Agama Itu Anugerah

Trending 6 months ago

Khutbah Pertama:

إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

وَ إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ

أَمَّا بَعْدُ:

Hadirin jamaah jumat nan dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, Ittaqullah..

Alhamdulillah, kita layak berterima kasih kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas kemudahan nan diberikan Allah kepada kita untuk melaksanakan salah satu tanggungjawab nan Allah bebankan kepada setiap laki-laki muslim nan sudah baligh, ialah melaksanakan shalat Jumat secara berjamaah. Kita memohon kepada Allah, mudah-mudahan pengarahan nan disampaikan oleh setiap khotib melalui pidato nan mereka sampaikan dalam kesempatan jumatan bisa kita terima secara maksimal, sehingga menjadi tambahan pengetahuan dan bekal bagi kita dalam mengarungi kehidupan di bumi ini.

Hadirin nan dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, Allah Ta’ala menyebut dalam Alquran bahwa nikmat nan Allah berikan kepada kita ada dua. Nikmat muqoyyadah, ialah nikmat nan terbatas hanya di dunia. Dan nikmat mutlaqoh, ialah nikmat nan bisa dirasakan seorang hamba baik saat hidup di bumi maupun kelak tatkala di akhirat. Nikmat mutlaqoh ini adalah nikmat agama. Allah utus kepada manusia seorang rasul nan menjelaskan patokan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman di Surat Ali Imran di ayat 164:

 لَقَدْ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا۟ مِن قَبْلُ لَفِى ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang nan beragama ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, nan membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah betul-betul dalam kesesatan nan nyata.” [Quran Ali Imran: 164]

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Dia telah memberi nikmat kepada orang-orang beriman. Apa nikmat tersebut? Yaitu diutusnya seorang rasul kepada mereka dan dari golongan mereka sendiri. Maksudnya adalah rasul dari kalangan manusia nan beraktifitas seperti manusia dan bisa ditiru oleh manusia nan lain. 

Yang tugas rasul tersebut adalah membacakan ayat-ayat Allah dan membersihkan jiwa mereka serta mengajarkan kepada mereka al-kitab dan hikmah. Karena sebelum diutus rasul manusia berada dalam kesesatan nan nyata. Artinya, ketika diutus seorang rasul nan menjelaskan tentang ayat-ayat Allah, manusia baru mendapatkan petunjuk, mendapatkan aliran kepercayaan nan diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebelum ada rasul, manusia disebut oleh Allah:

وَإِن كَانُوا۟ مِن قَبْلُ لَفِى ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ

“Dulu mereka sebelumnya berada dalam kondisi tersesat.”

Ini menunjukkan bahwa keberadaan kepercayaan nan diberikan oleh Allah kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kebutuhan nan paling pokok agar manusia tidak disebut oleh Allah sebagai manusia nan tersesat. nan perihal itu menjadi pembeda antara dia dengan orang kafir. nan menjadi pembeda antara orang mukmin dengan orang-orang nan tidak beragama kepada Allah Azza wa Jalla. 

Dari sini kita bisa mendapat konklusi bahwa kepercayaan itu murni pemberian dari Allah bukan hasil kreasi manusia. Sekali lagi, kepercayaan adalah pemberian dari Allah, hidayah dari Allah, dan bukan kreasi manusia. Bukan buatan manusia.

Di ayat nan lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa kepercayaan nan Allah turunkan ini adalah nikmat nan besar nan telah Allah sempurnakan untuk manusia. Allah berfirman di Surat Al-Maidah di ayat nan ketiga:

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا 

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk Anda agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi kepercayaan bagimu.” [Quran Al-Maidah: 3].

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut kepercayaan sebagai nikmat, lantaran kepercayaan adalah hidayah dari Allah. Dialah nan memberikan itu kepada umat manusia. Ayat ini juga menunjukkan bahwa manusia tidak berkarya membikin agama, tapi kepercayaan ini adalah murni pemberian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

Oleh lantaran itulah, jamaah nan dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik di dalam Alquran maupun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita tidak menjumpai satu pun perintah untuk mencari agama. Atau membikin agama. Atau menggunakan logika untuk merancang agama. Karena nan namanya kepercayaan itu bukan dari hasil membikin dan berkarya tapi kepercayaan itu dari hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala lampau manusia diperintahkan untuk mempelajarinya. Manusia diperintahkan untuk mengikutinya.

Karena itulah jika kita perhatikan, di dalam Alquran Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita berangkaian dengan kepercayaan Islam ini ‘Masuklah kalian ke dalam kepercayaan Islam’. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

 يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً 

“Hai orang-orang nan beriman, masuklah Anda ke dalam Islam keseluruhan.” [Quran Al-Baqarah: 208]

Allah tidak memerintahkan carilah Islam kalian. Allah tidak memerintahkan rancang kepercayaan Islam kalian. Tidak. Karena nan namanya kepercayaan tidak mungkin dirancang dan tidak mungkin dikreasikan oleh logika manusia. Sebab manusia tidak bakal mungkin bisa merancang agama. Atau berkarya membikin sebuah agama.

Di ayat nan lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga perintahkan kepada kita agar kita hanya mengikuti, bukan membikin alias berkreasi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surat Al-A’raf ayat nan ketiga:

 ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ 

“Ikutilah apa nan diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah Anda mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” [Quran Al-A’raf: 3]

Maksudnya janganlah kalian menjadikan orang-orang nan disebut sebagai tokoh kepercayaan sebagai panutan padahal mereka menyimpang dari aliran Allah. Prinsip adalam berakidah adalah tinggal mengikuti. Prinsip dalam berakidah adalah tinggal masuk. Manusia menerima dan bukan mencari. 

Karena itulah jamaah nan dimuliakan Allah, intinya isi dari kepercayaan ada dua pokok penting. nan pertama adalah akidah. Dan nan kedua adalah hukum. Dalam masalah akidah, kita telah diberikan paket akidah. Maka, iktikad itu bukan dicari dan bukan dilogikakan. Sehingga tidak ada istilah “saya bakal merancang iktikad dengan logika saya”. Itu tidak mungkin. Atau membikin iktikad berasas consensus orang-orang nan mahir dalam berfikir. Tidak mungkin. Karena manusia tidak mungkin bisa merancang akidah. 

Sehingga andaikan ada sekelompok orang nan membikin iktikad berasas logikanya, bisa dipastikan dia bakal mempunyai iktikad nan menyimpang. Bisa dipastikan dia bakal mempunyai iktikad nan keluar dari jalan kebenaran. Karena iktikad tidak mungkin bisa dirancang dengan logika. 

Demikian pula dalam masalah hukum. Bicara masalah wajib. Mana nan sunnah, mana nan mubah, mana nan haram, mana nan makruh, itu semuanya Allah nan menurunkan. Allah nan memberikan patokan ini kepada para hamba-Nya. Sehingga dalam masalah ibadah, Allah berikan paket kepada manusia. Mana nan wajib dan gimana tata langkah penunaiannya. Manusia tinggal mempelajarinya dan mengikutinya dan mengamalkannya.

Sekali lagi, tidak ada nan namanya kepercayaan itu dibangun berasas logika alias dirancang dengan perasaan. Karena tidak mungkin kepercayaan itu bisa dibangun berasas kepercayaan dan perasaan. 

Secara sederhana, jika ada di masjid ini 200 orang nan menjadi jamaah shalat jumat. Lalu diperintahkan, silahkan kalian merancang iktikad kalian berasas logika kalian. Kira-kira apa nan bakal terjadi? Karena logika kita berbeda-beda sehingga dari 200 jamaah bakal menghasilkan 200 iktikad nan berbeda. Sebab logika manusia itu bisa berubah. Dan logika manusia itu berbeda antara manusia satu dengan manusia nan lain. Karena itu, iktikad da norma semuanya diturunkan berasas ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

Jamaah nan dimuliakan Allah,

Dari beberapa ayat nan tadi kita baca, kita tidak diperintahkan membikin alias merancang akidah. Tapi kita diperintahkan untuk mengikuti dan menerima. Dan seumpama kepercayaan itu berasas logika, tentu orang-orang musyrik Mekah dulu tidak butuh seorang nabi nan memberi petunjuk kepada mereka ke jalan nan lurus.

أَقُولُ قَوْلِي هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ؛ فَإِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ.

Khutbah Kedua:

الْحَمْدُ للهِ عَلَى إِحْسَانِهِ، وَالشُّكْرُ لَهُ عَلَى تَوْفِيقِهِ وَامْتِنَانِهِ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ تَعْظِيمًا لِشَانِهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ الدَّاعِي إِلَى رِضْوانِهِ، صَلَّى اللهُ عَليْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَأَعْوَانِهِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا..

أَمَّا بَعْدُ: أَيُّهَا الْمُسْلِمُونَ اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى:

Dari khotbah nan pertama tadi, mungkin muncul pertanyaan, gimana langkah kita megikuti agama? Agar kita bisa mengikuti apa nan diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Caranya adalah dengan satu kata kunci, ialah dengan mempelajarinya. Karena jika orang tidak mempelajari, gimana bisa dia mengikuti panduan?

Dalam perihal nan sederhana, misalnya Anda mempunyai sebuah alat, produsen peralatan bakal menyediakan pedoman gimana langkah mengoperasikan perangkat tersebut. Disediakan manual book. Itu hanya sebuah alat. nan jika seandainya pun perangkat itu rusak, Anda bisa membelinya lagi. Bagaimana lagi kiranya dengan manusia nan menempuh perjalanan nan sangat jauh menuju Allah? Pasti manusia memerlukan pengarahan dan panduan. 

Jika perangkat itu sudah disedikan panduannya, penggunanya tidak mau menggunakan panduan. Ia main colok ke listrik nan semestinya tegangannya 110 ke tengangan 220. Kemudian dia nyalakan. Pasti tidak bakal mungkin lagi menyala selamanya. Karena langsung putus. Produsen tidak bisa disalahkan barangnya meninggal tidak berfungsi. Karena pengguna tidak membaca panduan. 

Bagaimana dengan orang nan tidak membaca pedoman nan diturunkan oleh Allah? Lalu dia nyemplung ke neraka. Apakah dia bakal menyalahkan Rabbnya? Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan wahyu, lampau manusia tidak mau mempelajariny. Maka, semestinya dia menyalahkan dirinya sendiri. 

Karena itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam Alquran, bagaima perbincangan masyarakat neraka saat mereka berada di dalamnya. 

 وَقَالُوا۟ لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِىٓ أَصْحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ

Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan alias memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka nan menyala-nyala”. [Quran Al-Mulk: 10]

Kata mereka, “Seandainya dulu kami mau mendengarkan, mau duduk di pengajian, mau belajar agama, niscaya kami tidak bakal masuk neraka”. Sehingga masyarakat neraka ini menyesal kenapa dulu tidak ikut pengajian. Mengapa dulu tidak membaca Alquran. Mengapa dulu tidak membaca pedoman dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. sehingga dia tidak bisa mengikuti lantaran dia tidak mempelajarinya. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kondisi manusia saat sudah dikubur. Beliau bersabda,

إنَّ العَبْدَ إذَا وُضِعَ في قَبْرِهِ وتَوَلَّى عنْه أصْحَابُهُ، وإنَّه لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ، أتَاهُ مَلَكَانِ فيُقْعِدَانِهِ، فَيَقُولَانِ: ما كُنْتَ تَقُولُ في هذا الرَّجُلِ لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأمَّا المُؤْمِنُ، فيَقولُ: أشْهَدُ أنَّه عبدُ اللَّهِ ورَسولُهُ، فيُقَالُ له: انْظُرْ إلى مَقْعَدِكَ مِنَ النَّارِ قدْ أبْدَلَكَ اللَّهُ به مَقْعَدًا مِنَ الجَنَّةِ، فَيَرَاهُما جَمِيعًا – قالَ قَتَادَةُ: وذُكِرَ لَنَا: أنَّه يُفْسَحُ له في قَبْرِهِ، ثُمَّ رَجَعَ إلى حَديثِ أنَسٍ – قالَ: وأَمَّا المُنَافِقُ والكَافِرُ فيُقَالُ له: ما كُنْتَ تَقُولُ في هذا الرَّجُلِ؟ فيَقولُ: لا أدْرِي كُنْتُ أقُولُ ما يقولُ النَّاسُ، فيُقَالُ: لا دَرَيْتَ ولَا تَلَيْتَ، ويُضْرَبُ بمَطَارِقَ مِن حَدِيدٍ ضَرْبَةً، فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَن يَلِيهِ غيرَ الثَّقَلَيْنِ.

“Sesungguhnya seorang hamba ketika sudah diletakkan di kuburnya dan orang-orang nan mengantarnya beranjak pulang, dia mendengar bunyi sandal mereka. Saat itulah dua malaikat datang. Dua malaikat itu mendudukkannya. Keduanya bertanya, ‘Apa nan kau ketahui tentang seseorang nan berjulukan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam’?

Orang beragama bakal menjawab, ‘Aku bersaksi bahwa dia adalah hamba dan utusan Allah’. Lalu kedua malaikat itu menanggapi, ‘Lihatlah tempatmu di neraka, namun Allah menggantikannya dengan tempat untukmu di surga’. Orang tadi pun memandang kedua tempat tersebut. Lalu kuburnya dilapangkan.

Adapun orang-orang munafik dan kafir, mereka ditanya, ‘Apa nan kau ketahui tentang laki-laki itu’? Mereka menjawab, ‘Aku tidak tahu. Aku hanya mengikuti apa nan dikatakan orang’. Malaikat tadi membentak, ‘Kamu tidak tahu dan tidak mau belajar’! Lalu mereka dipukul dengan perangkat pukul dari besi. Mereka berteriak sekuat-kuatnya. Hingga terdengar oleh semua makhluk selain manusia dan jin.” [HR. al-Bukhari 1347].

Artinya, kesempatan seseorang untuk belajar hanya ada di dunia. Kalau di dunia, seseorang melanggar hukum dengan argumen tidak tahu, maka argumen tersebut tetap diterima. Tapi di akhirat, argumen tidak tahu itu tidak lagi diterima. Karena ketika norma itu sudah diturunkan, manusia diperintahkan untuk mempelajarinya. Tidak mungkin manusia bisa tahu tanpa belajar.

﴿إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾ [الأحزاب: 56]، وَقَالَ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاةً وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا» [رَوَاهُ مُسْلِم].

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ . وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الأَئِمَّةِ المَهْدِيِيْنَ أَبِيْ بَكْرِ الصِّدِّيْقِ ، وَعُمَرَ الفَارُوْقِ ، وَعُثْمَانَ ذِيْ النُوْرَيْنِ، وَأَبِي الحَسَنَيْنِ عَلِي، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.

اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، وَأَذِلَّ الشِرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ ، وَاحْمِ حَوْزَةَ الدِّيْنِ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَ أَمْرِنَا لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى وَأَعِنْهُ عَلَى البِرِّ وَالتَقْوَى وَسَدِدْهُ فِي أَقْوَالِهِ وَأَعْمَالِهِ يَا ذَا الجَلَالِ وَالإِكْرَامِ ، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ جَمِيْعَ وُلَاةَ أَمْرِ المُسْلِمِيْنَ لِلْعَمَلِ بِكِتَابِكَ وَاتِّبَاعِ سُنَّةَ نَبِيِّكَ صلى الله عليه وسلم ، وَاجْعَلْهُمْ رَأْفَةً عَلَى عِبَادِكَ المُؤْمِنِيْنَ

عِبَادَ اللهِ : اُذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ ، وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ ،  وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ  .

Ditranskrip dari khotbah Jumat Ustadz Ammi Nur Bait dengan beberapa penyesuaian

Artikel www.KhotbahJumat.com

Print Friendly, PDF & Email

Source khotbahjumat.com
khotbahjumat.com