Baca pembahasan sebelumnya Serial Fikih Muamalah (Bag. 12): Bolehkah Membuat Syarat Tambahan Saat Melangsungkan Sebuah Akad?
Pada pembahasan sebelumnya telah kita ketahui berbareng prinsip syarat tambahan dalam sebuah akad, ciri-ciri, dan hukumnya menurut ajaran Syafi’i. Pada pembahasan kali ini, bakal sedikit kita paparkan mengenai pendapat nan rajih dan kuat dalam persoalan ini.
Dalam Kitab Al-Madkhal Ilaa Fiqhi Al-Muaamalaat Al-Maaliyyah, Prof. Dr. Muhammad Utsman Syubair menjelaskan bahwa pendapat nan lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat ajaran Hanabilah, di mana pendapat ini juga diambil dan dikuatkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul Qayyim rahimahumallah. Mereka beranggapan bahwa norma asal syarat tambahan dalam sebuah janji adalah mubah (diperbolehkan) dan bukan terlarang.
Mereka mengemukakan bahwa segala macam syarat nan muncul dan ditambahkan dalam sebuah janji norma asalnya diperbolehkan. Tidak ada nan terlarang, selain apa nan telah jelas ada dalil pelarangan dan pengharamannya.
Oleh lantaran itu, diperbolehkan bagi kedua pihak, baik itu penjual maupun pembeli untuk menyaratkan sesuatu nan dia pandang krusial dalam sebuah akad. Hanya saja, terdapat pengecualian pada beberapa syarat nan dilarang oleh syariat. Di antaranya:
Pertama: Persyaratan nan bertentangan dengan norma syariat, ialah andaikan mengandung keharaman dan merupakan perkara terlarang. Seperti menyaratkan riba dan tambahan duit andaikan seseorang nan berhutang terlambat di dalam bayar hutangnya dari tempo nan telah disepakati.
Kedua: Persyaratan nan bertentangan dengan makna dan keharusan sebuah akad. Seperti seseorang nan menjual mobilnya kepada orang lain, namun menyaratkan agar mobilnya tersebut tidak boleh dikendarai. Atau menjual rumah, namun menyaratkan agar rumahnya tidak ditempati.
Ketiga: Menyaratkan adanya janji dalam sebuah akad. Seperti seseorang nan menyewakan rumahnya dengan syarat pihak penyewa meminjamkan sejumlah duit kepadanya. Hal ini dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadis,
لا يحلُّ سلَفٌ وبيعٌ ولا بيعَ ما ليس عندَك
“Tidaklah legal transaksi utang-piutang nan dicampur dengan transaksi jual beli, dan tidak boleh menjual peralatan nan bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud no. 3504, Tirmidzi no. 1234, dan Nasa’i no. 4611)
Keempat: Terkumpulnya dua syarat dalam satu akad, walaupun keduanya merupakan syarat nan betul dan diperbolehkan, bakal tetapi keduanya bukan termasuk keharusan original pada janji tersebut. Seperti seseorang nan yang membeli seikat kayu bakar, namun menyaratkan agar penjual memotong-motongnya terlebih dulu dan juga mengantarkannya ke rumah pembeli.
Hal ini terlarang lantaran adanya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَلاَ شَرْطَانِ فِى بَيْعٍ
“Tidak boleh ada dua syarat dalam satu transaksi jual beli.” (HR. Abu Dawud no. 3504, Tirmidzi no. 1234, dan Nasa’i no. 4611)
BACA JUGA: Serial Fikih Muamalah (Bag. 8): Cara-Cara Memperoleh Harta nan Dilarang Syariat
Dalil-dalil nan menguatkan bahwa norma asal syarat tambahan adalah diperbolehkan
Pertama: Firman Allah Ta’ala,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِۗ
“Wahai orang-orang nan beriman! Penuhilah janji-janji.” (QS. Al-Ma’idah: 1)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَبِعَهْدِ اللّٰهِ اَوْفُوْاۗ
“Dan penuhilah janji Allah.” (QS. Al-An’am: 152)
Allah Ta’ala memerintahkan kita pada kedua ayat di atas dan pada ayat-ayat lainnya untuk memenuhi janji. Perintah ini hukumnya umum, termasuk di dalamnya memenuhi syarat-syarat dan akad-akad nan ada.
Kedua: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ , إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Kaum muslimin di atas syarat-syarat nan mereka tentukan, selain jika syarat tersebut mengharamkan sesuatu nan legal alias menghalalkan sesuatu nan haram.” (HR. Tirmidzi no. 1352 dan Ibnu Majah no. 2353)
Dari sabda di atas dapat dipahami bahwa kita diperintahkan untuk bertanggung jawab terhadap setiap syarat nan telah disepakati, tidak boleh ingkar dan berkhianat. Termasuk juga setiap syarat tambahan nan tidak mengandung unsur keharaman serta tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan akad.
Ketiga: Hadis-hadis nan melarang pengkhianatan. Seperti hadis,
لِكُلِّ غادِرٍ لِواءٌ عِنْدَ اسْتِهِ يَومَ القِيامَةِ.
“Setiap pengkhianat bakal membawa bendera di belakangnya di hari Kiamat kelak.” (HR. Muslim no. 1738)
Keempat: Hadis nan diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu,
“Bahwasanya dia pernah menunggangi untanya nan sudah lemah dan dia mau melapaskanya (pergi bebas). Dia berkata, ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyusul saya lampau beliau mendoakan unta saya dan memukulnya. Seketika itu juga unta itu melangkah dengan kecepatan nan tidak seperti biasanya. Lalu, beliau bersabda, ‘Juallah dia padaku dengan beberapa dirham.’ Saya berkata, ‘Tidak.’ Beliau berfirman lagi, ‘Juallah dia padaku.’ Lalu, saya pun menjualnya dengan beberapa dirham. Dan saya memberi syarat agar dia membawa pulang saya dulu kepada family saya. Setelah saya sampai, baru saya bawa unta itu kepada beliau, maka beliau pun bayar harganya kepada saya. Kemudian saya pulang, tak lama kemudian beliau mengirim seseorang membuntuti saya. Lalu, beliau bersabda,'”Apakah Anda kira jika saya rela membeli dengan nilai murah agar dapat mempunyai untamu? Tidak, ambillah untamu dan uangmu, dia bingkisan untukmu.’” (Diriwayatkan oleh Bukhari secara muallaq setelah sabda no. 2718 dan Muslim secara mausul no. 715)
Kelima: Syarat tambahan merupakan perkara budaya dan kebiasaan, nan norma asalnya adalah tidak terlarang. Manusia pun butuh terhadap perihal tersebut.
Kesimpulannya adalah jika asal norma pada syarat-syarat adalah legal dan diperbolehkan, maka tidak ada nan menjadi haram dan terlarang, selain andaikan persyaratan tersebut mengandung pelanggaran terhadap hukum ataupun bertentangan dengan prinsip dasar akad. Wallahu a’lam bisshawab
[Bersambung]
BACA JUGA:
- Serial Fikih Muamalah (Bag. 6): Sebab-Sebab Memperoleh Kepemilikan Sempurna
- Serial Fikih Muamalah (Bag. 5): Kepemilikan, Syarat Utama Sahnya Transaksi
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel: www.muslim.or.id
Referensi:
Kitab Al-Madkhal Ilaa Fiqhi Al-Muaamalaat Al-Maaliyyah karya Prof. Dr. Muhammad Utsman Syubair dengan beberapa penyesuaian.