Berdusta atas Nama Allah dan Rasulullah

Trending 5 months ago

Pada era dulu, banyak dijumpai hadis-hadis tiruan atas nama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Sejumlah ustadz beranggapan bahwa norma sengaja berbohong atas nama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dengan membikin sabda tiruan adalah kafir nan mengeluarkannya dari Islam. Tidak diragukan lagi bahwa sengaja bedusta atas nama Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wasallam dalam menghalalkan nan haram dan mengharamkan nan legal adalah murni kekafiran.

Diriwayatkan dari Al Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ، مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

”Sesungguhnya berbohong atas namaku itu tidak sama dengan berbohong atas nama orang lain. Barangsiapa nan dengan sengaja berbohong atas namaku, maka persiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 3)

Maksud sabda ini adalah barangsiapa nan berbohong atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sengaja, maka dia telah menyiapkan tempat tinggal (tempat duduk) di dalam neraka dan dia bakal tinggal di tempat nan telah dipersiapkannya tersebut.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ، فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ

”Barangsiapa meriwayatkan suatu sabda dan dia beranggapan (berprasangka) bahwa sabda tersebut adalah sabda palsu, maka dia adalah salah satu dari dua pendusta.” (HR. Muslim no. 4, Tirmidzi no. 2664, dan Ibnu Majah no. 38)

Hadis di atas menunjukkan terlarangnya seseorang untuk meriwayatkan sabda ketika di dalam hatinya timbul prasangka apakah sabda tersebut adalah sabda tiruan ataukah tidak. Jika meriwayatkan sabda nan statusnya meragukan saja tidak boleh, lampau gimana lagi dengan orang nan sudah mengetahui dengan jelas bahwa status suatu sabda adalah palsu, kemudian dia ceritakan (sebarkan) tanpa menjelaskan bahwa sabda tersebut palsu?

Orang nan meriwayatkan alias menceritakan suatu hadis, padahal di dalam hatinya timbul prasangka apakah status sabda tersebut tiruan ataukah tidak, maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam katakan bahwa dia adalah salah satu dari dua pendusta. Pendusta nan pertama adalah mereka nan membikin sabda palsu. Sedangkan pembohong kedua adalah dirinya sendiri nan tetap menceritakan suatu hadis, padahal dia mempunyai prasangka bahwa sabda tersebut adalah sabda palsu.

BACA JUGA: Bangga Dengan Suatu nan Tak Dimiliki, Bagai Memakai Dua Baju Kedustaan

Berdusta atas nama Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wasallam adalah corak kedustaan nan paling besar. Allah Ta’ala berfirman,

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللّهِ كَذِباً لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

”Maka, siapakah nan lebih kejam daripada orang-orang nan membuat-buat bohong atas nama Allah sehingga menyesatkan manusia tanpa pengetahuan? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang nan zalim.” (QS. Al-An ‘am: 144)

Dalam bahasa Arab, huruf lam pada kalimat لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ  adalah ”lam aqibah”, dan bukan ”lam ta’lil”. Jika ”lam” pada ayat tersebut adalah ”lam ta’lil”, maka makna ayat menjadi, ”orang-orang nan membuat-buat bohong terhadap Allah lantaran mau menyesatkan manusia.” Jika dimaknai semacam ini, maka konsekuensinya adalah seseorang boleh berbohong atas nama Allah Ta’ala selama tidak bermaksud untuk menyesatkan manusia. Hal ini lantaran berbohong atas nama Allah Ta’ala yang dilarang adalah berbohong atas nama Allah dengan tujuan untuk menyesatkan manusia. Sebagai contoh jika membikin sabda tiruan dengan tujuan menyemangati orang beribadah, maka perihal itu tidak mengapa.

Padahal, makna nan betul bukanlah demikian. Huruf lam pada kalimat لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ adalah ”lam aqibah”, nan menunjukkan akibat dari suatu perbuatan. Oleh lantaran itu, makna nan tepat dari ayat tersebut adalah bahwa akibat dari kedustaan-Nya tersebut kepada Allah Ta’ala itulah nan menyebabkan manusia tersesat.

Berdusta atas nama Allah Ta’ala dapat dibagi ke dalam dua kelompok:

Pertama, mengatakan bahwa Allah Ta’ala berfirman demikian dan demikian, padahal Allah Ta’ala tidak berfirman seperti nan dia katakan.

Kedua, menafsirkan firman Allah Ta’ala dengan seenaknya, berbeda dengan nan Allah Ta’ala kehendaki. Namun, jika seseorang menafsirkan bahwa makna ayat ini adalah demikian dan demikian, padahal makna dari ayat tersebut tidak seperti nan dikatakannya, maka kedustaan jenis kedua ini perlu dirinci.

Rincian pertama, jika dia keliru (salah paham) dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an disebabkan lantaran kesalahan dalam ijtihad, maka perihal ini dimaafkan. Hal ini lantaran Allah Ta’ala tidak membikin kesempitan dalam agama. Itulah keahlian maksimal orang tersebut dan Allah Ta’ala tidak membebani manusia di luar pemisah kemampuannya.

Rincian kedua, jika dia keliru dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an disebabkan aspek kesengajaan, ialah lantaran mengikuti hawa nafsu alias lantaran mau menyenangkan suatu golongan tertentu, maka dia dikatakan telah berbohong atas nama Allah Ta’ala.

Demikian pula, berbohong atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dapat dibagi ke dalam dua kelompok,

Pertama, mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda demikian dan demikian, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berfirman seperti nan diucapkannya.

Kedua, menafsirkan sabda berbeda dengan nan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kehendaki.

Kelompok nan sangat layak dimasukkan ke dalam bohong atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jenis kedua adalah golongan syi’ah rafidhah. Syi’ah rafidhah merupakan  golongan sesat nan paling banyak membikin sabda palsu. Para ustadz mahir sabda menegaskan bahwa tidak ada golongan sesat nan membikin sabda tiruan sebanyak nan dibuat oleh syi’ah rafidhah. Hal ini dapat kita ketahui dengan meneliti dan mengkaji buku-buku karya para tokoh syi’ah rafidhah.

Termasuk berbohong atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seseorang nan mengatakan bahwa aliran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah demikian dan demikian. Padahal, nan diucapkannya itu sama sekali bukan termasuk aliran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

BACA JUGA:

  • Tafsir Ayat “Agar Allah Mengetahui Orang nan Jujur Dan nan Dusta”
  • Kajian Ramadhan 24: Tinggalkanlah Dusta!

***

@Rumah Kasongan, 30 Jumadil Ula 1444/ 24 Desember 2022

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: www.muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Al-Kabaair, karya Adz-Dzahabi rahimahullah, dengan beberapa penambahan.

Source muslim.or.id
muslim.or.id