Kewajiban untuk Melunasi Utang Orang yang Sudah Meninggal Dunia

Trending 4 months ago

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

نَفْسُ المُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

“Jiwa (ruh) orang mukmin itu tergantung oleh utangnya sampai utangnya itu dilunasi.” (HR. Ahmad no. 10599, Ibnu Majah no. 2413, dan Tirmidzi no. 1078, 1079. Hadis ini dinilai shahih oleh Syekh Al-Albani)

Faedah hadis

Hadis ini berisi tentang norma nan berangkaian dengan orang nan sudah meninggal dunia, ialah adanya tanggungjawab untuk melunasi alias bayar utangnya, jika orang nan sudah meninggal tersebut mempunyai utang kepada orang lain. Dalam kondisi ini, wajib untuk bersegera melunasi utangnya semaksimal mungkin. Jika orang nan sudah meninggal tersebut mempunyai kekayaan warisan, maka bisa diambilkan dari kekayaan warisannya. Jika tidak mempunyai kekayaan warisan, maka dianjurkan bagi sebagian kaum muslimin untuk menanggung pelunasan utangnya.

Maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ

“ … tergantung oleh hutangnya …”

adalah tergadai dengan utangnya, alias seorang mukmin tercegah dari masuk surga lantaran utangnya, alias tercegah dari mendapatkan ampunan, sampai utang-utangnya itu dilunasi.

Al-‘Iraqi rahimahullah berkata tentang makna sabda ini, “Maksudnya, perkaranya itu menggantung, tidak bisa dihukumi selamat, tidak bisa dihukumi celaka, sampai dilihat apakah utangnya sudah dilunasi ataukah belum?” (Tuhfatul Ahwadzi, 4: 193)

Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْنَ

“Seorang nan meninggal syahid bakal diampuni segala dosa-dosanya, selain utang.” (HR. Muslim no. 1886)

Masih di riwayat Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْقَتْلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُكَفِّرُ كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا الدَّيْنَ

“Syahid di jalan Allah bakal melebur setiap dosa, selain utang.” (HR. Muslim no. 1886)

BACA JUGA: Utang Bisa Menjadi Pemutus Silaturahmi dan Pertemanan

Tidaklah orang nan meninggal bumi dan mempunyai utang tersebut diampuni, sampai orang nan dia utangi itu merelakan utangnya (membebaskan alias menghalalkan utangnya) alias dilunasi utang-utangnya. [1]

Dan di antara corak perhatian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah jika dihadapkan kepada beliau jenazah untuk disalati, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya terlebih dahulu, apakah jenazah tersebut mempunyai utang ataukah tidak.

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا، فَقَالَ: «هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟» ، قَالُوا: لاَ، فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالَ: «هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟» ، قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: «صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ» ، قَالَ: أَبُو قَتَادَةَ عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَصَلَّى عَلَيْهِ

Dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dihadirkan kepada beliau satu orang jenazah agar disalatkan. Maka, beliau bertanya, “Apakah orang ini punya utang?” Mereka berkata, “Tidak.” Maka, beliau pun menyolatkan jenazah tersebut. Kemudian didatangkan lagi jenazah lain kepada beliau, maka beliau bertanya kembali, “Apakah orang ini punya utang?” Mereka menjawab, “Ya.” Maka beliau bersabda, “Salatilah saudaramu ini.” Abu Qatadah berkata, “Biar kelak saya nan menanggung utangnya.” Maka, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pun menyalatkan jenazah tersebut. (HR. Bukhari no. 2295)

BACA JUGA: Fatwa Ulama: Puasa Syawal ketika Masih Memiliki Hutang Puasa Ramadan

Dan ketika Allah Ta’ala membukakan kemenangan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan diluaskan untuk beliau rezeki, maka beliau pun menanggung utang orang-orang nan sudah meninggal bumi dan tidak mempunyai kekayaan warisan untuk melunasinya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pun menyalati jenazah tersebut. Hal ini menunjukkan sungguh bahayanya berutang.

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ، فَمَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ وَلَمْ يَتْرُكْ وَفَاءً فَعَلَيْنَا قَضَاؤُهُ، وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ

“Saya lebih utama menjamin orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri. Maka, barangsiapa meninggal dunia, sedangkan dia mempunyai utang dan tidak meninggalkan kekayaan untuk melunasinya, tanggungjawab kamilah untuk melunasinya. Dan barangsiapa nan meninggalkan harta, maka itu bagi mahir warisnya.” (HR. Bukhari no. 6731 dan Muslim no. 1619)

Oleh lantaran itu, hendaknya menjadi perhatian bagi setiap muslim, jika dia mempunyai tanggungjawab terhadap orang lain, dia kudu segera menunaikannya. Sehingga, di antara kegunaan lain dari sabda ini adalah hendaknya seseorang itu berupaya melunasi utang-utangnya sebelum meninggal dunia.

Dzahir (makna nan lebih mendekati) dari sabda ini bertindak untuk mereka nan mempunyai harta, namun tidak mau melunasi utang-utangnya. Adapun seseorang nan meninggal dunia, dan dia meninggal bumi dalam kondisi tetap mempunyai niat dan tekad untuk melunasi utangnya, maka terdapat sabda nan menunjukkan bahwa Allah-lah nan melunasi utangnya.

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

“Siapa saja nan mengambil kekayaan manusia (berutang) disertai maksud bakal membayarnya, maka Allah bakal membayarkannya untuknya. Sebaliknya, siapa saja nan mengambilnya dengan maksud merusaknya (merugikannya), maka Allah bakal merusak orang itu.” (HR. Bukhari no. 2387) [2]

BACA JUGA:

  • Fatwa Ulama: Hutang Puasa Ramadan nan Belum Terbayar
  • Serial Fikih Zakat (Bag. 14): Pengaruh Utang Investasi dan Utang Perumahan terhadap Capaian Nisab

***

@Rumah Kasongan, 8 Jumadil akhirah 1444/ 1 Januari 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: www.muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Pembahasan lebih perincian dapat dibaca di tautan ini.

https://almanhaj.or.id/13735-bila-warisan-tidak-mencukupi-untuk-membayar-hutang-2.html

[2] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (4: 250-252) dan Tashiilul Ilmaam bi Fiqhi Al-Ahaadits min Buluughil Maraam (3: 20-22).

Source muslim.or.id
muslim.or.id