Serial Fikih Muamalah (Bag. 14): Syarat yang Tidak Dibenarkan Syariat, Apakah Membatalkan Akad?

Trending 8 months ago

Baca pembahasam sebelumnya Serial Fikih Muamalah (Bag. 13): Hukum Syarat Tambahan dalam Sebuah Akad

Jika dalam sebuah janji salah satu pihak menyaratkan sesuatu nan dilarang oleh hukum alias bertentangan dengan kaidah-kaidahnya ataupun bertentangan dengan tujuan maksud akad, apakah janji nan dilangsungkan tersebut menjadi batal ataukah hanya syaratnya saja nan menjadi batal?

Para ustadz berbeda pendapat dalam masalah ini. Dalam ajaran Syafi’iyyah, mereka membedakan antara pengaruh syarat nan tidak dibenarkan dalam janji muamalah kekayaan dan dalam janji pernikahan.

Dalam muamalah harta, syarat nan tidak dibenarkan oleh hukum merusak dan membatalkan akadnya, sehingga janji nan dilangsungkan menjadi tidak sah dan kudu diulang. Adapun dalam janji pernikahan, syarat tambahan nan tidak dibenarkan oleh hukum tidak merusak janji secara langsung. Hanya saja, syarat nan tidak betul tersebut menjadi tidak sah dan tidak berlaku.

Ulama Hanabilah membagi syarat nan tidak betul berasas pengaruhnya menjadi dua macam:

Syarat tidak betul nan merusak sebuah akad

Termasuk di dalamnya adalah janji nan menyaratkan adanya janji baru, seperti janji jual beli nan menyaratkan adanya janji utang piutang (sudah kita telaah pada pertemuan sebelumnya). Di antaranya juga adalah janji nan terkumpul di dalamnya 2 syarat.

Dalam janji nikah, syarat nan dapat merusak sebuah akad, contohnya seperti menyaratkan nikah hanya dalam jangka waktu tertentu saja, baik nikah mut’ah [1], nikah muhallil [2], begitu pula janji nikah nan tidak menghalalkan hubungan suami istri, dan janji nikah nan menyaratkan adanya kewenangan khiyar bagi salah satu pihak untuk membatalkan akad, dan nan terakhir adalah janji nikah syighar [3].

BACA JUGA: Zakat Bangunan nan Awalnya Disewakan Lalu Ingin Dijual

Syarat tidak betul nan tidak merusak sebuah akad, namun syarat tersebut menjadi tidak sah

Syarat apa saja nan masuk kategori ini? Masuk di dalamnya syarat-syarat nan meniadakan tujuan original sebuah akad, seperti seorang penjual nan menyaratkan untuk tidak menyerahkan peralatan nan dibeli kepada pembeli, seorang suami nan menyaratkan kepada istrinya untuk tidak menafkahinya, alias seorang wanita nan menyaratkan agar dia bisa tinggal di tempat nan dia pilih alias dipilihkan bapaknya, begitu pula wanita nan menyaratkan ketiadaan hubungan suami istri dalam pernikahan mereka, ataupun menyaratkan agar si suami kudu melakukan ‘azl [4] dalam setiap hubungan nan mereka lakukan.

Termasuk juga, syarat nan yang mengandung sesuatu nan haram seperti menyaratkan agunan minuman keras ataupun (maaf) babi dalam sebuah akad.

Termasuk di dalam macam ini juga, persyaratan nan mengandung ketidaktahuan. Contohnya adalah seorang pembeli nan menyaratkan adanya kewenangan memilih dan waktu tempo pembayaran dengan lama dan pemisah waktu nan tidak diketahui.

BACA JUGA: Hukum Berjual-Beli dan Menggunakan Produk Non-Muslim

Ibnu Taimiyyah rahimahullah membedakan antara syarat nan meniadakan tujuan original sebuah janji dan syarat nan meniadakan tujuan syariat.

Pertama: Syarat nan meniadakan maksud dan tujuan original sebuah akad, maka syarat ini dihukumi batil dan membatalkan sahnya sebuah akad.

Kedua: Adapun syarat nan meniadakan maksud dan tujuan syariat, dengan adanya penyelisihan dan pelanggaran terhadap apa nan ada di Al-Qur’an maupun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti menyaratkan adanya riba, minuman keras, dan lain sebagainya. Maka, dibedakan antara apa nan telah diketahui keharamannya oleh nan memberikan syarat dan apa nan belum dia ketahui keharamannya.

Ketiga: Jika orang nan memberikan syarat mengetahui keharamannya, maka syarat nan disebutkan menjadi batal dan akadnya tetap sah.

Keempat: Adapun jika orang nan memberikan syarat tidak mengetahui keharamannya dan dia mengira bahwa apa nan dia syaratkan itu sah dan wajib dipenuhi, maka baginya kewenangan memilih untuk membatalkan janji tersebut. Ia bisa memilih antara menggugurkan syarat dan tetap melaksanakan janji nan sudah disepakati alias dia bisa memilih untuk membatalkan janji tersebut. Tidak ada bedanya, baik itu janji nikah maupun nan selainnya.

Kesimpulan dan komparasi singkat pendapat master fikih mengenai pengaruh syarat nan tidak betul dalam sebuah akad

Pertama: Syarat nan tidak betul dan mengandung suatu keharaman membatalkan sahnya janji menurut pendapat jumhur ustadz lantaran adanya hadis,

نَهى رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عن بَيعتَيْن في بيعةٍ

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang dua transaksi jual beli dalam satu janji jual beli.” (HR. Abu Dawud no. 3461, Tirmidzi no. 1231, dan Nasa’i no. 4632)

Dan hadis,

وَلاَ شَرْطَانِ فِى بَيْعٍ

“Tidak boleh ada dua syarat dalam satu transaksi jual beli.” (HR. Abu Dawud no. 3504, Tirmidzi no. 1234, dan An-Nasa’i no. 4611)

Dan dikarenakan sesuatu nan dilarang dalam hukum menunjukkan bahwa perihal tersebut menjadi rusak.

Di sisi lain, Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat bahwa ada perbedaan norma antara mereka nan sudah mengetahui keharamannya dan mereka nan belum mengetahuinya. Jika dia tahu bakal keharamannya, maka syarat nan dia tawarkan itu menjadi batal dan akadnya tetap sah. Adapun jika dia tidak mengetahui keharamannya, maka baginya kewenangan memilih antara menggugurkan syarat dan melanjutkan janji alias membatalkan janji nan telah disepakati.

Pendapat nan kuat dalam perihal ini adalah pendapat Ibnu Taimiyyah rahimahullah karena pendapatnya mempunyai tinjauan nan mendetail dan pemahaman nan mendalam terhadap dalil-dalil nan ada. Pendapat ini juga lebih memperhatikan stabilitas janji muamalah nan ada.

Kedua: Syarat nan meniadakan tujuan original sebuah janji dan bertentangan dengan konsekuensinya bakal merusak janji tersebut menurut pendapat kebanyakan ustadz termasuk di dalamnya Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Di sisi lain, ajaran Maliki beranggapan bahwa syarat semacam ini tidaklah merusak janji andaikan nan orang nan menyaratkannya menangguhkan syarat tersebut. Adapun jika dia tetap bersikeras menyaratkan syarat tersebut, maka akadnya menjadi batal.

Pendapat nan lebih kuat pada persoalan ini adalah pendapat ajaran Maliki lantaran syarat nan berangkaian dengan janji tersebut merupakan perkara tambahan pada prinsip original akadnya. nan mana syarat tersebut hanya berangkaian dengan sifatnya saja dan bukan pada inti akadnya, sehingga jika sifat tersebut telah hilang, prinsip original dan inti janji tersebut tetaplah bertindak dan sah.

Ketiga: Syarat nan tidak betul dan berangkaian dengan janji nikah tidaklah membatalkan akad, namun hanya membatalkan syaratnya saja dan akadnya tetap sah menurut pendapat kebanyakan ulama.

Sedangkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat bahwa janji nikah sama saja dengan akad-akad lainnya, tidak menjadi rusak hanya lantaran adanya syarat nan tidak benar. Ibnu Taimiyyah membedakan antara mereka nan sudah mengetahui keharamannya dan mereka nan belum mengetahuinya. Jika dia tahu bakal keharamannya, maka syarat nan dia tawarkan itu menjadi batal dan akadnya tetap sah. Adapun jika dia tidak mengetahui keharamannya, maka baginya kewenangan memilih antara menggugurkan syarat dan melanjutkan janji alias membatalkan janji nan telah disepakati.

Pendapat nan lebih kuat dalam perihal ini adalah pendapat kebanyakan ulama, di mana syarat nan tidak betul menjadi batal, namun akadnya tetap sah. Pendapat inilah nan oleh norma perundangan-undangan kekeluargaan. Wallahu Ta’ala a’lam bisshawab

[Bersambung]

BACA JUGA:

  • Jual Rumah, Berapa Zakatnya?
  • Syarat dan Rukun Jual-Beli

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel: www.muslim.or.id

Referensi:

Kitab Al-Madkhal Ilaa Fiqhi Al-Muaamalaat Al-Maaliyyah karya Prof. Dr. Muhammad Utsman Syubair dengan beberapa penyesuaian.

Catatan kaki:

[1] Menikahi wanita hingga waktu tertentu. Jika waktunya telah habis, maka perceraian otomatis terjadi.

[2] Muhallil adalah orang nan menikah untuk sementara, kemudian bercerai. Dengan tujuan agar wanita nan dia nikahi setelah ditalak tiga oleh suami nan pertama bisa kembali kepada suami pertamanya tersebut.

[3] Syighar adalah seorang laki-laki menikahi puteri laki-laki lainnya dan dia pun menikahkannya dengan puterinya tanpa mahar. Atau seorang laki-laki menikahi kerabat wanita laki-laki lainnya. lampau dia menikahkannya pula dengan kerabat perempuannya tanpa mahar.

[4] ‘Azl berarti menumpahkan sperma di luar memek ketika terjadi ejakulasi.

Source muslim.or.id
muslim.or.id