Baca pembahasan sebelumnya Fikih Pengurusan Jenazah (3): Mengantarkan Jenazah ke Makam
Hukum menguburkan mayit
Menguburkan mayit hukumya fardhu kifayah. Andaikan ada seorang muslim di suatu wilayah meninggal bumi dan tidak ada seorang muslim pun nan menguburkannya, maka seluruh masyarakat wilayah tersebut berdosa. Namun, ketika sudah ada sebagian muslim nan mencukupi untuk menguburkannya, maka kewajibannya gugur dari kaum muslimin nan lain.
Allah Ta’ala berfirman,
فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْأَةَ أَخِيهِ
“Kemudian Allah mengutus seekor burung gagak menggali tanah untuk diperlihatkan kepadanya (Qabil). Bagaimana dia semestinya menguburkan mayit saudaranya” (QS. Al-Maidah: 31)
Allah Ta’ala juga berfirman,
أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ كِفَاتًا أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا
“Bukankah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul. Bagi orang-orang hidup dan orang-orang mati.” (QS. Al-Mursalat: 25–26)
Allah Ta’ala juga berfirman,
ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ
“Kemudian Dia mematikannya lampau menguburkannya.” (QS. ‘Abasa: 21)
Ayat-ayat di atas menunjukkan disyariatkannya menguburkan orang nan telah meninggal.
Dalam sabda dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اذهبوا، فادْفِنوا صاحِبَكم
“Segeralah beranjak dan kuburkan kawan kalian itu…!” (HR. Muslim no. 2236)
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berfirman tentang para syuhada,
ادفِنوا القَتْلى في مصارِعِهم
“Kuburkanlah orang nan terbunuh di tempat mereka berperang.” (HR. Abu Daud no. 3165, At-Tirmidzi no. 1717, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud)
Hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa menguburkan orang nan meninggal hukumnya wajib. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkannya dengan kalimat perintah. Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan,
وأجمعوا على أنَّ دَفْنَ المَيِّت لازِمٌ واجِبٌ على النَّاسِ لا يَسَعُهم تَرْكُه عند الإمكانِ، ومن قام به منهم سقط فَرْضُ ذلك على سائِرِ المُسلمين
“Para ustadz ijma’ (sepakat), menguburkan mayit itu wajib. Sehingga wajib bagi orang-orang untuk melakukannya dan tidak boleh meninggalkannya, selama tetap memungkinkan. Dan jika sudah ada nan melakukannya, gugur kewajibannya dari kaum muslimin nan lain.” (Al-Ijma‘, hal. 44)
BACA JUGA: Bolehkah Perempuan Mengiringi Jenazah?
Waktu pemakaman
Waktu untuk memakamkan mayit adalah masalah nan longgar. Pada asalnya pemakaman boleh dilakukan kapan pun, dengan berupaya menyegerakan pemakaman mayit dan tidak menundanya tanpa uzur.
Namun, para ustadz melarang untuk memakamkan mayit pada tiga waktu terlarang sebagaimana waktu terlarang salat. Dalam sabda dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
ثلاثُ ساعاتٍ كان رسولُ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم ينهانا أن نُصَلِّيَ فيهنَّ، وأن نَقْبُرَ فيهِنَّ موتانا: حين تَطْلُعُ الشَّمْسُ بازغةً حتى ترتفِعَ، وحين يقومُ قائِمُ الظَّهيرةِ حتى تزولَ، وحين تَضَيَّفُ الشَّمْسُ للغُروبِ
“Ada tiga waktu nan dulu dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk salat dan menguburkan orang meninggal di antara kami. Yaitu, (1) ketika baru saja mentari terbit sampai agak meninggi, (2) ketika mentari tegak lurus sampai sedikit bergeser, dan (3) ketika mentari nyaris tenggelam.” (HR. Muslim no. 831)
Adapun melakukan pemakaman di malam hari, para ustadz empat ajaran membolehkannya. Berdasarkan sabda dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
أنَّ رسولَ الله صلَّى الله عليه وسلَّم، مرَّ بقبرٍ قد دُفِنَ ليلًا، فقال: متى دُفِنَ هذا؟ قالوا: البارحةَ، قال: أفَلَا آذَنْتُموني؟ قالوا: دفنَّاه في ظُلْمَةِ اللَّيلِ، فكَرِهْنا أن نُوقِظَك، فقام، فصَفَفْنا خَلْفَه، قال ابنُ عبَّاس: وأنا فيهم، فصلَّى عليه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati kuburan nan jenazahnya dikuburkan di malam hari. Beliau bersabda, ‘Kapan dia dikuburkan?’ Para sahabat menjawab, ‘Tadi malam, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Mengapa kalian tidak menunjukkan aku?’ Para sahabat menjawab, ‘Tadi malam kami menguburkannya di kegelapan malam. Kami tidak mau membangunkan Anda, wahai Rasulullah.’ Kemudian Rasulullah berdiri dan menyusunkan dalam saf di belakang beliau. Ibnu Abbas mengatakan, ‘Aku salah satu di antara mereka.’ Kemudian Rasulullah dan para sahabat pun melakukan salat (jenazah) untuknya.” (HR. Bukhari no. 1321, Muslim no. 954)
BACA JUGA: Hukum Memakamkan Jenazah di Malam Hari
Larangan duduk sebelum mayit dikuburkan
Terdapat larangan bagi para pengiring jenazah untuk duduk di area pemakaman sebelum mayit dimakamkan. Karena terdapat larangannya dalam sabda Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إذا اتَّبَعْتم جِنازة، فلا تجلسوا حتى تُوضَعَ
“Jika kalian mengiringi jenazah, maka jangan duduk sampai dia dimasukkan ke liang kubur.” (HR. Bukhari no. 1310, Muslim no. 959)
Dari sabda ini, sebagian ustadz mengatakan bahwa duduknya para pengiring jenazah sebelum mayit dimakamkan, hukumnya makruh. Ini pendapat ajaran Hanafi, Hambali, Ibnul Qayyim dan Asy-Syaukani. Ini juga pendapat nan dikuatkan oleh Syekh Ibnu Baz dan Syekh Ibnu Al-‘Utsaimin.
Namun, Malikiyah dan Syafi’iyyah membolehkan perihal tersebut berasas dalil sabda dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu nan bicara tentang tata langkah pengurusan jenazah. Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
إِنَّ رَسولَ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم قامَ، ثُمَّ قَعَدَ
“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri ketika menunggu jenazah, kemudian setelah itu beliau duduk.” (HR. Muslim no. 962)
Mereka memaknai perkataan “kemudian setelah itu beliau duduk” sebagai nasakh. Yakni, larangan untuk duduk sebelum mayit dikuburkan telah mansukh (dihapus).
Namun, nan lebih berhati-hati adalah memilih pendapat nan pertama, lantaran perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih didahulukan daripada perbuatan beliau. Demikian juga, tidak duduk sebelum mayit dikuburkan ini lebih memberikan penghormatan kepada mayit. Wallahu a’lam.
Tempat memakamkan mayit
Tempat nan paling utama untuk memakamkan mayit seorang muslim adalah di pemakaman kaum muslimin. Ini adalah pendapat ustadz 4 mazhab. Dahulu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa memakamkan jenazah kaum muslimin di pemakaman Baqi’. An-Nawawi rahimahullah mengatakan,
حديثُ الدَّفنِ بالبقيعِ صحيحٌ متواتِر
“Hadis tentang memakamkan jenazah di Baqi’ statusnya shahih mutawatir.” (Al-Majmu‘, 5: 282)
Manfaat nan didapatkan jika jenazah dimakamkan di pemakaman kaum muslimin di antaranya:
Pertama: Akan banyak didoakan oleh orang-orang nan berkunjung kubur alias melewati pemakaman. (Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, 2: 379)
Kedua: Menyerupai perkampungan alambaka di mana kaum mukminin semua berkumpul kelak di akhirat. (Syarah Muntahal Iradat karya Al-Buhuti, 1: 376)
Ketiga: Lebih sedikit mudaratnya bagi family mayit. (Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, 2: 379)
Dan pemakaman kaum muslimin hendaknya dipisah dengan pemakaman nonmuslim. Sebagaimana sabda dari Basyir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
بَيْنَمَا أَنَا أُمَاشِي رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَرَّ بِقُبُورِ الْمُشْرِكِينَ فَقَالَ : ( لَقَدْ سَبَقَ هَؤُلاَءِ خَيْرًا كَثِيرًا ) ثَلاَثًا ، ثُمَّ مَرَّ بِقُبُورِ الْمُسْلِمِينَ فَقَالَ :( لَقَدْ أَدْرَكَ هَؤُلاَءِ خَيْرًا كَثِيرًا )
“Ketika saya menjadi kawan jalannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kami melewati pemakaman kaum musyrikin. Beliau bersabda, ‘Sungguh dulu (ketika hidup) mereka merasakan banyak kebaikan.’ Beliau katakan ini 3x. Kemudian kami melewati pemakaman kaum muslimin, beliau bersabda, ‘Sungguh mereka sekarang mendapatkan kebaikan nan banyak.’” (HR. Abu Daud no. 3230, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud)
Hadis ini menunjukkan bahwa nan diamalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat adalah mereka memisahkan pemakaman kaum muslimin dengan pemakaman nonmuslim.
Dan ustadz sepakat bakal perihal ini. Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan,
اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ يَحْرُمُ دَفْنُ مُسْلِمٍ فِي مَقْبَرَةِ الْكُفَّارِ وَعَكْسُهُ إِلاَّ لِضَرُورَةٍ
“Para fuqaha sepakat bahwa diharamkan memakamkan muslim di pemakaman orang kafir alias sebaliknya, selain jika darurat.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 19: 21)
Jenazah muslim boleh dimakamkan di pemakaman nonmuslim alias pemakaman umum nan tercampur antara muslim dan nonmuslim jika kondisinya darurat. Semisal tidak ada lahan lain, alias lahan pemakaman kudu membeli dengan nilai mahal, alias pemerintah memaksa untuk dimakamkan di sana.
Jumhur ustadz dari Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Malikiyah membolehkan untuk memakamkan mayit di rumah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dimakamkan di rumah ‘Aisyah. Demikian juga Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhuma, dimakamkan di samping makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di rumah ‘Aisyah.
Namun, nan rajih dan lebih hati-hati adalah pendapat nan melarang memakamkan mayit di rumah. Sebagaimana sabda dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لا تَجْعلوا بُيُوتَكم مقابِرَ
“Jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan!” (HR. Muslim no. 780)
Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan, “Wajib memakamkan mayit di pemakaman kaum muslimin, tidak boleh di rumahnya. Adapun Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhuma dimakamkan di rumah ‘Aisyah lantaran mereka berdua adalah sahabat nan spesial bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga pemakaman beliau bertiga di dalam rumah adalah pemakaman nan khusus. Berdasarkan ijtihad dari sebagian sahabat.” (At-Ta’liq ‘ala Riyadhis Shalihin ‘ala Qira’ah, Syekh Muhammad Ilyas, no. 168)
BACA JUGA: Hukum Menunda Pemakaman Jenazah
Memindahkan mayit ke wilayah lain sebelum dimakamkan
Yang paling utama bagi mayit adalah dimakamkan di tempat dia meninggal. Ibnul Munzir rahimahullah mengatakan,
يُستَحَبُّ أن يُدْفَنَ المَيِّتُ في البلدِ الذي تُوُفِّيَ فيه، على هذا كان الأمْرُ على عهدِ رسولِ الله صلَّى الله عليه وسلَّم، وعليه عوامُّ أهلِ العِلْمِ، وكذلك تفعلُ العامَّة في عامَّة البلدان
“Dianjurkan untuk memakamkan mayit di wilayah tempat dia wafat. Itulah nan biasa dilakukan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga keumuman praktek para ulama. Dan ini pula nan dipraktekkan oleh keumuman kaum muslimin di beragam negeri.” (Al-Ausath, 5: 516)
Namun, dibolehkan untuk memindahkan mayit ke wilayah lain jika ada kebutuhan. Ini adalah pendapat ajaran Hanafi, Maliki, dan Hambali. Imam Malik rahimahullah mengatakan,
إنَّ سعدَ بنَ أبي وقَّاصٍ وسعيدَ بنَ زيدٍ ماتا بالعقيقِ، فحُمِلَا إلى المدينةِ، ودُفِنَا بها
“Sa’ad bin Abi Waqqash dan Sa’id bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma keduanya wafat di Al-‘Aqiq. Namun, kemudian jenazahnya dibawa ke Madinah dan dimakamkan di sana.” (Al-Muwatha’, no. 977)
Bentuk lubang kuburan
Ada dua corak lubang kuburan nan biasa digunakan, ialah syaq dan lahd (lahad). Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,
اللَّحْدُ: الشَّقُّ فِي جَانِبِ الْقَبْرِ؛ فيَحْفِر في أرضِ القَبْرِ مِمَّا يلي القبلةَ مكانًا يُوضَع المَيِّت فيه. والشَّقُّ هو أن يَحْفِرَ في أرض القَبرِ شقًّا يَضَعُ المَيِّتَ فيه، ويَسْقِفُه عليه بشيءٍ
“Lahad adalah lubang nan berada di sisi tembok kuburan. Digali lubang pada dasar kuburan nan menghadap kiblat, untuk tempat diletakkannya mayit. Adapun syaq adalah lubang nan digali pada dasar kuburan, sehingga bisa ditutup dari bagian atasnya.” (Al-Mughni, 2: 371-372)
Kesimpulannya, lahad itu dibagian pinggir, sedangkan syaq itu di bagian tengah dari lubang kubur.
Ulama 4 ajaran sepakat bahwa lahad lebih utama dari pada syaq. Berdasarkan sabda dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
الْحَدُوا لي لَحْدًا، وانصِبوا عليَّ اللَّبِنَ نَصْبًا، كما صُنِعَ برسولِ الله صلَّى الله عليه وسلَّم
“(Jika saya meninggal), buatlah liang lahad untukku, dan tegakkanlah di atasku batu bata. Sebagaimana nan dilakukan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Muslim no. 966).
Wallahu a’lam.
BACA JUGA: Fikih Pengurusan Jenazah (2): Shalat Jenazah
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel: www.muslim.or.id