah misalnya, maka tidak ada khiyar di dalamnya menurut kesepakatan ulama. Sehingga, mereka nan melangsungkan janji nikah, maka tidak mempunyai kewenangan untuk membatalkan janji tersebut meskipun tetap di dalam majelis janji nan sama.
Mazhab mahir fikih dalam menetapkan khiyar majelis
Para ustadz berbeda pendapat mengenai penetapan adanya khiyar majelis menjadi dua pendapat:
Pendapat pertama: ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah beranggapan bakal adanya khiyar majelis bagi pihak penjual maupun pembeli selama keduanya tetap berapa dalam majelis (tempat) janji nan sama. Mereka beralasan dengan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
الْبَيِّعانِ بالخِيارِ ما لَمْ يَتَفَرَّقا، فإنْ صَدَقا وبَيَّنا بُورِكَ لهما في بَيْعِهِما، وإنْ كَذَبا وكَتَما مُحِقَ بَرَكَةُ بَيْعِهِما.
“Dua orang nan melakukan jual beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan alias membatalkan jual beli) selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya jujur dan menampakkan dagangannya, maka keduanya diberkahi dalam jual belinya. Namun, andaikan keduanya menyembunyikan dan berdusta, maka bakal dihapus keberkahan jual beli keduanya.” (HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532)
Khiyar nan dimaksudkan di dalam sabda adalah khiyar majelis, dan perpisahan nan dimaksudkan di dalam sabda adalah berpisahnya badan keduanya sebagaimana perihal ini dikemukakan juga oleh sabahat Ibnu Umar dan Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhuma. Hal ini juga dikuatkan dengan hadis,
ما لم يتفرَّقا وكان جميعًا
“Selama keduanya belum berpisah dan mereka tetap bersama-sama (satu majelis).” (HR. Bukhari no. 2112 dan Muslim no. 1531)
Pendapat kedua: para ustadz Hanafiyyah dan Malikiyyah beranggapan bahwa khiyar majelis tidaklah ada, baik itu bagi penjual maupun pembeli. Sebuah janji menjadi lazim hanya dengan munculnya ucapan janji (ijab dan kabul) dari kedua pihak dan selesainya mereka dari janji mereka. Dalil mereka adalah,
Pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِۗ
“Wahai orang-orang nan beriman! Penuhilah janji-janji.” (QS. Al-Ma’idah: 1)
Mereka nan tidak jadi melangsungkan sebuah akad, meskipun itu dilakukan sebelum bepisahnya badannya dengan orang nan dia ajak bertransaksi, maka dia terhitung tidak memenuhi janji.
Kedua: Dalil sabda nan digunakan oleh pendapat pertama,
الْبَيِّعانِ بالخِيارِ ما لَمْ يَتَفَرَّقا…
“Dua orang nan melakukan jual beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan alias membatalkan jual beli) selama keduanya belum berpisah…” (HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532)
Oleh Hanafiyah mereka maknai dengan khiyar qabul dan buka khiyar majelis. Bagaimana penjelasannya?
Ketika salah satu pihak mewajibkan sesuatu pada sebuah akad, pihak lainnya mempunyai kewenangan khiyar qabul. Jika dia berkehendak, maka dia boleh menerima apa nan ditawarkan oleh pihak pertama tersebut. Jika pun dia berkemauan untuk menolaknya, maka itu juga diperbolehkan. Jual beli tersebut tidaklah terwujud dan menjadi sah, selain pihak kedua menerima tanggungjawab ataupun tawaran nan diberikan oleh pihak pertama.
Mereka juga memaknai ‘perpisahan’ di dalam sabda dengan ‘selesainya ucapan’, ialah andaikan pihak pertama mewajibkan alias menawarkan sesuatu, lampau kemudian pihak kedua menolaknya, ataupun ketika pihak pertama menarik tawaran (kewajiban) nan yang dia tawarkan tersebut sebelum pihak kedua menyatakan persetujuannya.
Adapun Malikiyyah, maka mereka memaknai khiyar pada sabda tersebut dengan khiyar syarat (bukan khiyar majelis).
Pendapat nan kuat dalam masalah ini adalah pendapat pertama lantaran pendapat ini menetapkan adanya khiyar majelis berasas sabda nan telah kita sebutkan.
Hukum sabda ini tidaklah terangkat ataupun terhapus (sebagaimana nan diyakini pendapat kedua) lantaran menghukumi sesuatu itu terhapus alias terangkat tidak bisa hanya dengan sebuah praduga, sedangkan tetap sangat dimungkinkan untuk menggabungkan sabda khiyar majelis dengan dalil-dalil lainnya tanpa adanya rasa susah dan berat.
Pengaruh khiyar majelis terhadap sebuah akad
Khiyar majelis mempengaruhi jenis janji nan dilakukan oleh seseorang. Sebelum saling berpisahnya badan kedua orang nan melangsungkan sebuah akad, maka akadnya tetap berupa janji jaiz [3] dan bukan janji lazim. Artinya, tetap dimungkinkan bagi keduanya untuk membatalkan janji nan telah mereka sepakati tersebut.
Sedangkan dengan adanya kewenangan khiyar (yang berjalan dari awal terjadinya janji sampai saling berpisahnya badan kedua orang nan melangsungkan akad), maka ketika keduanya telah betul-betul berpisah, akadnya otomatis berubah menjadi janji lazim. Tidak diperkenankan untuk membatalkan janji tersebut, selain dengan adanya persetujuan dan kesepakatan kedua belah pihak.
Kapan berakhirnya khiyar majelis?
Pada asalnya, khiyar majelis berjalan sampai saling berpisahnya kedua orang nan melaksanakan akad. Akan tetapi, bisa jadi sebuah khiyar majelis berhujung sebelum kedua orang tersebut saling berpisah, perihal itu terjadi lantaran beberapa karena berikut:
Pertama: Memilih untuk menyetujui sebuah janji alias meneken perjanjian dengan kesepakatan bakal tidak adanya kewenangan khiyar. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
المُتَبايِعانِ كُلُّ واحِدٍ منهما بالخِيارِ علَى صاحِبِهِ ما لَمْ يَتَفَرَّقا، إلَّا بَيْعَ الخِيارِ
“Setiap dua orang nan melakukan transaksi jual beli, maka tidak ada transaksi (yang melazimkan) di antara keduanya sampai keduanya berpisah, selain jual beli dengan khiyar (penentuan pilihan dari awal).” (HR. Bukhari no. 2111 dan Muslim no. 1531)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
“Jika dua orang telah melakukan transaksi jual beli, maka salah satu dari keduanya boleh melakukan khiyar selagi belum berpisah, alias keduanya boleh melakukan khiyar (dari awal). Jika keduanya telah menyepakati khiyar tersebut, maka jual beli telah sah. Ibnu Abu Umar menambahkan dalam riwayatnya, Nafi’ mengatakan, ‘Apabila Ibnu Umar bertransaksi dengan seseorang, kemudian dia tidak mau membatalkan transaksinya, maka berdiri dan melangkah pelan-pelan, lampau kembali kepadanya.'” (HR. Muslim no. 1531)
Contohnya bagaimana?
Misalnya salah satu pihak nan melangsungkan janji mengatakan, “Aku rida dengan janji transaksi ini dan saya membatalkan alias tidak memerlukan kewenangan khiyar-ku.” Lalu, pihak kedua menjawab, “Aku pun demikian.”
Bisa juga perihal ini terjadi lantaran adanya persyaratan nan memang sudah maklum terjadi di sebuah masyarakat, di mana mereka memang mempraktikkannya dalam kehidupan jual beli sehari-hari mereka. Karena ada norma nan berbunyi,
“Sesuatu nan sudah menjadi urf (kebiasaan) (sebuah masyarakat), maka itu layaknya persyaratan nan diakui.”
Kedua: Menggunakan dan memanfaatkan nilai tukar peralatan dengan corak pemanfaatan unik nan menunjukkan kepemilikan, seperti membeli sesuatu dengannya alias memberikannya. Jika seorang penjual sudah terlanjur memanfaatkan dan menggunakan duit tukar hasil jual beli nan dia lakukan, maka jual belinya tersebut menjadi lazim, tidak ada lagi kewenangan khiyar baginya.
Ketiga: Meninggalnya salah satu dari kedua pihak nan melangsungkan janji menjadikan kewenangan khiyar berhujung menurut ajaran Hanabilah. Hak khiyar ini tidak dapat beranjak kepada mahir waris, lantaran kematian merupakan corak berpisah nan paling nyata (antara penjual dan pembeli). Oleh lantaran itu, jika salah satu dari keduanya meninggal dunia, janji nan mereka lakukan menjadi lazim.
Wallahu a’lam bisshawab
[Bersambung]
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel: www.muslim.or.id
Referensi:
Kitab Al-Madkhal Ilaa Fiqhi Al-Muaamalaat Al-Maaliyyah karya Prof. Dr. Muhammad Utsman Syubair dengan beberapa penyesuaian.
Catatan kaki:
[1] Kamus Al-Misbah Al-Munir karya Al-Fayumii 1/252
[2] Akad lazim adalah janji nan mengikat semua pihak nan terlibat, sehingga masing-masing pihak tidak punya kewenangan untuk membatalkan janji selain dengan kerelaan pihak nan lain.
[3] Akad jaiz alias janji ghairu lazim, adalah janji nan tidak mengikat. Artinya salah satu pihak boleh membatalkan janji tanpa persetujuan rekannya. Contoh: janji pinjam-meminjam, wadi`ah.