Baca seri sebelumnya: Fikih Pengurusan Jenazah (2)
Bersegera memakamkan mayit
Hendaknya bersegera untuk memakamkan mayit, tidak menundanya terlalu lama. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَسْرِعُواْ بالجنازةِ ، فإن تَكُ صالحةً فخيرٌ تُقَدِّمُونَهَا ، وإن يَكُ سِوَى ذلكَ ، فشَرٌّ تضعونَهُ عن رقابكم
“Percepatlah pengurusan jenazah. Jika dia orang nan saleh di antara kalian, maka bakal jadi kebaikan baginya jika kalian percepat. Jika dia orang nan bukan demikian, maka keburukan lebih sigap lenyap dari pundak-pundak kalian.” (HR. Bukhari no. 1315, Muslim no. 944)
Membawa mayit ke pemakaman
Ketika mayit telah dimandikan, dikafani, dan telah disalatkan, maka dia dibawa ke pemakaman. Ulama sepakat bahwa hukumnya fardu kifayah bagi kaum muslimin untuk membawa mayit ke pemakaman. Penduduk suatu kaum berdosa jika ada nan meninggal di tengah mereka dan tidak dibawa ke pemakaman.
An-Nawawi rahimahullah mengatakan,
حمل الجِنازَة فرض كفاية ولا خلاف فيه
“Membawa jenazah (ke pemakaman) hukumnya fardu kifayah dan tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.” (Al-Majmu‘, 5: 270)
Dan nan dianjurkan adalah jenazah dibawa langsung oleh orang-orang, bukan dengan kendaraan. Namun, boleh membawanya dengan kendaraan jika ada kebutuhan.
Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Yang lebih utama adalah membawa jenazah dengan keranda. Karena dengan demikian, para pengiring bakal secara langsung membawa jenazah. Karena ketika iring-iring jenazah melewati pasar, mereka bakal mengetahui itu adalah jenazah dan mereka bakal mendoakannya. Demikian juga bakal lebih jauh dari emosi berbesar hati dan sombong. Kecuali jika ada kebutuhan alias dalam kondisi darurat, maka tidak kenapa membawa jenazah dengan kendaraan. Semisal ketika sedang hujan, alias panas nan sangat terik, alias dingin nan sangat dingin alias lantaran sedikitnya orang nan mengiringi jenazah.” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 17: 166)
BACA JUGA: Hukum Mencium Jenazah
Mengiringi jenazah ke makam
Ulama 4 ajaran sepakat tentang dianjurkannya laki-laki untuk mengantarkan jenazah ke makam. Berdasarkan sabda dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ
“Hak sesama muslim ada lima: (1) membalas salamnya, (2) menjenguknya ketika dia sakit, (3) mengikuti jenazahnya nan dibawa ke pemakaman, (4) memenuhi undangannya, dan (5) ber-tasymit ketika dia bersin.” (HR. Bukhari no. 1164, Muslim no. 4022)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ، قِيل: مَا هُنَّ يَا رَسُول اللَّهِ؟ قَال: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَشَمِّتْهُ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ
“Hak sesama muslim itu ada enam.” Para sahabat bertanya, “Apa saja wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “(1) Jika engkau berjumpa dengan saudaramu, ucapkanlah salam kepadanya. (2) Jika dia mengundangmu, maka penuhilah. (3) Jika dia meminta nasihat kepadamu, maka nasihatilah ia. (4) Jika dia bersin dan mengucapkan hamdalah, maka doakan dia dengan ‘yarhamukallah’. (5) Jika dia sakit, maka jenguklah ia. (6) Jika dia meninggal, maka antarkanlah jenazahnya” (HR. Muslim no. 2162)
Adapun bagi wanita, ada perselisihan di antara ustadz apakah terlarang alias tidak bagi wanita untuk ikut mengantarkan jenazah ke makam. Karena terdapat sabda dari Ummu Athiyyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata,
نُهِينَا عن اتِّباعِ الجنائِزِ، ولم يُعْزَمْ علينا
“Dahulu kami dilarang oleh Nabi untuk mengiringi jenazah. Namun, kami tidak dilarang dengan tegas.” (HR. Bukhari no. 1278, Muslim no. 938)
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, mengatakan hukumnya makruh. Sedangkan ustadz Hanafiyah mengatakan hukumnya haram. Pendapat kedua ini nan dikuatkan oleh Syekh Ibnu Baz dan Syekh Ibnu Al-‘Utsaimin rahimahumallahu ta’ala.
Masalah keranda mayit
Yang dianjurkan adalah tidak menutup keranda mayit ketika mayit sedang dibawa ke pemakaman dan membiarkannya terbuka dan terlihat. Ini pendapat nan lebih tepat. Adapun ustadz Malikiyyah mengatakan bahwa menutup keranda mayit hukumnya boleh, sedangkan ustadz Hanabilah mengatakan hukumnya dianjurkan.
Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,
لا يُشْرَع تغطيةُ المَيِّت بغطاءٍ مكتوبٍ عليه آياتٌ من القرآنِ كآيةِ الكُرْسِيِّ، أو غيرها؛ فليس لذلك أصْلٌ، وهو في الحقيقة امتهانٌ لكلامِ اللهِ عَزَّ وجَلَّ، بجعْلِه غطاءً يَتَغَطَّى به الميِّتُ، وهو ليس بنافعٍ المَيِّتَ بشيءٍ
“Tidak disyariatkan menutup keranda mayit dengan kain nan bertuliskan ayat Al-Qur’an seperti ayat Kursi alias ayat lainnya. Perbuatan seperti ini tidak ada asalnya. Perbuatan demikian juga sebenarnya termasuk perendahan terhadap Kalamullah ‘Azza Wajalla dengan menjadikannya ayat Allah sebagai penutup mayit. Dan perihal ini pun tidak memberi faedah kepada mayit sedikit pun.” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 17: 168)
Namun, ini bertindak untuk mayit laki-laki. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
أمَّا الرجُلُ فلا يُسَنُّ فيه هذا، بل يبقى كما هو عليه؛ لأنَّه فيه فائدة، وهي قوَّةُ الاتِّعاظ إذا شاهده مَن كان معه بالأمسِ جُثَّةً على هذا السَّريرِ، وإن سُتِرَ بعباءةٍ كما هو معمولٌ به عندنا فلا بأس
“Adapun mayit laki-laki, tidak dianjurkan untuk ditutup kerandanya. Bahkan, dibiarkan apa adanya. Karena dengan demikian, ada faedah nan bisa diambil. Yaitu, para pengantar jenazah bisa lebih mengambil pelajaran ketika memandang jenazah nan tetap berbareng mereka kemarin, sekarang sudah terbaring di keranda. Namun, seumpama mayit ditutup dengan jubah sebagaimana nan biasa dilakukan di tempat kita (Saudi Arabia), maka tidak mengapa.” (Asy-Syarhul Mumthi’, 5: 357)
Dan para ustadz 4 ajaran sepakat dianjurkannya menutup keranda mayit, jika mayitnya perempuan. Untuk menjaga kehormatan mayit dan mencegah terjadinya tuduhan (godaan).
BACA JUGA: Posisi Imam ketika Jenazah nan Disalatkan adalah Perempuan
Di mana posisi para pengantar jenazah?
Para ustadz membahas tentang mana nan lebih utama tentang posisi para pengantar ketika mengantarkan jenazah. Mereka terbagi menjadi 3 pendapat:
Pertama, pendapat ustadz nan mengatakan bahwa pengantar jenazah lebih utama berada di depan jenazah. Karena para pengantar adalah syafi‘ (pemberi syafa’at), dan pemberi syafa’at lebih berkuasa berada di depan. Ini adalah pendapat jumhur ulama, ialah ajaran Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Kedua, para pengantar jenazah lebih utama berada di belakang jenazah. Karena ini nan lebih sesuai dengan lafaz hadis,
إِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ
“Jika dia meninggal, maka ikutilah jenazahnya …” (HR. Muslim no. 2162)
Tidak disebut ittiba‘ (mengikuti), selain berada di belakang.
Ketiga, pendapat nan mengatakan bahwa baik di depan alias di belakang sama utamanya. Karena ini lebih memudahkan para pengantar dan lebih mempercepat prosesi pemakaman. Ini adalah salah satu pendapat dalam ajaran Hambali. Juga dikuatkan oleh Ath-Thabari, Asy-Syaukani, dan Syekh Ibnu Al-‘Utsaimin.
Bolehkah para pengantar menggunakan kendaraan?
Jika jenazah dibawa ke pemakaman dengan melangkah kaki, maka dimakruhkan bagi para pengantar untuk menggunakan kendaraan. Ini adalah pendapat ajaran Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Di antara dalilnya adalah sabda dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu,
أنَّ رسولَ الله صلَّى الله عليه وسلَّم أُتِيَ بدابَّةٍ وهو مع الجِنازة فأبى أن يَرْكَبَها، فلمَّا انصرف أُتِيَ بدابَّةٍ فَرَكِبَ، فقيل له، فقال: إنَّ الملائكةَ كانت تَمْشي، فلم أكُنْ لِأَرْكَبَ وهم يَمشونَ، فلمَّا ذهبوا رَكِبْتُ
“Didatangkan hewan tunggangan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau sedang mengiringi jenazah. Beliau pun enggan untuk menaikinya. Lalu, ketika selesai memakamkan jenazah, didatangkan kembali hewan tunggangan untuk beliau dan beliau menaikinya. Ketika ada nan bertanya tentang apa argumen beliau, beliau menjawab, ‘Sesungguhnya (ketika mengiringi jenazah) saya memandang para Malaikat melangkah kaki, sehingga saya pun enggan untuk menaiki kendaraan ketika mereka melangkah kaki. Namun, ketika mereka sudah pergi, saya pun menaikinya.’” (HR. Abu Daud no. 3177, disahihkan Al-Albani dalam At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah, 1: 458)
Namun, tidak kenapa menggunakan kendaraan jika mayit dibawa dengan kendaraan juga.
BACA JUGA: Hukum Mendirikan Salat Jenazah di Dalam Masjid
Bacaan ketika mengantarkan jenazah
Tidak ada referensi unik nan diucapkan oleh para pengiring jenazah ketika sedang mengantarkan jenazah. Namun, hendaknya mereka memperbanyak angan untuk kebaikan mayit dan mengantarkan jenazah dengan banyak berzikir, banyak mengingat kematian, dan mengkhusukkan hati. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
لا يُستَحَبُّ رَفْعُ الصَّوتِ مع الجِنازَة؛ لا بقراءةٍ ولا ذِكْرٍ ولا غيرِ ذلك؛ هذا مذهَبُ الأئمَّة الأربعة، وهو المأثورُ عَنِ السَّلَف من الصَّحابة والتابعين، ولا أعلَمُ فيه مخالِفًا
“Tidak dianjurkan mengeraskan bunyi ketika mengiringi jenazah. Baik itu berupa referensi Al-Qur’an, referensi zikir, alias bunyi lainnya. Ini adalah ajaran Imam madzhab nan empat. Ini pula nan diriwayatkan dari para salaf, baik dari para sahabat, alias para tabiin. Dan saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.” (Majmu’ Al-Fatawa, 24: 294)
Qais bin ‘Abbad rahimahullah, seorang ustadz tabiin, mengatakan,
كانوا يَسْتَحبُّون خَفْضَ الصَّوتِ عند الجنائِزِ، وعند الذِّكْرِ، وعِندَ القِتالِ
“Dahulu para sahabat menganjurkan untuk merendahkan bunyi ketika mengiringi jenazah, ketika zikir, dan ketika berperang.” (HR. Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd [247], Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf [11201], disahihkan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz [92])
Wallahu a’lam.
BACA JUGA: Anjuran Memperbanyak Jemaah ketika Salat Jenazah
[Bersambung]
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel: www.muslim.or.id