Dari sahabat Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
المُؤْمِنُ يَمُوتُ بِعَرَقِ الجَبِينِ
“Seorang mukmin meninggal bumi dengan keringat di dahi (kening).” (HR. Tirmidzi no. 982, An-Nasa’i no. 1828, 1829, dan Ibnu Majah no. 1452. Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani)
Makna hadis
Yang dimaksud dengan keringat adalah air nan keluar dari jasad (badan) seseorang ketika sedang berada dalam kesakitan (kepayahan) dan kepanasan. Meninggal bumi dengan kening berkeringat ini merupakan salah satu tanda husnulkhatimah, sebagaimana nan disebutkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah. (Ahkaamul Janaiz, hal. 35)
Makna sabda ini dijelaskan oleh para ustadz dengan dua penjelasan:
Pertama, seorang mukmin nan sangat berat (sakit) ketika sakratulmaut dengan tujuan untuk membersihkannya dari dosa dan kesalahan. Sehingga dia pun berjumpa dengan Allah Ta’ala dalam kondisi bersih dari dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengalami kondisi nan sangat berat ketika sakratulmaut, sampai-sampai beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,
إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ
“Sesungguhnya kematian itu mempunyai sakaraat (kondisi nan susah, sulit, alias berat, pent.).” (HR. Bukhari no. 4449)
Diceritakan oleh Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
لَمَّا نَزَلَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَفِقَ يَطْرَحُ خَمِيصَةً لَهُ عَلَى وَجْهِهِ، فَإِذَا اغْتَمَّ بِهَا كَشَفَهَا عَنْ وَجْهِهِ، فَقَالَ وَهُوَ كَذَلِكَ: لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى اليَهُودِ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ. يُحَذِّرُ مَا صَنَعُوا
“Ketika sakit Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam semakin parah, beliau memegang bajunya, dan ditutupkan ke mukanya. Bila telah terasa sesak, beliau lepaskan dari mukanya. Ketika keadaannya seperti itu, beliau bersabda, ‘Semoga laknat Allah tertimpa kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid.’ Beliau memberi peringatan (kaum muslimin) atas apa nan mereka lakukan.” (HR. Bukhari no. 435 dan Muslim no. 531)
BACA JUGA: Memperbanyak Mengingat Kematian
Berdasarkan makna nan pertama ini, kondisi berat nan dialami seorang mukmin ketika meninggal bumi adalah tanda penghapusan dosa dan juga ditinggikannya derajat. Syekh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Inilah makna nan lebih dekat.” (Minhatul ‘Allaam, 4: 238)
Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan sebuah sabda sahih dari Buraidah, bahwa beliau sedang berada di Khurasan, kemudian menjenguk saudaranya nan sakit dan dia mendapatinya meninggal bumi dengan keringat di kening. Kemudian Buraidah radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
اللَّهُ أَكْبَرُ. سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَوْتُ الْمُؤْمِنِ بِعَرَقِ الْجَبِينِ
“Allah Maha besar. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Serorang mukmin meninggal bumi dengan keringat di dahi (kening).’ ” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad, 38: 129)
Riwayat dari Buraidah ini menguatkan makna nan pertama.
Kedua, seorang mukmin itu bersusah payah untuk mencari penghidupan nan legal sampai meninggal dunia. Mereka tidak bermalas-malasan dan berpangku tangan untuk mencari rezeki nan legal sampai datangnya kematian. Maka, berasas makna kedua ini, sabda ini berisi motivasi untuk antusias dan berjuang mencari rezeki nan legal sampai kematian datang menjemput. Dia tidak meminta-minta kepada manusia, alias meninggalkan upaya mencari rezeki nan halal, sehingga dia pun menjadi penyakit bagi masyarakat di sekitarnya. Akan tetapi, seorang mukmin bakal terus berjuang dan berupaya mencari rezeki nan legal sampai kematian datang menjemputnya.
Termasuk dalam cakupan makna nan kedua ini adalah seorang mukmin itu ketika hidup di dunia, mereka bersusah payah untuk menegakkan ibadah, seperti salat dan puasa, dan juga bersusah payah untuk melaksanakan aturan-aturan dalam agama. Wallahu Ta’ala a’lam.
BACA JUGA:
- Ketika Kematian Disembelih
Hukum Mengumumkan Berita Kematian Seseorang (An-Na’yu)
***
@Rumah Kasongan, 30 Jumadil Ula 1444/ 24 Desember 2022
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: www.muslim.or.id
Referensi:
Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (4: 237-238) dan Tashiilul Ilmaam bi Fiqhi Al-Ahaadits min Buluughil Maraam (3: 14-15).