Fikih Pengurusan Jenazah (5): Tata Cara Menguburkan Mayit

Trending 3 months ago

Baca pembahasan sebelumnya Fikih Pengurusan Jenazah (4): Persiapan Menguburkan Mayit

Mengubur mayit dengan peti

Mengubur mayit dengan menggunakan peti meninggal hukumnya makruh, jika tidak ada kebutuhan. Asy-Syirbini rahimahullah mengatakan,

ويُكْرَه دَفْنُه في تابوت بالإجماعِ؛ لأنَّه بدعةٌ

“Dimakruhkan menguburkan mayit di dalam peti meninggal berasas ijma (kesepakatan) ulama. Karena perbuatan ini termasuk bid’ah.” (Mughnil Muhtaj, 1: 363)

Namun, dibolehkan untuk menggunakan peti meninggal jika ada kebutuhan, seperti tanah nan mudah longsor, adanya resiko banjir, adanya penyakit pada badan mayit, alias semisalnya. Ibnu ‘Abidin rahimahullah mengatakan,

قال في الحِلْيَةِ عن الغاية: ويكونُ التابوتُ من رَأْسِ المالِ إذا كانَتِ الأرضُ رِخوةً أو نَدِيَّةً، مع كَوْنِ التَّابوتِ في غيرها مكروهًا في قولِ العُلَماءِ قاطبةً

“Penulis kitab Al-Hilyah mengatakan, ‘Peti meninggal nan digunakan untuk menguburkan mayit hendaknya dibeli dari kekayaan si mayit. Ini boleh dilakukan jika tanah pemakamannya lembut dan lembek. Walaupun pada asalnya, penggunaan peti meninggal jika tidak demikian keadaannya, hukumnya makruh berasas kesepakatan ulama.’” (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 2: 234)

Yang diucapkan ketika memasukan mayit ke lubang kubur

Disunahkan untuk membaca zikir berikut ketika memasukkan mayit ke lubang kubur:

بسمِ الله، وعلى مِلَّةِ رسولِ اللهِ

/bismillahi wa ‘ala millati Rasulillah/

atau:

بسمِ الله، وعلى سنَّةِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم

/bismillah wa ‘ala sunnati Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam/

Ini berasas sabda dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

كان النبيُّ صلَّى الله عليه وسلَّم إذا أَدْخَلَ المَيِّتَ القَبرَ، قال: ((بسمِ الله، وعلى مِلَّةِ رسولِ اللهِ ))

“Biasanya Nabi shallallahu ‘alahi wasallam ketika memasukkan mayit ke dalam lubang kubur, beliau membaca, ‘Bismillahi wa ‘ala millati Rasulillah.’ (Dengan nama Allah [kami menguburkan mayit ini] dan di atas kepercayaan Rasulullah).” (HR. At-Tirmidzi no. 1046, Ibnu Majah no. 1550, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Dalam lafaz nan lain,

أنَّ النبيَّ صلَّى الله عليه وسلَّم كان إذا وضَعَ المَيِّتَ في القَبرِ قال: بسمِ الله، وعلى سنَّةِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم  ))

“Biasanya Nabi shallallahu ‘alahi wasallam ketika meletakkan mayit ke dalam lubang kubur, beliau membaca, ‘Bismillah wa ‘ala sunnati Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ (Dengan nama Allah dan di atas tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam).” (HR. Abu Daud no. 3213, At-Tirmidzi no. 1046, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud)

Cara memasukkan mayit ke dalam lubang kubur

Langkah 1:

Mayit di letakkan dalam posisi miring ke kanan dan dimasukkan ke liang lahat. Ini adalah kesepakatan 4 mazhab.

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan, “Yang benar, mayit dikuburkan miring ke kanan dan menghadap kiblat. Karena Ka’bah adalah kiblat manusia baik ketika hidup alias ketika meninggal sebagaimana orang nan tidur dianjurkan untuk miring ke kanan. Inilah nan diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam. Maka, demikian juga mayit, dia dimiringkan ke kanan lantaran tidur dan meninggal itu mempunyai kesamaan, keduanya disebut sebagai wafat. Allah Ta’ala berfirman,

الله يَتَوَفَّى الأنفُسَ حِينَ مَوتِها وَالتي لَمْ تَمُتْ في مَنَامِهَا

“Allah mewafatkan jiwa seseorang pada saat kematiannya dan nan belum meninggal ketika dia tidur.” (QS. Az-Zumar: 42)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَهُوَ الذِي يَتَوَفَّكُم بِالَّليلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُم بِالنَهَارِ ثُمَّ يَبَْعَثُكُمْ فيِه لُيقْضَىَ أَجَلٌ مُّسَمَّى

“Dan Dialah nan mewafatkan (baca: menidurkan) Anda pada malam hari dan Dia mengetahui apa nan Anda kerjakan pada siang hari. Kemudian Dia membangunkan Anda pada siang hari untuk disempurnakan umurmu nan telah ditetapkan.” (QS. Al-An’am: 60)

Maka, nan disyariatkan adalah menguburkan mayit dengan membaringkannya miring ke kanan menghadap kiblat.” (Al-Fatawa Al-Islamiyah, 2: 52).

Langkah 2:

Mayit dihadapkan ke arah kiblat, sebagaimana telah dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin di atas. Ini adalah kesepakatan seluruh ulama, namun mereka berbeda pendapat apakah wajib alias mustahab hukumnya.

Menurut ajaran Hambali, Syafi’i, dan Hanafi, hukumnya wajib selama memungkinkan. Adapun ustadz ajaran Maliki mengatakan hukumnya sunah. Al-‘Adawi Al-Maliki rahimahullah mengatakan,

وضَجْعٌ فيه على أيمَنَ مُقْبِلًا، والظاهِرُ أنَّهما مستحبَّان

“Mayit dibaringkan ke arah kanan dan menghadap ke kiblat. Pendapat nan kuat, keduanya hukumnya mustahab.” (Hasyiyah Al-Adawi, 1: 421)

Dan mayit dihadapkan jihhatul qiblah (arah kiblat), tidak kudu persis lurus dan jeli dengan Ka’bah. Bagi kaum Muslimin di Indonesia, jihhatul qiblah adalah arah barat. Maka, selama mayit dihadapkan ke arah barat, itu sudah mencukupi.

Langkah 3:

Mayit didekatkan ke tembok liang lubur dan disandarkan ke tembok pada bagian depan tubuh mayit. Ini pendapat jumhur ustadz dari Hanabilah, Syafi’iyyah, dan Malikiyah.

Mausu’ah Fiqhiyyah Durar Saniyyah menyebutkan,

يُستحَبُّ أن يُسْنَدَ المَيِّتُ مِن أمامِه، أو يُدْنَى من الحائِطِ؛ نصَّ عليه المالِكيَّة، والشَّافعيَّة، والحَنابِلَة ؛ وذلك لئلَّا ينكَبَّ على وَجْهِه

“Dianjurkan untuk menyandarkan mayit (ke tembok kubur) dari sisi depan tubuh di mayit. Atau boleh sekedar di dekatkan ke dinding. Ini nan ditegaskan oleh ustadz Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Tujuannya, agar mayit tidak tertelungkup di atas wajahnya.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Durar Saniyyah, https://dorar.net/feqhia/2009)

Langkah 4:

Mayit diberi penyangga di bagian punggung dengan tanah, batu bata, alias nan lainnya.

Mausu’ah Fiqhiyyah Durar Saniyyah menyebutkan,

يُستحَبُّ أن يُسند الميِّت من ورائه بتُرابٍ، أو لَبِنٍ ، أو غير ذلك، وهو مذهَبُ الجمهورِ: المالِكيَّة، والشَّافعيَّة، والحَنابِلَة، وهو قَولُ بعض الحَنفيَّة ؛ وذلك حتى لا يَسْتَلقِيَ على قفاه

“Dianjurkan untuk menyangga mayit di bagian punggungnya dengan tanah, batu bata, alias barang nan lainnya. Ini adalah ajaran jumhur ulama, ialah Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan sebagian ustadz Hanafiyah. Tujuannya agar mayit tidak jatuh terlentang di atas tengkuknya.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Durar Saniyyah, https://dorar.net/feqhia/2009)

Melepas tali pocong

Terdapat hadis, diriwayatkan dari Ma’qal bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

لَمَّا وَضَع رَسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم نُعَيمَ بنَ مَسعودٍ
في القَبرِ نَزَع الأَخِلَّةَ بِفيه؛ يَعنِي العَقْدَ

“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan Nu’aim bin Mas’ud ke dalam liang kuburnya, Nabi melepas al-akhillah pada mulutnya. Al-akhillah artinya ikatan.” (HR. Al-Baihaqi no. 6714, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 11668)

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

وَأَمَّا حَلُّ الْعُقَدِ مِنْ عِنْدِ رَأْسِهِ وَرِجْلَيْهِ، فَمُسْتَحَبٌّ؛ لِأَنَّ عَقْدَهَا كَانَ لِلْخَوْفِ مِنْ انْتِشَارِهَا، وَقَدْ أُمِنَ ذَلِكَ بِدَفْنِهِ، وَقَدْ رُوِيَ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمَّا أَدْخَلَ نُعَيْمَ بْنَ مَسْعُودٍ الْأَشْجَعِيَّ الْقَبْرَ نَزَعَ الْأَخِلَّةَ بِفِيهِ.»

“Adapun melepas tali pocong di kepala dan kaki, hukumnya mustahab (dianjurkan). Karena tujuan mengikat kain kafan adalah agar tidak tercecer, dan perihal ini sudah tidak dikhawatirkan lagi ketika mayit sudah dimasukan ke liang kubur. Dan diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau meletakkan Nu’aim bin Mas’ud Al-Asyja’i ke dalam liang kuburnya, Nabi melepas al-akhillah (ikatan) pada mulutnya.” (Al-Mughni, 2: 375)

Namun, sabda ini dha’if sebagaimana dijelaskan Al-Albani dalam Silsilah Adh-Dha’ifah (no. 1763).

Para ustadz juga beralasan dengan perkataan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu

إذا أدخلتم الميت اللحد فحلو العقد

“Jika kalian memasukkan mayit ke lahat, maka lepaskanlah ikatannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Bakar Al-Atsram, dinukil dari Kasyful Qana‘, 2: 127)

Ibnu Qudamah juga menyebut ada riwayat serupa dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan,

العقد التي يربط بها الكفن تحل كلها هذا الأفضل، السنة تحل كلها في القبر، إن وضع في قبره حلت العقد كلها أولها وآخرها هذا السنة

“Ikatan nan mengikat kafan itu dibuka semuanya (ketika di liang kubur). Ini lebih utama. nan sunnah, semuanya dilepaskan di dalam kubur. Ketika dia diletakkan di dalam kuburnya, maka semua ikatannya dilepaskan dari awal sampai akhir, ini sunnah.” (Fatawa Al-Jami’ Al-Kabir, 1: 43)

Kesimpulannya, melepas tali pocong alias tali nan mengikat kain kafan hukumnya sunnah, tidak wajib.

Di sini juga perlu diberi catatan bahwa melepas tali pocong itu tidak wajib, dan tidak kenapa jika tidak dilepas. Tidak betul juga dugaan sebagian orang bahwa jika tali pocong tidak dilepas, maka mayit bakal penasaran dan bakal gentayangan.

Ini adalah khurafat nan batil, nan bertentangan dengan iktikad Islam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Ketika seorang insan mati, terputuslah amalnya, selain tiga: infak jariyah, pengetahuan nan bermanfaat, dan anak saleh nan mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)

Maka. orang nan sudah mati, sudah terputus amalnya. Tidak bisa gentayangan alias penasaran. Lagipula jika dipikir secara logis, seumpama mayit bisa gentayangan, tentu bakal melakukan hal-hal nan jauh lebih krusial daripada sekedar protes soal tali pocong.

Juga tidak betul bahwa jika tali pocong tidak dilepas, maka arwah mayit tidak tenang di alam kubur. Ini juga khurafat nan batil. Dalil-dalil nan sahih menunjukkan tenang-tidaknya mayit di alam kubur tergantung pada amalannya, bukan lantaran soal tali pocong, nan juga hukumnya tidak wajib untuk dilepas.

Menyipratkan air ke tanah kuburan

Disunahkan menyipratkan air ke tanah kuburan setelah pemakaman, berasas hadis,

رَشَّ على قَبْرِ ابنِهِ إبراهيمَ الماء

“Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menyipratkan air ke kuburan Ibrahim (putra beliau) dengan air.” (HR. Abu Daud dalam Al-Marasil, Al-Baihaqi, Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Ausath. Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah mengatakan sabda ini shahih alias minimalnya hasan).

Syekh Al-Albani pernah dalam kitab Irwaul Ghalil mengatakan bahwa tidak ada sabda nan shahih mengenai menyipratkan air ke tanah kuburan, namun dalam Ash-Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah beliau meralat pendapatnya, “Kemudian mengenai Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menyipratkan air ke kuburan putra beliau, terdapat hadis-hadis lainnya nan pernah saya takhrij dalam Al-Irwa (3: 205-206), semuanya hadisnya abnormal dan ketika itu saya tidak menemukan penguatnya. Ketika saya temukan sabda ini dalam Al-Ausath Ath-Thabrani, segera saya takhrij untuk menunjukkan bahwa ada penguatnya. Allahlah nan memberikan taufik.” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 7: 100)

Namun, menyipratkan air ini disunahkan adalah untuk melengketkan dan memadatkan tanah, bukan untuk mendinginkan sang mayit sebagaimana dugaan sebagian orang. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,

أما رش الماء على القبر فالغرض منه تلبيد التراب وليس كما يظن العامة أن الغرض أن نبرد على الميت فإن الميت لا يبرده الماء وإنما يبرده ثوابه

“Adapun menyipratkan air ke tanah kuburan tujuannya adalah untuk memadatkan tanah, bukan sebagaimana dikira oleh orang awam bahwa tujuannya adalah untuk membikin mayit sejuk. Karena mayit tidak bisa didinginkan dengan air, nan bisa membuatnya merasa sejuk adalah amalnya.” (Ta’liqat ‘alal Kaafi Libni Qudamah, 2: 389)

Dari sabda ini juga kita ketahui bahwa nan dicipratkan adalah air biasa, tidak perlu air kembang alias air menyan, alias lainnya. Terlebih jika disertai keyakinan-keyakinan nan tidak ada landasannya dalam syariat, bisa terjatuh dalam perbuatan membikin perkara baru dalam agama.

Dalam masalah ini terdapat sabda dari Abu Hayyaj Al-Asadiy, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu pernah berbicara kepada Abu Hayyaj,

« ألا أبعثك على ما بعثني عليه رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ؟ أمرني أن لا أدَعَ قبراً مشرفاً (أي مرتفعاً) إلا سوّيته (بالأرض) ولا تمثالاً إلا طمستُه »

“Maukah engkau saya utus untuk mengerjakan sesuatu nan dulu saya pun pernah diutus oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam untuk mengerjakannya? Rasulullah pernah mengutusku untuk tidak membiarkan makam ditinggikan, melainkan kudu dibuat rata dengan tanah. Lalu, tidak membiarkan ada gambar (makhluk bernyawa), melainkan kudu dihilangkan’.” (HR. Muslim no. 969)

Dalam menjelaskan sabda ini, An-Nawawi rahimahullah mengatakan,

أَنَّ السُّنَّة أَنَّ الْقَبْر لَا يُرْفَع عَلَى الْأَرْض رَفْعًا كَثِيرًا ، وَلَا يُسَنَّم ، بَلْ يُرْفَع نَحْو شِبْر وَيُسَطَّح ، وَهَذَا مَذْهَب الشَّافِعِيّ وَمَنْ وَافَقَهُ

“Yang sesuai sunah, makam itu tidak terlalu tinggi dan tidak buat melengkung. Namun, tingginya hanya sekitar sejengkal dari permukaan tanah dan dibuat merata. Ini ajaran Asy-Syafi’i dan murid-muridnya.” (Syarhu Shahih Muslim, 389/3).

Dari Jabir radhiyallahu ’anhu, beliau berkata,

نَهَى أن يقعدَ على القَبرِ، وأن يُقصَّصَ ويُبنَى علَيهِ زادَ في روايةٍ أو يُزادَ علَيهِ، وفي أخرى أو أن يُكْتبَ علَيهِ

“Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam melarang kuburan diduduki, dikapur, dan dibangun.” Dalam riwayat lain, “Beliau melarang kuburan ditinggikan.” Dalam riwayat nan lain, “Beliau melarang kuburan ditulis.” (HR. Muslim no. 970, Abu Daud no. 3225)

Dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah dijelaskan, “Para ustadz berbeda pendapat juga tentang norma menulis pada kuburan. Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah memakruhkan perihal itu secara mutlak. Berdasarkan sabda Jabir, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam melarang kuburan dikapur, diduduki, dibangun, dan ditulis.” Ulama Hanafiyah dan As-Subki dari ajaran Syafi’i membolehkan menulis di atas kuburan jika ada kebutuhan mendesak, semisal agar tidak lenyap kuburannya dan tidak dihinakan.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 32: 252)

Adapun Asy-Syaukani rahimahullah menegaskan haramnya menulis pada kuburan berasas zahir sabda (Nailul Authar, 4: 104). Ini juga pendapat nan dikuatkan oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah.

Demikian juga membangun kuburan dengan batu bata, semen, dan semisalnya sehingga ada gedung di atasnya, maka ini diharamkan oleh seluruh ustadz berasas sabda di atas. Dan juga sebagaimana sabda Abul Hayyaj di atas:

أن لا أدَعَ قبراً مشرفاً (أي مرتفعاً) إلا سوّيته (بالأرض)

“ … untuk tidak membiarkan makam ditinggikan, melainkan kudu dibuat rata dengan tanah …” (HR. Muslim no. 969)

Imam Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Dalam sabda ini adalah dalil nan nyata bahwa wajib untuk untuk meratakan setiap kuburan sehingga tidak lebih tinggi dari kadar nan dibolehkan dalam syariat. Siapa nan meninggikan kuburan lebih dari kadarnya alias membangun kubah alias masjid di atasnya, maka ini perkara nan terlarang tanpa keraguan dan tanpa syubhat.” (Syarhus Shudur bi Tahrimi Raf’il Qubur, hal. 13)

Terutama jika nan dibangun adalah berupa masjid alias tempat ibadah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

بناءُ المسجدِ عليه منهيٌّ عنه باتِّفاقِ الأمَّةِ

“Membangun masjid di atas kuburan hukumnya terlarang berasas sepakat ulama.” (Iqtidha Shiratil Mustaqim, 2: 267)

Adapun mengapur kuburan, maksudnya adalah mewarnai kuburan dengan kapur. Termasuk juga mewarnai kuburan dengan langkah lain. Az-Zabidi menjelaskan,

تجصيصُ القَبرِ: طِلاؤُه بالجِصِّ

“Maksud “mengapur kuburan” adalah mewarnai kuburan dengan kapur.” (Tajul ‘Arus, 10: 500).

Mengapur alias mewarnai kuburan juga perbuatan nan diharamkan sebagaimana disebutkan dalam sabda Jabir. Ini ditegaskan oleh Al-Qurthubi, Ibnu Hazm, Asy-Syaukani, Ash-Shan’ani, Asy-Syinqithi rahimahumullah dan para ustadz lainnya.

Hikmah pelarangan mewarnai kuburan adalah untuk menutup segala jalan kepada kesyirikan. Karena jika kuburan dibangun dan dihiasi, dia bakal diagungkan. Dan terkadang bakal membawa kepada penyembahan kepada kuburan selain beragama kepada Allah. (Lihat Asy Syarhul Mumthi, 5: 366)

Berdoa setelah pemakaman

Berdoa sejenak dan memintakan pembebasan untuk mayit setelah pemakaman adalah kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Dari Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

كان النبيُّ صلَّى الله عليه وسلَّم، إذا فَرَغَ مِن دَفْنِ المَيِّت وَقَفَ عليه، فقال: استغْفِروا لأخيكم، وسَلُوا له بالتَّثبيتِ؛ فإنَّه الآن يُسْأَلُ

“Biasanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah selesai menguburkan mayit, beliau berdiri sejenak di sisi kuburan lampau bersabda, ‘Mintalah pembebasan untuk kerabat kalian ini, dan mintalah agar dia diberi kemudahan dalam menghadapi pertanyaan kubur, lantaran dia sekarang sedang ditanya.’” (HR. Abu Daud no. 3221, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).

Namun, mendoakan mayit di sisi kubur hendaknya tidak dilakukan secara berjemaah alias dikomando oleh satu orang. Karena hadis-hadis nan ada, tidak menyebut tata langkah demikian.

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang perihal ini. Beliau mengatakan, “Berdoa secara berjemaah ini tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pula bagian dari aliran Al-Khulafa Ar-Rasyidun radhiyallahu ‘anhum. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya memberikan petunjuk kepada mereka untuk memintakan pembebasan bagi jenazah dan memohon keteguhan untuknya. Masing-masing orang membaca sendiri-sendiri, tidak dilakukan secara berjemaah.” (Fatawa Al-Janaiz, hlm. 228)

[Bersambung]

***

Penulis: Yulian Purnama, S.Kom.

Artikel: www.muslim.or.id

Source muslim.or.id
muslim.or.id