TEMPO.CO, Jakarta - Leila S. Chudori, penulis novel Namaku Alam menuturkan ada lima perihal intipati tentang kitab barunya itu. “Di dalam Namaku Alam itu ada beberapa poin nan krusial bagi saya, penulisnya, tapi belum tentu bagi pembaca,” kata Leila dalam aktivitas obrolan kitab nan diselenggarakan oleh Palmerah, Yuk! di Beranda Baca Bentara Budaya, Jakarta, Jumat, 22 September 2023.
Berikut 5 Poin krusial nan menurut Leila S.Chudori ada dalam karya terbarunya, Namaku Alam.
1. Sejarah
Bagi penulis novel best seller itu, perihal terpenting dalam Namaku Alam adalah unsur sejarah nan menjadi latar cerita. “Pertama bagi saya poin nan krusial adalah sejarah, gimana penulisan sejarah di Indonesia,” kata Leila.
Novel Namaku Alam sendiri berfokus pada masa remaja tokoh utama Segara Alam dengan kilas kembali bakal pengalaman masa kecilnya nan cukup traumatis lantaran dicap sebagai anak eks tapol di Indonesia pada era Orde Baru, pada 1965. Bersamaan dengan proses penulisan novel, Leila juga mengaku sering melakukan riset seputar masa itu dengan meminta info kepada para sejarawan.
2. Pendidikan
Poin nan berikutnya krusial bagi Leila adalah pendidikan. Dia merasa bahwa sejak dulu pendidikan di Indonesia tetap terus dibahas secara mendalam. “Its very concerning menurut saya. Apalagi 10 sampai 20 tahun terakhir, pendidikan di Indonesia malah semakin concerning menurut saya, semakin konservatif,” tutur Leila.
Wartawan senior Tempo itu pun membandingkan kurikulum pendidikan Indonesia dengan internasional nan lebih maju dan patut dijadikan contoh lantaran tidak hanya menghapal tapi juga memahami rumor seputar kemanusiaan. “Yang namanya pendidikan itu salah satu tugasnya membuka wawasan kita. Kita kudu terlatih untuk menerima beragam perbedaan di dalam pendidikan, di sekolah harusnya begitu. Tapi sekarang enggak. Bukan hanya seragam saja nan disetarakan tapi juga pemikiran pun diseragamkan,” tutur Leila.
Dia juga menambahkan soal pentingnya memahami kemanusiaan dan sastra. “Kalau kita diterima di Harvard alias Yale University tapi jika tidak punya sisi kemanusiaan (humanity) itu buat saya juga tidak make sense. Kemudian ini juga menyajikan soal sastra nan saya tekankan sungguh liberalnya sekolah ini dalam pemahaman sastra sehingga tidak hanya menghafal penulis dari angkatan mana penulis (sastrawan) saat ini,” kata Leila.
3. Mental Health
Iklan
Banyak simbol nan dicantumkan penulis dalam menggambarkan tokoh Alam, termasuk mental health alias rumor kesehatan mental nan membayanginya. “Ada soal emosi alam nan merasa melawan sesuatu nan bergerak terus sehingga dia tidak bisa bergerak. Kalau dendam sama seseorang kan kita tahu apa nan kudu dilakukan, tapi dia sama siapa ini,” kata Leila soal kesehatan mental tokoh Alam.
Masih berangkaian dengan rumor kesehatan mental, Leila juga menerangkan gimana para tokoh mengatasi temperamen, dan tokoh-tokoh seperti Alam nan sudah mengalami kekerasan sejak kecil. "Jadi anak-anak ini tetap berprestasi dan menjadi orang nan beradab menurut saya luar biasa,” katanya.
4. Musik
Soal musik juga krusial dalam Namaku Alam. Menurut Leila, musik tahun 1960, 1970, dan 1980an abadi. "Seperti halnya karya-karya sastra nan saya sebut itu juga menembus ruang dan waktu,” tutur Leila.
5. Karate
Terakhir adalah karate. Ini menjadi poin krusial lantaran karate menyantap beberapa bab dan sang penulis juga sangat percaya dengan seni bela diri ini. Berkaitan pula dengan narasumber nan menjadi inspirasi krusial dalam karya ini nan menjadikan olahraga mendaki gunung sebagai coping mechanism dalam menghadapi kemarahan.
“Salah satu narasumber krusial nan menjadi info utama dalam karya ini naik gunung untuk mengatasi kemarahannya. Saya menggantikannya dengan karate lantaran saya punya pengalaman di situ dan merasa seru,” ujar Leila.
Pilihan Editor: Leila S. Chudori Segera Terbitkan Novel Namaku Alam, Spin Off Pulang