Saat Futur Melanda

Trending 7 months ago

Bertambah dan berkurangnya ketaatan adalah bagian dari sunatullah atas makhluk-Nya, ialah manusia. Nikmat nafsu dan logika nan menjadi pembeda antara manusia dan makhluk lainnya menunjukkan kesempurnaan buatan Allah.

Iman nan berkurang, terkenal dengan julukan futur. Futur dipahami dengan makna kemalasan, suka menunda, tidak bergairah, dan antusias untuk melakukan beragam kebaikan, khususnya ibadah-ibadah sunah nan disyariatkan.

Futur merupakan perihal biasa dialami oleh siapa pun. Tetapi, bayangkan jika kita terus menerus dalam keadaan futur. Adakah jaminan, jika tanpa segera memperbaharui ketaatan (dengan meningkatkan ketaatan kepada Allah), kita kemudian tidak terjerumus dalam level futur paling rendah, apalagi jatuh kepada kekufuran? Wal’iyadzubillah

Tantangan futur

Mari kita renungkan sejenak. Ketika futur melanda, rasanya memang untuk melaksanakan tanggungjawab saja cukup berat. Konon lagi hal-hal nan sunah. Contoh, melakukan salat sunah rawatib terasa berat, puasa Senin-Kamis seperti susah sekali, apalagi untuk berzikir nan hanya dengan aktivitas mulut pun kita seakan tak sanggup melakukannya.

Oleh karenanya, sebagai seorang mukmin kita tidak boleh membiarkan perihal ini terus terjadi. Saat-saat seperti inilah, bujukan setan nan menakut-nakuti keutuhan ketaatan kita bisa datang dari beragam arah.

Jangan hanya menunggu hidayah itu datang, tetapi jemputlah hidayah itu. Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah sabda qudsi,

يا عبادي كلُّكم ضالٌّ إلَّا من هديتُه ، فاستهدوني أهدِكُ

“Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua adalah tersesat, selain nan Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku bakal memberimu petunjuk.”

(HR. Muslim, No 2577. Dari Abi Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu)

Pelajaran dari orang-orang terdahulu

Belajar dari orang-orang terdahulu, sebagian besar dari mereka ketika tidak ada niat, tekad, dan ikhtiar untuk menggapainya, maka hidayah itu pun tak kunjung datang hingga ajal menjemput.

Meskipun orang-orang di sekitarnya berupaya semaksimal mungkin mengarahkan mereka kepada keagamaan nan kokoh dan membujuk mereka dengan susah payah untuk bangkit dari kefuturan. Namun, ketika perseorangan tersebut pada dasarnya tidak mempunyai niat, tekad, dan ikhtiar untuk kembali meniti jalan ilahi, tentu hidayah itu bakal semakin susah didapat.

Saudaraku, lihatlah! Betapa dekatnya hubungan antara anak dan ayah, seperti Habil bin Adam ‘alaihissalam, Kan’an bin Nuh ‘alaihissalam, dan Ibrahim ‘alaihissalam bin Azar. Atau antara suami dan istri, seperti halnya Walilah istri Nabi Luth ‘alaihissalam. Serta, kedekatan antara seorang keponakan dan paman, seperti antara Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sang om Abu Talib.

Begitu dekatnya mereka dengan para Rasul shalawatullah ‘alaihim. Tetapi, hidayah tak kunjung mereka dapatkan. Bahkan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pun tidak punya kuasa untuk memberikan hidayah kepada om nan dicintainya.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّكَ لَا تَهۡدِی مَنۡ أَحۡبَبۡتَ وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ یَهۡدِی مَن یَشَاۤءُۚ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِینَ

“Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang nan engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang nan Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang nan mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qasas: 56)

Di era ini, tak jarang pula kita jumpai orang-orang nan dulunya dikenal dengan kesalehannya dan ketaatannya, tapi tak disangka dia pun berubah dan justru sekarang menjadi terbiasa melakukan kemaksiatan dan kemungkaran. Wal’iyadzubillah.

Kekufuran bermulai dari kefuturan

Saudaraku, sungguh kita tidak tahu takdir nan telah ditetapkan Allah Ta’ala atas kita dalam lauh mahfudz-Nya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فوالَّذي لا إلَهَ غيرُهُ إنَّ أحدَكُم ليعملُ بعملِ أَهْلِ الجنَّةِ حتَّى ما يَكونُ بينَهُ وبينَها إلَّا ذراعٌ ثمَّ يسبِقُ علَيهِ الكتابُ فيُختَمُ لَهُ بعملِ أَهْلِ النَّارِ فيدخلُها ، وإنَّ أحدَكُم ليعملُ بعملِ أَهْلِ النَّارِ حتَّى ما يَكونَ بينَهُ وبينَها إلَّا ذراعٌ ثمَّ يسبِقُ علَيهِ الكتابُ فيُختَمُ لَهُ بعملِ أَهْلِ الجنَّةِ فيَدخلُها

“Demi Allah, Zat nan tidak ada sesembahan nan hak, selain Dia. Sesungguhnya salah seorang dari kalian, betul-betul beramal dengan ibadah masyarakat jannah (surga) sehingga jarak antara dia dengan jannah itu tinggal sehasta. Namun, dia didahului oleh al-kitab (catatan takdirnya) sehingga dia beramal dengan ibadah masyarakat neraka, maka dia pun masuk ke dalamnya. Dan sungguh, salah seorang dari kalian beramal dengan ibadah masyarakat neraka hingga jarak antara dia dengan neraka tinggal satu hasta. Namun, dia didahului oleh catatan takdir, sehingga dia beramal dengan ibadah masyarakat jannah, maka dia masuk ke dalamnya.” (HR. Tirmidzi, No. 2137, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

Hadis di atas semakin meyakinkan kita bahwa tiada seorang hamba pun nan tahu dan bisa menjamin akhir amalannya dan tempatnya di akhirat.

Maka, renungkanlah! Orang nan mulanya terbiasa beramal saleh saja bisa jadi di akhir hidupnya justru dia kembali melakukan kemaksiatan nan mengantarkannya ke neraka, konon lagi orang nan terbiasa dengan pelanggaran hukum Allah.

Dan nan pasti, kembalinya seseorang kepada kemaksiatan dari ketaatan bermulai dari kefuturan nan diremehkan nan lama kelamaan menjadi kekufuran. Wal’iyadzubillah.

Oleh karenanya, nan kudu kita yakini bahwa seseorang bakal dimudahkan dengan amalannya. Maka, biasakanlah diri untuk melakukan ibadah saleh. Tatkala futur melanda, mohonlah pertolongan kepada Allah Ta’ala dan berikhtiarlah semaksimal mungkin untuk mempertahankan ketaatan dan menghindari kemaksiatan.

Teruslah beramal

Perhatikanlah sabda dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Suraqah bin Malik bin Ju’syum datang dan berkata,

“Wahai Rasulullah, berikanlah penjelasan kepada kami tentang kepercayaan kami, seakan-akan kami baru diciptakan sekarang. Untuk apakah kita beramal hari ini? Apakah itu terjadi pada hal-hal nan pena telah kering dan takdir nan berjalan, ataukah untuk nan bakal datang?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ: لَا، بَلْ فِيمَا جَفَّتْ بِهِ الْأَقْلَامُ وَجَرَتْ بِهِ الْمَقَادِيرُ

“Bahkan, pada hal-hal nan dengannya pena telah kering dan takdir nan berjalan.”

Ia bertanya, “Lalu apa gunanya beramal?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اعْمَلُوا، فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ

“Beramallah kalian, lantaran masing-masing dimudahkan (untuk melakukan sesuatu nan telah ditakdirkan untuknya).” (HR. Muslim, No. 2648)

Ikhtiar bangkit dari futur

Pertama: Memohon pertolongan dan petunjuk dari Allah

Maka dari itu, kita mesti menyadari bahwa perihal nan pertama dan utama sekali kita lakukan tatkala futur melanda adalah bermohon memohon pertolongan kepada Allah agar diberikan hidayah. Inilah makna bahwa hidayah memang kudu dijemput dengan doa.

Karena semestinya segala urusan nan kita ikhtiarkan sepatutnya kita gantungkan pada pertolongan dari Allah Ta’ala sebagaimana angan zikir pagi nan diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Fatimah radhiyallahu ‘anha berikut,

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا

“Wahai Rabb nan Mahahidup, wahai Rabb nan Berdiri Sendiri (tidak butuh segala sesuatu), dengan rahmat-Mu saya minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dari-Mu).” (HR. Ibnu As-Sunni, No. 46)

Sungguh paripurna hukum nan dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam ini. Kita pun diajarkan gimana bermohon memohon pertolongan kepada Allah agar diberikan petunjuk dan hidayah sebagaimana angan nan tersurat dalam Al-Qur’an. Allah berfirman,

رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

“Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu, dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk nan lurus dalam urusan kami.” (QS. Al Kahfi: 10)

Kedua: Berupaya semaksimal mungkin istikamah dalam kebaikan

Setelah bermohon dan memantapkan niat, kita pun berupaya untuk selalu istikamah dalam mempertahankan keagamaan dan ketakwaan kita. Meski futur melanda, setidaknya untuk amalan/ ibadah wajib, kita tidak tinggalkan seberat apapun itu. Begitu pula terhadap kemaksiatan, kita tidak lakukan semenarik apapun itu.

Sungguh berfaedah nasihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

اتَّقِ اللَّهَ حيثُ ما كنتَ ، وأتبعِ السَّيِّئةَ الحسنةَ تمحُها ، وخالقِ النَّاسَ بخلقٍ حسنٍ

”Bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di mana pun engkau berada. Iringilah kejelekan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu bakal menghapusnya (kejelekan). Dan pergaulilah manusia dengan pergaulan nan baik.” (HR. Tirmidzi, No. 1987 dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu)

Ketiga: Melazimkan zikrullah di setiap waktu

Melakukan ibadah ringan, tetapi timbangannya berat, ialah zikrullah. Saat futur melanda, ibadah sunah nan paling mudah dilakukan adalah zikrullah. Karena berzikir tidak memerlukan daya fisik, selain aktivitas mulut nan melantunkan kalimat-kalimat Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

فَٱذْكُرُونِىٓ أَذْكُرْكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لِى وَلَا تَكْفُرُونِ

“Karena itu, ingatlah Anda kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah Anda mengingkari (nikmat)-Ku”. (QS. Al-Baqarah: 152)

Saudaraku, saat futur melanda, tidak ada nan kita butuhkan selain Allah Ta’ala. Oleh lantaran itu, nan kita butuhkan adalah gimana agar Allah Ta’ala ingat dengan kita lagi. Tidak ada langkah lain agar mendapatkan perhatian Allah selain zikrullah.

Maka, biasakanlah untuk berzikir sebagaimana nan diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Berzikir dalam setiap aktivitas, mulai dari bangun pagi dengan membaca zikir/ doa, salat fajr dengan rawatib-nya, zikir pagi, dan beragam ibadah zikir sesuai sunah dalam setiap aktivitas nan kita lakukan.

Di antara kalimat zikir nan ringan diucapkan, tetapi berat dalam timbangan dan dicintai oleh Allah adalah sebagaimana sabda Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berbicara bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ، ثَقِيلَتَانِ فِى الْمِيزَانِ ، حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ

“Dua kalimat nan ringan di lisan, namun berat dalam timbangan (amalan) dan dicintai oleh Ar-Rahman, ialah subhanallahi wa bihamdih, subhanallahil ‘azhim (Mahasuci Allah, segala pujian untuk-Nya. Mahasuci Allah nan Mahamulia).” (HR. Bukhari, No. 6682 dan Muslim, No. 2694)

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Artikel: www.muslim.or.id

Source muslim.or.id
muslim.or.id