Allah Ta’ala telah menjadikan kehidupan bumi ini sebagai ladang ujian dan cobaan. Setiap manusia tanpa terkecuali pastilah bakal menghadapi ujian dan coban masing-masing. Ada nan Allah Ta’ala berikan ujian berupa kelapangan, dan tidak sedikit juga nan Allah berikan ujian berupa kesempitan dan kesusahan. Allah Ta’ala berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗوَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ
“Setiap nan bernyawa bakal merasakan mati. Kami bakal menguji Anda dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan Anda bakal dikembalikan hanya kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 35)
Dengan kondisi seperti itu, seorang mukmin dituntut untuk senantiasa berhusnuzan (berbaik sangka) kepada Allah Ta’ala. Karena perihal tersebut merupakan salah satu karena datangnya kebahagiaan dan ketenangan kepada seorang mukmin. Selain itu, husnuzan juga mengantarkan seorang mukmin kepada sikap optimis nan disenangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pernah bersabda,
وَيُعۡجِبُنِي الۡفَأۡلُ. قَالُوا: وَمَا الۡفَأۡلُ؟ قَالَ: كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ
“Dan fa`l (sikap optimis) membuatku senang.” Mereka bertanya, “Apakah fa`l itu?” Nabi bersabda, “Ucapan nan baik.” (HR. Bukhari no. 5776 dan Muslim no. 2224)
Sudah sewajarnya setiap mukmin mengedepankan husnuzan, sangka baiknya kepada Allah Ta’ala dalam setiap kondisi nan dihadapinya baik itu saat mendapatkan kenikmatan maupun saat sedang ditimpa kesulitan.
Pada tulisan kali ini bakal kita telaah dua argumen krusial nan insyaAllah bakal semakin menguatkan sangka baik (husnuzan) kita kepada Allah Ta’ala.
Alasan pertama: Berbaik sangka kepada Allah merupakan intipati tauhid kita
Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya berbaikan sangka kepada Allah Ta’ala merupakan salah satu akibat pengesaan dan pengagungan kita kepada Allah Ta’ala. Di dalam salah satu ayat Al-Qur’an, Allah Ta’ala memuji orang-orang nan senantiasa berbaikan sangka kepada Allah dan memberikan pahala kepada mereka atas perihal tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ اَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْۢ بَعْدِ الْغَمِّ اَمَنَةً نُّعَاسًا يَّغْشٰى طَۤاىِٕفَةً مِّنْكُمْ ۙ وَطَۤاىِٕفَةٌ قَدْ اَهَمَّتْهُمْ اَنْفُسُهُمْ يَظُنُّوْنَ بِاللّٰهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ ۗ يَقُوْلُوْنَ هَلْ لَّنَا مِنَ الْاَمْرِ مِنْ شَيْءٍ ۗ قُلْ اِنَّ الْاَمْرَ كُلَّهٗ لِلّٰهِ ۗ
“Kemudian setelah Anda ditimpa kesedihan, Dia menurunkan rasa kondusif kepadamu (berupa) kantuk nan meliputi segolongan dari kamu, sedangkan segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri. Mereka menyangka nan tidak betul terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah. Mereka berkata, ‘Adakah sesuatu nan dapat kita perbuat dalam urusan ini?’ Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya segala urusan itu di tangan Allah.’ ” (QS. Ali Imran: 154)
BACA JUGA: Rincian Hukum Su’uzan (Prasangka Buruk)
Sedangkan orang-orang nan berburuk sangka kepada Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala mencela mereka dan mengutuk mereka. Allah Ta’ala berfirman,
وَّيُعَذِّبَ الْمُنٰفِقِيْنَ وَالْمُنٰفِقٰتِ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَالْمُشْرِكٰتِ الظَّاۤنِّيْنَ بِاللّٰهِ ظَنَّ السَّوْءِۗ عَلَيْهِمْ دَاۤىِٕرَةُ السَّوْءِۚ وَغَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَاَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا
“Dan Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, dan (juga) orang-orang musyrik laki-laki dan wanita nan berprasangka jelek terhadap Allah. Mereka bakal mendapat giliran (azab) nan jelek dan Allah murka kepada mereka dan mengutuk mereka serta menyediakan neraka Jahanam bagi mereka. Dan (neraka Jahanam) itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Fath: 6)
Semakin bertambah keagamaan di hati seseorang, maka semakin baik pula persangkaannya kepada Allah Ta’ala. Sebaliknya, semakin berkurang keagamaan di hati seseorang, maka persangkaannya kepada Allah pun bakal semakin memburuk.
Kalau kita lihat kejadian di era sekarang, saat seseorang ditimpa musibah alias sedang menghadapi ujian, maka tentu dia bakal banyak bermohon kepada Allah Ta’ala. Sayangnya, kebanyakan dari mereka saat Allah Ta’ala belum mengabulkan kemauan dan doanya, mereka meratap, pesimis, lampau meninggalkan bermohon dan mengatakan, “Allah tidak mau mengabulkan doa-doaku.” Ataupun ucapan nan semisalnya. Sungguh ini merupakan corak jelek sangka seorang hamba kepada Allah Ta’ala lantaran kurangnya keagamaan kepada Allah di hatinya.
Belum lagi di antara mereka ada nan pesimis, menduga Allah Ta’ala tidak bakal menolong hamba-Nya, menyangka bahwa apa nan bakal dia peroleh dari Allah Ta’ala dengan bermaksiat kepada-Nya sama dengan apa nan bakal dia peroleh jika dirinya menaati-Nya. Menduga, bahwa jika dia meninggalkan sebuah perkara lantaran Allah Ta’ala, maka tidak bakal Allah tukar dengan nan lebih baik. Sungguh prasangka dan persangkaan semacam ini termasuk corak persangkaan nan jelek (su’uzhan) kepada Allah Ta’ala. Pelakunya telah jatuh ke dalam perbuatan nan terlarang.
Kenapa bisa begitu? Karena dia beranggapan perihal Allah Ta’ala dengan sesuatu nan tidak sesuai dan tidak layak disandingkan dengan nama-nama-Nya nan mulia dan sifat-sifat-Nya nan agung, menisbatkan Allah Ta’ala kepada sesuatu nan tidak sejalan dengan keelokan dan kesempurnaan-Nya.
Sungguh, kebanyakan manusia pastilah pernah beranggapan jelek dan bersangka jelek kepada Allah Ta’ala tanpa dia sadari. Kunci keselamatan dari perkara ini adalah mengenal Allah Ta’ala dengan sebaik-baiknya, mengenal nama-nama-Nya, serta mengetahui juga kewajiban-kewajiban dan tuntutan-tuntutan nan ada pada setiap nama-Nya. Syekh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah pernah mengatakan,
أَنَّهُ لَا يَسْلَم مِن ذَلِك إلاَّ مَن عَرَفَ الأَسمَاء وَالصِّفَات وعَرَفَ نَفْسَه
“Bahwasanya tidak ada nan bisa selamat dari prasangka jelek ini, selain orang nan mengenal nama-nama dan sifat Allah, serta mengenal dirinya sendiri.” (Masa’il Kitab At-Tauhid, hal. 474)
Alasan kedua: Allah itu sesuai persangkaan hamba-Nya
Sebagai manusia nan sering asal-asalan dan lalai, banyak melakukan dosa dan kemaksiatan, tentu kita sangat memerlukan pembebasan Allah Ta’ala. Sesungguhnya pembebasan Allah itu begitu luasnya. Dalam sebuah sabda qudsi, Allah Ta’ala berfirman,
يا ابنَ آدمَ ! إِنَّكَ ما دَعَوْتَنِي ورَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لكَ على ما كان فيكَ ولا أُبالِي يا ابنَ آدمَ ! لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنانَ السَّماءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لكَ ( ولا أُبالِي ( يا ابنَ آدمَ ! لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الأرضِ خطَايا ثُمَّ لَقِيْتَني لاتُشْرِكْ بِيْ شَيْئًا لأتيْتُكَ بِقِرَابِها مَغْفِرَةً
”Wahai Bani Adam, sesungguhnya jika engkau senantiasa bermohon dan berambisi kepada–Ku, niscaya Aku bakal mengampunimu semua dosa nan ada padamu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, jika seandainya dosamu setinggi langit, kemudian engkau memohon maaf kepada–Ku, niscaya saya bakal memberikan pembebasan kepadamu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, seandainya engkau menghadap kepada–Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi kemudian engkau berjumpa dengan–Ku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku bakal mendatangimu dengan pembebasan sepenuh bumi pula.” (HR. Tirmidzi no. 3540 dan Ahmad no. 13493)
Sayang sekali, kebanyakan dari manusia dan para pendosa ini justru lebih mengedepankan jelek sangkanya kepada Allah Ta’ala. Saat hendak bertobat, mereka mengatakan “Apakah kita bakal diampuni? Tidak mungkinlah! Dosa kita sudah terlalu banyak!”
Sungguh mereka tidak mengetahui kedudukan Allah Ta’ala. Mereka telah berputus asa dari rahmat Allah dan ampunan-Nya. Padahal Allah Ta’ala berfirman dalam sabda qudsi,
أنا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بي، وأنا معهُ إذا ذَكَرَنِي، فإنْ ذَكَرَنِي في نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ في نَفْسِي، وإنْ ذَكَرَنِي في مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ في مَلَإٍ خَيْرٍ منهمْ
“Sesungguhnya Aku berasas pada prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Aku bakal selalu bersamanya jika dia mengingat-Ku. Jika dia mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku bakal mengingatnya dalam diri-Ku. Jika dia berzikir mengingat-Ku dalam sebuah perkumpulan, maka Aku bakal sebut-sebut dia dalam sebuah perkumpulan nan lebih baik dari mereka.” (HR. Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675)
BACA JUGA: Hukum Memelihara Burung Di Dalam Sangkar
Husnuzan, berbaikan sangka kepada Allah Ta’ala lebih ditekankan lagi untuk dilakukan saat seseorang mendekati ajalnya. Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
سَمِعْتُ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، قَبْلَ مَوْتِهِ بثَلَاثَةِ أَيَّامٍ يقولُ: لا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إلَّا وَهو يُحْسِنُ الظَّنَّ باللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (tiga hari menjelang wafatnya) mengatakan, “Janganlah seorang di antara kalian meninggal, selain dia telah berbaikan sangka kepada Allah.” (HR. Muslim no. 2877)
Tidak selayaknya seorang mukmin meninggal bumi sedangkan dia putus asa dari rahmat Allah dan kasih sayang-Nya. Hendaknya dia memperbanyak husnuzan kepada Allah Ta’ala dengan mengerjakan kebaikan, menghindarkan diri dari kemaksiatan, serta berambisi bakal pahala dan jawaban dari Allah Ta’ala.
Semoga kita semua termasuk mukmin yang senantiasa berhusnuzan dan berbaikan sangka kepada Allah Ta’ala di semua keadaan. Berbaik sangka kepada-Nya atas setiap keputusan, takdir, dan ujian nan telah Ia tuliskan kepada kita. Semoga Allah Ta’ala berikan kita keistikamahan dalam berbaikan sangka kepada-Nya hingga ajal menghampiri, serta menjadikan kita termasuk salah satu hamba-Nya nan diberikan pembebasan dan dimasukkan ke dalam surga-Nya nan penuh kenikmatan. Amiin ya Rabbal ‘alamin.
Wallahu a’lam bisshawab.
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel: www.muslim.or.id
Referensi:
Kitab “Khutuwaath Ilaa As-Sa’adah.” (Langkah-Langkah Menuju Kebahagiaan) karya Syekh Abdul Muhsin Al-Qasim Hafidhohullah dengan beberapa tambahan dan perubahan.