Hai, Sobat Zenius! Pada tulisan kali ini gue bakal membujuk elo kembali ke masa lampau untuk mempelajari sistem ekonomi liberal, salah satu kebijakan nan dilakukan Belanda ketika menduduki Indonesia (Hindia Belanda). Sistem ini diberlakukan saat Hindia Belanda berada pada masa liberalisme (1870-1900).
Kenapa disebut liberal (bebas dan terbuka)? lantaran pada masa itu, untuk pertama kalinya pemerintahan Belanda mengurangi perannya dalam aktivitas ekonomi masyarakat pribumi secara drastis. Selain itu, pemerintah Belanda juga mengakhiri segala corak kerja paksa dan penindasan, termasuk sistem tanam paksa (cultuurstelsel).
Pasti elo penasaran kan, seperti apa kebijakan sistem ekonomi liberal di Hindia Belanda? Yuk langsung aja kita bahas! Lesgoww!
Apa itu Sistem Ekonomi Liberal?
Apa nan elo ingat jika denger kata “liberal”? Kebebasan? Terbuka? Yup, berasas KBBI, kata liberal berfaedah berpandangan luas (bebas dan terbuka). Jadi, sistem ekonomi liberal sama aja dengan sistem ekonomi terbuka (bebas).
Loh kok bebas? Kan, Indonesia saat itu lagi dijajah Belanda.
Benar, itulah kenapa sistem ekonomi ini dianggap sebagai sistem ekonomi nan paling modern selama pendudukan Belanda di Indonesia. Pemerintah Belanda mengizinkan seluruh perusahaan swasta dari luar untuk menanamkan modalnya di Hindia Belanda (sebagai investor).
Pada sistem ini, seluruh tanah dan tenaga kerja di Hindia Belanda dianggap sebagai milik perorangan (milik pribumi). Contohnya bisa elo lihat pada gambar di atas, ialah perkebunan tembakau di Deli di mana pemilik sekaligus tenaga kerja merupakan pribumi, sementara modal didapatkan dari penanammodal perusahaan swasta.
Terus, kenapa kebijakan sistem ekonomi liberal ini bisa diterapkan? Oke, kita telaah latar belakang kebijakan ini, ya!
Latar Belakang Diberlakukannya Ekonomi Liberal
Terdapat beberapa argumen diberlakukannya sistem ekonomi liberal, antara lain:
Desakan untuk Mengakhiri Cultuurstelsel
Pasca bangkrutnya VOC dan keikutsertaannya dalam perang, pemerintah Belanda mengalami kekosongan kas negara. Van Den Bosch nan saat itu baru saja diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda, diharapkan dapat menghasilkan pundi-pundi duit untuk menutupi hutang-hutang pemerintah Belanda nan sudah membengkak.
Maka, dia pun menerapkan suatu kebijakan nan disebut sistem tanam paksa (cultuurstelsel) pada tahun 1830. Kebijakan ini sukses meraup untung nan sangat besar. Tapi seiring berjalannya waktu, banyak kritikan nan muncul dari beberapa golongan, baik di dalam maupun luar parlemen Belanda. Siapa aja?
Dominasi Kaum Liberal di Parlemen
Pada tahun 1848, untuk pertama kalinya partai liberal mendominasi parlemen Belanda (States-General). Kaum liberal mendesak untuk diadakannya pembaharuan nan lebih “liberal” pada perekonomian negara jajahan, termasuk Hindia Belanda. Fyi, seluruh kebijakan atas tanah jajahan berada di bawah kekuasaan parlemen.
Menurut mereka, pemerintah Belanda sudah mendapatkan untung nan sangat besar, berkah adanya kebijakan tanam paksa. Bayangin aja, Belanda mendapatkan untung nan diperkirakan mencapai 967 juta gulden (kalau dirupiahkan saat ini setara dengan Rp8,360,766,400,727.00). Nah, loh banyak banget, kan? Haha. Sementara, rakyat pribumi hanya mendapatkan penderitaan dan kesengsaraan.
Pembaharuan nan dimaksud oleh golongan liberal, antara lain:
- Pengurangan peranan pemerintah dalam perekonomian negara jajahan (Hindia Belanda) secara drastis.
- Pembebasan dari pembatasan-pembatasan atas perusahaan swasta di Jawa.
- Diakhirinya kerja paksa dan penindasan terhadap orang-orang Jawa dan Sunda.
Kritik Kaum Humanis
Kritik mengenai sistem tanam paksa ini juga datang dari kaum humanis. Pada tahun 1860, seorang mantan pejabat kolonial, Eduard Douwes Dekker, menerbitkan sebuah novel berjudul Max Havelaar, dengan menggunakan nama samaran “Multatuli”.
Max Havelaar mengisahkan seperti apa kekejaman dan ketamakan nan dilakukan oleh pemerintahan kolonial di Jawa. Buku ini dianggap sebagai corak kritikan terhadap pemerintah Belanda dalam menentang rezim kolonialisme pada abad-19 di Jawa, termasuk sistem tanam paksa.
Desakan Pengusaha Swasta
Saat itu Belanda merupakan negara penanammodal terbesar nomor tiga di dunia. Hal ini dikarenakan besarnya arus investasi nan bebas dan luas. Sebagian besar dari investasi tersebut ditanamkan di Hindia Belanda lantaran Belanda sangat berjuntai pada perkebunan di Hindia Belanda sebagai devisa utama.
Sama seperti kaum liberal, para pengusaha swasta (pemilik modal) ini juga mendesak untuk meliberalisasikan perkebunan di Hindia Belanda. Mereka menginginkan keleluasaan dalam menanamkan modalnya di Hindia Belanda. Desakan ini membikin Belanda mau tidak mau kudu menyerah dan memenuhi tuntutan dari para pemilik modal tersebut.
Kebijakan Sistem Ekonomi Liberal
Berbagai kritik nan dilontarkan oleh golongan liberal dan humanis tentu menimbulkan perdebatan politik di negeri Belanda. Tapi, berkah adanya perjuangan mereka, sistem tanam paksa sedikit demi sedikit mulai dihapus hingga finalnya pada tahun 1870.
Sebagai penggantinya, parlemen Belanda memutuskan untuk menerapkan open door policy (politik pintu terbuka), ialah pihak swasta diberi kesempatan membuka upaya alias menanamkan modalnya di Hindia Belanda (Ekonomi Liberal). Dalam menjalankan sistem ekonomi liberal ini, parlemen menetapkan tiga peraturan utama, yaitu:
- Indische Comptabiliet Wet 1867 (UU Perbendaharaan Negara), mewajibkan seluruh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Hindia Belanda disahkan oleh parlemen dan melarang mengambil untung dari tanah jajahan.
- Agrarische Wet 1870 (UU Agraria), menetapkan dasar-dasar politik tanah, yaitu:
- Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah. Larangan ini tidak termasuk dengan tanah-tanah mini untuk ekspansi kota dan desa untuk mendirikan perusahaan dan bangunan
- Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah nan diatur dalam undang-undang. Dalam peraturan ini tidak termasuk tanah nan telah dibuka oleh rakyat Indonesia alias dipergunakan untuk tempat menggembala ternak bagi umum alias nan masuk dalam lingkungan desa untuk keperluan umum lainnya
- Undang-undang ini menekankan pribumi dapat mempunyai tanah.Tapi, orang-orang asing diperkenankan menyewanya (hak erfpacht, ialah kewenangan guna usaha) dari pemerintah selama 75 tahun alias dari para pemilik pribumi selama 5 sampai 20 tahun (tergantung persyaratan pada kewenangan pemilikan tanah).
- Gubernur Jenderal menjaga agar jangan sampai pemberian tanah itu melanggar hak-hak rakyat Indonesia
- Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah nan telah dibuka oleh rakyat Indonesia untuk keperluan mereka sendiri alias untuk keperluan lain selain untuk kepentingan umum dan untuk keperluan perkebunan nan diselenggarakan oleh pemerintah menurut peraturan-peraturan nan berlaku
- Tanah-tanah nan dimiliki oleh rakyat Indonesia mendapat kewenangan eigendom (hak mutlak) dengan syarat-syarat dan pembatasan nan diatur dalam undang-undang dan kudu tercantum dalam surat tanda eigendom, ialah mengenai kewajiban-kewajiban pemilik tanah kepada negara dan desa, dan juga tentang kewenangan menjualnya kepada orang nan bukan orang Indonesia,
- Suiker Wet 1870 (UU Gula), menetapkan bahwa pemerintah Belanda tidak lagi memonopoli gula, melainkan perusahaan swasta nan mengatur perekonomian gula. Contohnya, perusahaan swasta diperbolehkan untuk mendirikan pabrik gula.
Penerapan Sistem Ekonomi Liberal
- Perkebunan swasta mulai berkembang di Pulau Jawa maupun di daerah-daerah luar Pulau Jawa setelah disahkannya UU Agraria dan UU Gula.
- Ekspansi besar-besaran perusahaan perkebunan dan pengusahaan tanaman perdagangan di Hindia Belanda, terutama pada tanaman gula, tebu, dan kopi di Jawa. Selain itu, karet dan kelapa sawit di Sumatera.
- Daerah dengan demografi dataran tinggi digunakan untuk menanam kopi, teh, kina, dan ketela pohon di ladang-ladang. Sedangkan, di dataran rendah, digunakan untuk menanam tebu, kakao, dan tembakau.
- Tersedianya modal swasta dalam jumlah nan besar membikin banyak perkebunan gula dan beberapa perkebunan lainnya mengimpor mesin dan beragam peralatan nan dapat meningkatkan produktivitas. Hal ini menyebabkan kenaikan produksi nan pesat.
Traktat Sumatera 1871
Pelaksanaan sistem ekonomi liberal juga mendorong adanya penandatanganan Traktat Sumatera. Traktat ini ditandatangani oleh Inggris dan Belanda pada tanggal 2 November 1871. Isinya adalah sebuah perjanjian bahwa Inggris membebaskan Belanda untuk memperluas jajahannya di Sumatera, khususnya di Aceh.
Pada saat itu, Terusan Suez memang baru saja dibuka (1869). Hal ini membikin pelayaran dari Eropa ke Asia menjadi lebih singkat sehingga pelayaran dan perdagangan di Asia pun semakin meningkat.
Melihat kondisi tersebut, Belanda sangat berambisi untuk menguasai Aceh, mengingat wilayah ini sangat dekat dengan Selat Malaka sebagai akses masuk-keluar perdagangan. Menurut mereka, jika Aceh sukses dikuasai, maka untung perdagangan nan diterima pun semakin meningkat.
Tapi, Inggris juga memberikan beberapa syarat kepada Belanda, salah satunya mereka mau menjadi penanammodal di Hindia Belanda. Oleh lantaran itu, dengan adanya Traktat Sumatera 1871, aktivitas ekonomi liberal di Hindia Belanda pun semakin menguat . Ohiya, untuk lebih lengkapnya mengenai Traktat Sumatera 1871, elo bisa klik link ini, ya!
Baca Juga:
Sejarah Perang Aceh: Perang Terlama nan Harus Dihadapi Belanda
Dampak Sistem Ekonomi Liberal terhadap Pribumi
Berikut ini merupakan akibat nan dirasakan oleh pribumi saat sistem ekonomi liberal diberlakukan, yaitu:
- Berkembangnya sistem ekonomi liberal berfaedah berkembang pula sistem kapitalisme.
- Banyak industri perkebunan nan muncul, seperti perkebunan tembakau di Deli,Jember, Kedu, Klaten dan Kediri.
- Muncul pula aktivitas pertambangan di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Pulau Bangka.
- Pembangunan infrastruktur, seperti kereta api, jembatan, pabrik, dan lain-lain untuk mendukung jalannya perekonomian.
- Terjadinya pemanfaatan tanah secara besar-besaran.
- Kekayaan pulau Jawa menguntungkan kelas menengah Belanda (pengusaha/kaum liberal) nan saat itu menguasai parlemen Belanda.
- Sistem ekonomi liberal nyatanya nggak sukses meningkatkan kesejahteraan pribumi. Kaum liberal dianggap hanya mementingkan prinsip kebebasan untuk mencari untung tanpa memperhatikan nasib rakyat.
Hal ini nantinya bakal menimbulkan banyak kritikan dari kaum humanis, salah satunya Van De Venter nan mengecam parlemen melalui tulisannya untuk membalas hutang budi kepada Hindia Belanda. Kritikannya ini sukses terdengar oleh Ratu Wilhelmina dan melahirkan politik etis.
Baca Juga:
Latar Belakang & Prinsip Dasar Politik Etis Van Deventer
Penutup
Demikian pembahasan gue mengenai Sistem Ekonomi Liberal 1870. Sobat Zenius, elo bisa belajar materi ini melalui video pembelajaran, loh. Klik banner di bawah ini dan jangan lupa log-in untuk bisa nonton video-video dan akses kumpulan soalnya, ya!
Selain itu, Sobat Zenius juga bisa, lho, belajar mata pelajaran lainnya melalui video pembelajaran lewat paket belajar Aktiva Sekolah dari Zenius. Dengan paket belajar ini, elo berkesempatan ikut try out sekolah, sesi live class, serta mendapat akses rekaman dari live class tadi. Klik banner ini untuk info lebih lanjut, ya!
Penulis: Atha Hira Dewisman