Baca pembahasan sebelunmya Serial Fikih Muamalah (Bag. 11): Syarat-Syarat nan Harus Terpenuhi dalam Sebuah Akad
Pada pembahasan sebelumnya, telah kita ketahui berbareng beberapa syarat nan kudu dipenuhi saat berlangsungnya sebuah akad. Pada pembahasan kali ini, bakal kita telaah prinsip syarat tambahan nan terjadi dalam sebuah janji dan gimana hukumnya dalam hukum Islam.
Kapan sebuah syarat dikatakan sebagai syarat tambahan?
Syarat tambahan hakikatnya adalah sebuah tanggungjawab dan kelaziman nan terjadi saat terbentuknya sebuah akad. Di mana syarat ini di luar syarat-syarat original nan telah kita telaah sebelumnya.
Syekh Musthofa Az-Zarqa’ rahimahullah memberikan pengertian tentang syarat tambahan ini dengan,
“Sebuah tanggungjawab pada tindakan lisan (akad) nan tidak wajib dipenuhi andaikan akadnya dilafalkan secara absolut (syarat tersebut tidak wajib dipenuhi andaikan tidak disebutkan dalam akad).” (Al-Madkhal Al-Fiqhi Al-Aam, 1: 506)
Ciri-ciri syarat tambahan
Syarat tambahan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
Pertama: Ia merupakan kelaziman tambahan di luar kelaziman original akad.
Jika seseorang mengatakan, “Aku jual mobil ini kepadamu dua ratus juta dengan pembayaran nan bisa dicicil selama setahun, asalkan Anda berikan kepadaku sebuah jaminan.” Lalu, pihak kedua menerimanya, maka janji tersebut terwujud dengan tambahan adanya gadai alias jaminan. Tidak sah akadnya, selain dengan terpenuhinya syarat tersebut.
Kedua: Syarat tambahan nan berjalan dan terjadi saat berlangsungnya sebuah akad, menjadi bagian dari janji tersebut dan diikutkan dalam lafal akadnya.
Ketiga: Sesungguhnya syarat tambahan ini berupa perkara nan bakal datang. Sesuatu nan belum terjadi, namun bakal terjadi. Maka, tidak termasuk darinya menyaratkan sesuatu nan memang sudah ada di waktu akad, seperti seseorang nan membeli seekor unta sedangkan unta tersebut sedang hamil, kemudian dia menyaratkan agar janinnya tersebut diikutkan dalam pembelian.
Hal semacam ini tidak dianggap sebagai syarat konkret dan nyata, namun merupakan syarat metaforis.
Keempat: Syarat tambahan merupakan sesuatu nan kemungkinan besar bakal terjadi, maka syarat nan mustahil terjadi tidak masuk di dalamnya.
Seseorang nan mengatakan, “Aku beli kambing ini darimu dengan syarat dia bisa terbang ke langit.” Maka, syarat semacam ini tidaklah sah lantaran perkataannya tersebut mengindikasikan ketidaktertarikannya untuk menyelesaikan janji tersebut.
Contoh syarat nan kemungkinan besar bisa terealisasi di masa mendatang adalah seorang calon istri nan menyaratkan agar calon suaminya tidak membawanya pergi dari daerahnya ketika mereka menikah nantinya.
BACA JUGA: Hukum Jual Beli Dengan Uang Muka
Mazhab Syafii beranggapan bahwa pada asalnya, norma membikin syarat-syarat tambahan pada sebuah janji adalah terlarang.
Tidak boleh bagi kedua belah pihak untuk membatasi dan mengikat sebuah janji dan perjanjian dengan memberikan syarat-syarat tambahan, selain jika syarat ini mempunyai dalil dari syariat, alias ada kesepakatan dari ustadz (ijma’) perihal kebolehannya.
Di antara syarat tambahan nan diperbolehkan:
Pertama: Menyaratkan adanya peralatan agunan pada jual beli dengan pembayaran tertunda. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَّلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهٰنٌ مَّقْبُوْضَةٌ ۗ
“Dan jika Anda dalam perjalanan sedang Anda tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada peralatan agunan nan dipegang.” (QS. Al-Baqarah: 283)
Kedua: Syarat jelasnya tempo pembayaran saat melakukan jual beli dengan pembayaran tertunda. Allah Ta’ala berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ
“Wahai orang-orang nan beriman! Apabila Anda melakukan utang piutang untuk waktu nan ditentukan, hendaklah Anda menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282)
Ketiga: Syarat bayar utang saat dalam kondisi lapang. Allah Ta’ala berfirman,
وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ ۗ
“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan.” (QS. Al-Baqarah: 280)
Keempat: Menyaratkan adanya spesifikasi tertentu pada peralatan nan bakal dibeli kudu dengan adanya persetujuan dari kedua pihak. Seperti memberikan syarat saat bakal membeli seekor kambing dengan spesifikasi kambing tersebut merupakan penghasil susu. Allah Ta’ala berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ
“Wahai orang-orang nan beriman! Janganlah Anda saling menyantap kekayaan sesamamu dengan jalan nan batil (tidak benar), selain dalam perdagangan nan bertindak atas dasar suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29)
Kelima: Menyaratkan adanya kewenangan memilih (khiyar) pada sebuah akad.
Sebagaimana perkataan seseorang, “Aku beli mobil ini seharga dua ratus juta dan beri saya waktu tiga hari untuk bisa memilih apakah jadi membelinya alias tidak.” Lalu, pihak nan lainnya menyetujuinya.
Hal ini berasas perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Hibban bin Munqad nan pernah tertipu dalam sebuah jual beli,
إِذَا أَنْتَ بَايَعْتَ فَقُلْ لاَ خِلاَبَةَ. ثُمَّ أَنْتَ فِى كُلِّ سِلْعَةٍ ابْتَعْتَهَا بِالْخِيَارِ ثَلاَثَ لَيَالٍ فَإِنْ رَضِيتَ فَأَمْسِكْ وَإِنْ سَخِطْتَ فَارْدُدْهَا عَلَى صَاحِبِهَا.
“Apabila Anda sedang menjual alias membeli, maka katakanlah, ‘Jangan menipu!’ Jika Anda membeli sesuatu, maka engkau mempunyai kewenangan pilih selama tiga hari. Jika Anda rela, maka ambillah. Akan tetapi, jika tidak, maka kembalikan kepada pemiliknya.” (HR. Ibnu Majah no. 1921)
Keenam: Seorang pembeli menyaratkan untuk mengambil juga kekayaan hamba sahaya nan sedang dijual alias sebagian hartanya dari pihak penjual saat dia membeli budak tersebut. Hal ini diperbolehkan lantaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
ومَنِ ابْتَاعَ عَبْدًا وله مَالٌ، فَمَالُهُ لِلَّذِي بَاعَهُ، إلَّا أنْ يَشْتَرِطَ المُبْتَاعُ
“Barangsiapa membeli seorang budak nan mempunyai harta, maka kekayaan itu milik penjualnya, selain pembeli mensyaratkannya.” (HR. Bukhari no. 2379 dan Muslim no. 1543)
Ketujuh: Seorang pembeli menyaratkan untuk mengambil hasil panen kurma dari pohonnya nan baru saja dikawinkan.
Hukum asalnya, hasil panen dari pohon kurma nan telah dikawinkan tersebut adalah milik penjual. Namun, andaikan pembeli menyaratkannya, maka diperbolehkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ ابْتَاعَ نَخْلًا بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ فَثَمَرَتُهَا لِلَّذِي بَاعَهَا إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ
“Barangsiapa membeli pohon kurma setelah dikawinkan, maka hasilnya bagi orang nan menjualnya, selain pembeli mensyaratkannya.” (HR. Bukhari no. 2379 dan Muslim no. 1543)
Kedelapan: Membuat syarat tambahan nan sesuai dengan keadaan janji (kontrak).
Syarat nan bisa menguatkan sebuah janji dan mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatannya. Seperti menyaratkan adanya persaksian dalam sebuah janji dan menguatkannya dengan ditulis serta hal-hal lainnya nan dibutuhkan dalam sebuah akad.
Kesemuanya itu demi terciptanya kemaslahatan janji dan orang nan melaksanakannya, tanpa adanya pertentangan dengan syariat. Syarat tambahan semacam ini diperbolehkan dengan mengiaskannya kepada syarat-syarat tambahan nan memang sudah ada dalilnya dari hukum kita.
Kesembilan: Menyaratkan dengan sesuatu nan mengandung makna kebaikan.
Contohnya adalah seorang penjual budak nan menyaratkan kepada pembelinya untuk membebaskan budak nan dia beli. Sebagaimana sabda Barirah di mana ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha membelinya sedang pemiliknya menyaratkan agar Barirah dibebaskan, dan kewenangan wala-’nya menjadi kewenangan mereka. (HR. Bukhari no. 456 dan Muslim no. 1504)
Hal semacam ini diperbolehkan lantaran Islam menjunjung tinggi pembebasan perbudakan dan perbuatan baik, sehingga terbukalah peluang-peluang tersebut. Wallahu a’lam bisshawab
[Bersambung]
BACA JUGA:
- Adakah Batasan Keuntungan Dalam Jual Beli?
- Serba-Serbi Jual Beli Online Dalam Islam
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel: www.muslim.or.id
Referensi:
Kitab Al-Madkhal Ilaa Fiqhi Al-Muaamalaat Al-Maaliyyah karya Prof. Dr. Muhammad Utsman Syubair dengan beberapa penyesuaian.