30 Contoh Cerpen Menarik beserta Strukturnya | Bahasa Indonesia Kelas 9 - aslisunda.com

Trending 1 week ago

Contoh Cerpen Singkat dan strukturnya

Suka baca cerpen? Yuk, lihat beberapa contoh cerpen singkat dan menarik, beserta pengertian dan strukturnya di artikel Bahasa Indonesia kelas 9 berikut ini!

Sejak kecil, Anda pernah membaca cerita-cerita pendek mengenai putri dan pangeran, nggak? Semua cerita itu sangat seru dan membekas di ingatan sebagian besar orang hingga sekarang. Yap, cerita pendek alias cerpen memang seperti mempunyai kekuatan sihir nan membikin kita susah lupa.

Tapi, tahukah Anda apa itu cerpen? Lalu, cerita seperti apa nan dapat kita katakan sebagai cerpen? Nah, agar nggak bingung, simak pengertian, struktur, beserta contoh cerpen singkat dan menarik berikut ini!

Pengertian Cerpen

Cerpen alias cerita pendek adalah cerita nan menurut bentuk fisiknya berbentuk pendek. Selain itu, cerpen juga hanya memuat satu alur cerita. Ukuran panjang pendeknya suatu cerita memang relatif. Namun, umumnya cerpen merupakan cerita nan lenyap dibaca sekitar 10 hingga 30 menit. Jumlah katanya sekitar 500–10.000 kata. Maka dari itu, cerpen sering juga disebut sebagai “cerita nan dapat dibaca dalam sekali duduk”.

Biasanya, cerpen mengangkat persoalan kehidupan manusia secara khusus. Tema cerpen berasal dari persoalan keseharian hingga ke renungan nan dipotret dari kehidupan nyata. Namun, tokoh dan latar bisa direkayasa demi kepentingan keelokan cerita sekaligus membedakannya dari teks pengalaman nyata.

Ciri cerpen juga ditandai dengan jumlah karakter nan relatif kecil. Nah, unsur nan ada pada cerpen adalah tema, tokoh dan penokohan, latar, alur dan plot, perspektif pandang, amanat, dan style bahasa. Cerpen juga mempunyai memiliki struktur dalam penulisannya.

Baca Juga: Mengupas Cerpen: Pengertian, Ciri-Ciri, Fungsi, Struktur, dan Analisisnya

Dalam tulisan ini, kita bakal konsentrasi membahas tentang struktur nan dimiliki oleh cerpen. Apa aja sih struktur cerpen? Perhatikan di bawah ini ya.

Struktur Cerpen

Struktur cerpen terdiri dari orientasi, rangkaian peristiwa, komplikasi, dan resolusi. Nah, untuk penjelasan lebih lengkapnya, ada di bawah ini!

1. Orientasi

Di bagian ini, Anda bakal menemukan pengenalan para tokoh, menata adegan, dan hubungan antartokoh.

2. Rangkaian Peristiwa

Kisah bakal bersambung melalui serangkaian peristiwa satu ke peristiwa lainnya nan tidak terduga.

3. Komplikasi

Kemudian, cerita bakal bergerak menuju bentrok alias puncak masalah, pertentangan, alias kesulitan-kesulitan bagi para tokohnya nan memengaruhi latar waktu dan karakter

4. Resolusi

Bagian ini bakal menceritakan solusi untuk masalah alias tantangan nan dicapai telah berhasil. Pada bagian ini, Anda juga bakal mengetahui gimana langkah pengarang mengakhiri cerita.

ciri kebahasaan cerpen

Oke, setelah kita mengulas kembali mengenai pengertian dan struktur cerpen, berikut ini ada beberapa contoh cerpen singkat. Kita baca sama-sama, yuk!

Contoh Cerpen

1. Cerpen berjudul Wanita Berwajah Penyok

Wanita Berwajah Penyok

Oleh: Ratih Kumala

Orientasi:

Seperti apakah rasanya hidup menjadi orang nan tak dimaui? Tanyakan pertanyaan ini padanya. Jika dia bisa berkata-kata, maka yakinlah dia bakal melancarkan jawabnya. Konon dia lahir tanpa diminta. Korban kandas gugur kandungan dari seorang perempuan. Hasil sebuah hubungan gelap nan dilaknat penduduk dan Tuhan.

Perempuan nan saat ini disebut “ibunya” bukanlah ibu nan sebenarnya. Dia hanya inang nan berkasihan lampau bergantian menyusui lapar mulut dua orang bayi; bayi berparas penyok nan dibuang orang di pinggir kampung.

Rangkaian Peristiwa:

Suatu hari nan biasa; siang terang dan wanita berparas penyok tengah keliling kampung sendiri saat anak-anak mini sepulang sekolah itu mulai mengekori dan menyambut punggungnya di belakang.

Maka, wanita berparas penyok mengambil sebongkah batu. Tangannya nan dekil melemparkan batu itu ke arah anak-anak. Seorang anak bengal berkepala peyang terkena timpukannya. Membuat jidatnya terluka. Darah segar mengucur dari situ, mengubah seragam putihnya menjadi merah. Dia pulang ke rumah mengadu kepada ibunya, sementara anak-anak lain menjadi takut dan bercempera satu-satu.

Dengan terpaksa, family wanita berparas penyok akhirnya memutuskan untuk memasung dirinya pada sebuah ruangan mini nan tak bisa disebut manusiawi dekat tanah pekuburan. Sejak itu wanita berparas penyok tinggal di dalamnya. Bulan berganti tahun, tanpa tahu itu malam alias siang.

Seperti apakah rasanya hidup dalam sepi? Tanyakan pertanyaan ini kepadanya. Maka, yakinlah jika dia bisa berkata-kata, dia bakal melancarkan jawabannya. Tak ada nan betul benar tahu apa nan dia kerjakan di dalam sana meski kadang terdengar suaranya berteriak untuk berontak. Ini hanya menambah ngeri tanah pekuburan.

Orang-orang mengira itu bunyi kuntilanak jejadian penunggu kuburan. Tak pernah ada orang nan betul-betul mendekat. Wanita berparas penyok telah lupa bahasa tanpa dia pernah betul-betul menguasainya.

Andaikata suatu saat dia bisa terbebas dari pasungnya, orang bakal bertanya gimana dia bisa memperkuat hidup? Sebab dia telah menjadi sendiri.

Pada malam nan biasanya kelam nan pekat, sekarang wanita berparas penyok bisa mendapat segaris sinar dari celah lubang tadi. Kepalanya didongakkan ke atas, dia bisa memandang rembulan. Bertahun dia tidak memandang rembulan hingga dia lupa bahwa nan dilihatnya adalah rembulan.

Untuk pertama kalinya dalam periode tahunan pasungnya, dia merasa bahwa dirinya punya teman. Dia mulai berkenalan. Dengan bahasa nan hanya dia mengerti, dia bercakap-cakap dengan bulan. Dia selalu menunggu kawan barunya untuk berjamu dan bercakap-cakap dengannya setiap malam.

Namun, semakin hari corak wajah rembulan semakin sempit dan cekung. Mengecil dan terus mengecil hingga hanya menjadi sabit. Air muka rembulan juga semakin pasi.

Semakin hari sabit rembulan jadi kembali membulat walaupun wajahnya tetap pasi. Saat bulan bulat penuh, wanita berparas penyok girang sekali karena ini berfaedah dirinya sukses menghibur kawan baiknya. Tapi suatu hari rembulan kembali menyabit dan seperti nan sudah-sudah, wanita berparas penyok tak pernah jenuh menghiburnya dengan bahasanya sendiri hingga rembulan bulat penuh. Terus seperti itu.

Komplikasi:

Hingga suatu malam, sehari setelah bulan betul-betul sabit, rembulan tidak datang mengunjunginya. Ia sedih sekali dan mengira rembulan tak mau menemuinya. Malam itu hujan turun deras. Wanita berparas penyok berpikir bahwa rembulan sedang menangis. Maka dia ikut menangis pula, kesedihan mendalam sahabatnya, dan sekali lagi, dengan bahasa nan hanya bisa dia mengerti, dirinya berupaya membujuk bulan dan menghiburnya.

Dia tak pernah bosan. Tetapi, langit tetap hujan, rembulan terus menangis. Tetesan air masuk dari celah genting ruang pasung nan menjadi bocor. Menimpa kepala wanita berparas penyok dan membikin dirinya kebasahan.

Lelah, wanita berparas penyok tertidur. Ia menggigil dahsyat tanpa ada orang nan tahu keadaannya. Paginya dia terbangun oleh segaris sinar nan masuk dari celah atap. Sinar mini itu jatuh ke kubangan air nan menggenang. Dirasakannya tubuhnya demam. Tetapi, begitu dia terbangun nan diingatnya hanyalah rembulan.

Resolusi:

Siang telah menjelang, ini berfaedah rembulan telah pulang ke rumahnya setelah semalam berlindung di kembali awan sembari menangis. Ia menyesal tak bisa memandang wajah rembulan malam tadi.

Didekatinya genangan air tadi. Genangan nan tak jernih. Ia berwarna coklat lantaran bercampur debu. Sebuah gambaran ada di sana. la tersenyum dan menemukan wajah rembulan di sana. Lalu dia tertidur tanpa merasa perlu bangun lagi karena berbareng sahabat di dekatnya.

2. Cerpen berjudul Ketika Laut Marah

Ketika Laut Marah

Oleh: Widya Suwarna

Orientasi:

Sudah empat hari nelayan-nelayan tak bisa turun ke laut. Pada malam hari, hujan lebat turun. Gemuruh gelombang, tiupan angin kencang di kegelapan malam seolah-olah memberi tanda bahwa alam sedang murka, laut sedang marah. Bahkan, bintang-bintang pun seolah tak berani menampakkan diri.

Nelayan-nelayan miskin nan menggantungkan rezekinya pada laut setiap hari bersusah hati. Ibu-ibu nelayan terpaksa merelakan menjual emas simpanannya nan hanya satu dua gram untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Mereka nan tak punya barang berbobot terpaksa meminjam pada lintah darat.

Rangkaian Peristiwa:

Namun, selama hari-hari susah itu, ada pesta di rumah Pak Yus. Tak ada nan menikah, tak ada nan ulang tahun, dan Pak Yus juga bukan orang kaya. Pak Yus hanyalah nelayan biasa, seperti para tetangganya.

Pada hari-hari susah itu, Pak Yus menyuruh istrinya memasak nasi dan beberapa macam lauk-pauk banyak-banyak. Lalu, dia mengundang anak-anak tetangga nan berkekurangan untuk makan di rumahnya. Dengan demikian rengek tangis anak nan lapar tak terdengar lagi, diganti dengan perut kenyang dan wajah berseri-seri.

Komplikasi:

Kini tibalah hari kelima. Pagi-pagi Ibu Yus memberi laporan, “Pak, duit kita tinggal 20.000. Kalau hari ini kita menyediakan makanan lagi untuk anak-anak tetangga, besok kita sudah tak punya uang. Belum tentu kelak sore Bapak bisa melaut!”

Pak Yus terdiam sejenak. Sosok tubuhnya nan hitam kukuh melangkah ke luar rumah, memandang ke arah pantai dan memandang ke langit. Nun jauh di sana segumpal awan hitam menjanjikan cuaca jelek kelak petang.

Kemudian, dia masuk ke rumah dan berbicara mantap, “Ibu pergi saja ke pasar dan berbelanja. Seperti kemarin, ajak anak-anak tetangga makan. Urusan besok jangan dirisaukan.”

Ibu Yus pergi ke dapur dan mengambil keranjang pasar. Seperti biasa, dia alim pada perintah suaminya. Selama ini Pak Yus sanggup mengatasi kesulitan apa pun. Sementara itu Pak Yus masuk ke bilik dan berdoa. la minta agar Tuhan memberikan cuaca nan baik kelak petang dan malam. Dengan demikian para nelayan bisa pergi ke laut menangkap ikan dan besok ada cukup makanan untuk seisi desa.

Siang harinya, anak-anak makan di rumah Pak Yus. Mereka bergembira. Setelah selesai, mereka menyalami Pak dan Bu Yus lampau mengucapkan terima kasih.

“Pak Yus, apakah besok kami boleh makan di sini lagi?” seorang gadis mini nan menggendong adiknya bertanya. Matanya nan besar hitam memandang penuh harap.

Ibu Yus tersenyum sedih. la tak tahu kudu menjawab apa. Tapi dengan mantap, dengan suaranya nan besar dan berat Pak Yus berkata, “Tidak Titi, besok Anda makan di rumahmu dan semua anak ini bakal makan lezat di rumahnya masing-masing.”

Titi dan adiknya tersenyum. Mereka percaya pada perkataan Pak Yus. Pak Yus nelayan berpengalaman. Mungkin dia tahu bahwa kelak malam cuaca bakal cerah dan para nelayan bakal panen ikan.

Resolusi:

Kira-kira jam empat petang Pak Yus ke luar rumah dan memandang ke pantai. Laut tenang, angin bertiup sepoi-sepoi dan daun pohon kelapa gemerisik ringan. Segumpal awan hitam nan menjanjikan cuaca jelek sirna entah ke mana. la pergi tanpa pamit.

Malam itu, Pak Yus dan para tetangganya pergi melaut. Perahu meluncur tenang. Para nelayan sukses menangkap banyak ikan. Ketika fajar merekah perahu-perahu mereka menuju pantai dan disambut oleh para personil family dengan gembira.

Pak Yus terkenang pada anak-anak tetangga. Tuhan telah menjawab doanya. Semua nelayan itu mendapat rezeki. Hari itu tak ada pesta di rumah Pak Yus. Semua anak makan di rumah ibunya masing-masing. Sekali lagi di atas perahunya, Pak Yus memanjatkan angan syukur.

unsur intrinsik cerpen

Baca Juga: Mempelajari Unsur-Unsur Intrinsik Cerita Pendek | Bahasa Indonesia Kelas 9

3. Cerpen berjudul Kado Istimewa

Kado Istimewa

Oleh: Jujur Prananto

Orientasi:

Bu Kustiyah berkeinginan bulat menghadiri resepsi pernikahan putra Pak Hargi. Tidak bisa tidak. Apapun hambatannya. Berapapun biayanya. Ini sudah menjadi niatnya sejak lama. Bahwa suatu saat nanti, jika Pak Gi mantu ataupun ngunduh mantu, dia bakal datang untuk mengucapkan selamat. Menyatakan kegembiraan. Menunjukan bahwa dia tetap menghormati Pak Gi, walaupun era sudah berubah.

Bu Kus sering bercerita kepada para tetangganya bahwa pak Hargi adalah atasannya nan sangat dia hormati. Ia juga mengatakan bahwa Pak Gi adalah seorang pejuang sejati. Termasuk diantara nan berjuang mendirikan negeri ini. Walaupun Bu Kus Cuma bekerja di dapur umum, tetapi dia merasa senang dan berbesar hati bisa ikut berjuang berbareng Pak Gi.

Rangkaian Peristiwa:

Akan tetapi, begitulah menurut Bu Kus setelah ibu kota kembali ke Jakarta, keadaan banyak berubah. Pak Hargi ditugaskan di pusat dan Bu Kus hanya sesekali saja mendengar berita tentang beliau. Waktu terus berlalu tanpa ada komunikasi. Kekacauan menjelang dan sesudah Gestapu serasa makin merenggangkan jarak Kalasan-Jakarta.

Lalu, tumbangnya rezim orde lama dan bangkitnya orde baru mengukuhkan peran Pak Gi di lingkungan pemerintahan pusat. Dan ini berfaedah makin tertutupnya komunikasi langsung antara Bu Kus dengan Pak Gi. Sebab dalam istilah Bu Kus “kesamaan cita-cita merupakan pengikat hubungan nan tak terputuskan”.

“Soal cita-cita ini dulu kami sering mengobrolkannya berbareng para gerilyawan lain,” demikian kenang Bu Kus. “Dan pada kesempatan seperti itu, pada saat orang-orang lain memimpikan sungguh indahnya jika kemenangan sukses dicapai, Pak Gi sering menekankan bahwa nan tak kalah krusial dari perjuangan menentang kembalinya Belanda adalah berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan”.

Tapi bagaimanapun, meski Bu Kus tetap merasa dekat dengan Pak Gi, rupanya setelah tiga puluh tahun lebih tak berjumpa, timbul jugalah kerinduan untuk bernostalgia dan bertatap muka secara langsung dengan beliau. Itulah sebabnya, ketika dia mendengar berita bahwa Pak Gi bakal menikahkan anaknya, Bu Kus merasa inilah kesempatan nan sangat tepat untuk berjumpa.

Lewat tengah hari, selesai makan siang, Bu Kus sudah tak nyaman lagi tinggal di rumah. Tas kulit nan berisi busana nan siap sejak kemarin diambilnya. Juga sebuah tas plastik besar berisi segala macam oleh-oleh untuk para cucu di Jakarta. Setelah merasa beres dengan tetek bengek ini, Bu Kus pun menyuruh pembantu perempuannya memanggilkan dokar untuk membawanya ke stasiun kereta.

Belum ada pukul tiga, Bu Kus sudah duduk di atas peron stasiun. Padahal kereta ekonomi bidang Jakarta baru berangkat pukul enam sore nanti. Ketergesa-gesaannya meninggalkan rumah akhirnya malah membuatnya bertambah gelisah. Rasanya mau secepatnya dia sampai di Jakarta dan bersalam-salaman dengan Pak Gi.

Berbincang-bincang tentang masa lampau tentang kenangan-kenangan manis di dapur umum. Tentang nasi nan terpaksa dihidangkan separuh matang, tentang kurir Natimin nan pandai menyamar, tentang Nyai Kemuning penunggu tangsi pengisi mimpi-mimpi para bujangan. Ah, begitu banyaknya cerita-cerita kocak nan rasanya takan terlupakan walaupun terlibas oleh berputarnya roda zaman.

Peluit kereta api mengagetkan Bu Kus. Ia langsung berdiri dan tergopoh-gopoh naik ke atas gerbong.

“Nanti saja, Bu! Baru mau dilangsir!” ujar seorang petugas.

Tapi, Bu Kus sudah terlanjur berdiri di bordes. “pokoknya saya bisa sampai Jakarta!” kata Bu Kus dengan ketus.

“Nomor tempat duduknya belum diatur, Bu!” ujar petugas itu.

“Pokoknya saya punya karcis!” jawab Bu Kus.

Komplikasi:

Dan memang setelah melalui kegelisahan nan teramat panjang, akhirnya Bu Kus sampai juga di Jakarta. Wawuk, anak perempuannya, kaget separuh meninggal memandang pagi-pagi memandang ibunya muncul di muka rumahnya setelah turun dari taksi sendirian.

“Ibu ini nekat! Kenapa tidak kasih berita dulu? Tanya Wawuk.

“Di telegram, kan, saya bilang mau datang,” jawab Bu Kus.

“Tapi, tanggal pastinya ibu tidak menyebut,” Wawuk berbicara dengan lembut.

“Yang krusial saya sudah sampai sini!,” ujar Bu Kus.

“Bukan begitu, Bu. Kalau kita tahu persis, kan, bisa jemput ibu di stasiun”.

“Saya tidak mau merepotkan. Lagi pula saya sudah keburu takut bakal ketinggalan resepsi mantunya Pak Gi. Salahmu juga, tanggal persisnya tidak Anda sebut disurat.”

“Ya, Tuhan! Ibu mau datang ke resepsi itu??”

“Kamu sendiri nan bercerita Pak Gi mau mantu.”

“Kenapa ibu tidak mengatakannya di surat?”

“Apa-apa, kok, mesti laporan.”

“Bukan begitu, Bu.” Wawuk sendiri ragu melanjutkan ucapannya. “ibu kan… tidak di undang?”

“Lho, kalo tidak pakai undangan, apa, ya, lampau ditolak?”

“Ya, tidak, tapi siapa tahu kelak ada pembagian tempat, mana nan VIP mana nan biasa.”

“Ah, kayak nonton wayang orang saja, pakai VIP-VIP-an segala.”

“Tapi nan jelas, saya sendiri juga tidak tahu resepsinya itu persisnya diadakan di mana, hari apa, jam berapa. Saya tahu rencana perkawinan itu hanya dengar omongan kiri kanan.”

“Suamimu itu, kan, sekantor dengan Pak Gi. Masa tidak diundang?”

“Bukan satu kantor, Bu. Satu departemen. Lagi pula, Mas Totok itu tenaga kerja biasa, jauh di bawah Pak Gi. Itu pun bukan bawahan langsung. Jadi, ya, enggak bakal tahu-menahu soal beginian. Apalagi kecipratan undangan.”

“Kan bisa tanya?”

Resolusi:

Wawuk menghembuskan napasnya agak keras.

“Ingat, Wuk.” Bu Kus bicara dengan nada dalam. “aku jauh-jauh datang ke Jakarta ini nan krusial adalah datang pada resepsi pernikahan putra pak Hargi. Lain tidak.”

Baca Juga: Kumpulan Contoh Teks Pidato beserta Struktur, Tujuan & Jenisnya | Bahasa Indonesia Kelas 9

4. Cerpen berjudul Obat Bosan dari Nenek

Obat Bosan dari Nenek

Oleh: Widya Suwarna

Orientasi:

Ayah dan Ibu belum pulang dari kantor. Mbak Asti dan Mas Pur pergi kuliah. Kawan bermain Lili, Oni sedang sakit kuning. Vita, tetangga sebelah sedang pergi ke rumah saudaranya. Nah, tinggal Lili dan Mbok Nah nan ada di rumah. Mbok Nah sibuk menyetrika.

Lili merasa jengkel dan bosan. PR sudah selesai. Dia tak tahu lagi apa nan kudu dilakukannya. Biasanya dia bisa bermain dengan Vita alias Oni.

Rangkaian Peristiwa:

“Sudah, tidur saja Li!” usul Mbok Nah.

“Ah, orang tidak mengantuk disuruh tidur!” Lili menggerutu. “Atau main ke rumah Dede? Biar Mbok antarkan!” Mbok Nah menawarkan.

“Malas ah, rumahnya jauh. Biasanya jam empat begini dia belum bangun. Dia ‘kan kudu tidur siang setiap hari!” Lili menolak. Tiba-tiba Lili mendapat gagasan. Dia pergi ke bilik Ibu dan menelepon Nenek.

Sesudah bercakap-cakap sejenak, Lili mulai mengeluh, “Nek, jika tiap hari begini Lili bisa mati. Bosannya separuh mati. Vita pergi, Oni sakit. Di rumah tak ada siapa-siapa!” “Wah, wah, jangan sebut-sebut mati. Bosan itu ‘kan penyakit nan paling mudah diobati. Sudah setua ini Nenek tak pernah merasa bosan!”

“Tentu saja. Cucu-cucu nan tinggal sama Nenek segudang. Di sana ‘kan selalu ramai. Di sini sepi!”

“Selalu sunyi tidak enak, selalu ramai juga tidak enak. Nah, begini saja. Kamu sabar sebentar. Nenek bakal segera datang membawakan obat untuk penyakit bosanmu!”

“Baiklah, sigap datang, ya Nek!” kata Lili dengan ceria dan meletakkan gagang telepon. Dalam hati Lili bertanya-tanya seperti apa kiranya obat jenuh itu.

Kalau berbentuk pil, wah, lebih baik tidak usah saja. Kalau berbentuk permainan, nah ini lebih asyik. Tetapi, mainan pun lama-lama bias membosankan.

Sambil menunggu Nenek datang, Lili mendekati Mbok Nah lagi. “Mbok, Mbok, Nenek mau datang membawakan obat bosan. Tahu tidak Mbok, obat jenuh itu seperti apa sih?” Mbok Nah tertawa, lampau menggeleng-gelengkan kepala.

“Lili, Lili, mana ada sih obat bosan? Ada juga obat batuk, obat sakit perut, obat flu. Kalau Mbok Nah bosan, obatnya sih mudah saja. Stel saja kaset dangdut. Hilang sudah rasa bosannya!” kata Mbok Nah.

Sekarang Lili nan tertawa. “Kalau saya sih tambah jenuh mendengar kaset lagu dangdut. Kaset lagu anak-anak saja, paling seminggu lezat didengar. Sesudah itu jenuh saya mendengarnya!” kata Lili.

Komplikasi:

“Ya, sudah. Kesukaan orang ‘kan Iain-Iain. Kita lihat saja nanti, Nenek bawa obat jenuh nan bagaimana!” kata Mbok Nah. Empat puluh menit kemudian Nenek datang. Lili menyambutnya dengan gembira. Nenek mengeluarkan beberapa buah kitab dari tasnya.

“Yaaa, obat bosannya bukuuuu. Lili kan malas baca buku!” seru Lili dengan kecewa.

“Hei, Anda belum tahu nikmatnya membaca kitab rupanya. Kalau sudah senang membaca, Anda tidak bakal pernah merasa jenuh lagi. Nah, sekarang coba Anda baca kitab nan ini!” kata Nenek sembari memberikan sebuah kitab cerita bergambar.

“Kalau tebal, malas ah bacanya!” kata Lili dengan segan. “Tidak, ini hanya 24 halaman. Tiap laman ada gambarnya dan teksnya sedikit. Ceritanya tentang beruang kecil. Bagus, Iho! Anak-anak di beragam negara sudah membaca kitab ini!” Nenek memberi semangat.

Resolusi:

Lili mulai membaca. Eh, rupanya menarik juga. Nenek tersenyum dan berkata, “Kamu sudah kelas empat. Sayang sekali Anda belum mengenal banyak cerita nan bagus. Sebetulnya kitab bukan hanya kitab cerita, tetapi ada juga kitab tentang beragam pengetahuan. Misalnya Anda mau tahu asal minyak tanah, alias langkah kerja tukang pos, alias tentang menanam kembang alias apa saja, semua ada bukunya!”

“lya, Nek? Kalau kitab langkah membikin mainan dari kertas, ada tidak Nek? Itu Iho, seperti membikin perahu, burung. Lili mau baca kitab itu jika ada!” kata Lili.

“Tentu saja ada. Nanti, kita bisa cari di toko buku. Nenek bakal tunjukkan beragam macam buku. Sekarang, Anda bisa membaca buku-buku nan tipis ini dulu. Nanti, makin lama Anda bakal terbiasa dan senang membaca kitab cerita nan lebih tebal. Kalau Anda suka membaca, Anda tak bakal merasa bosan. Bermain dengan kawan memang suatu perihal nan baik, tetapi kebiasaan membaca juga perlu dipupuk. Nanti jika Anda menjadi mahasiswi, Anda sudah terbiasa membaca kitab pelajaran nan tebal-tebal!” kata Nenek.

“Buku ceritanya dari mana, Nek?” tanya Lili.

“Nanti Nenek belikan beberapa. Lalu setiap bulan Ibu bisa membelikan satu alias dua buah buku. Kemudian Anda bisa tukar pinjam dengan kawan-kawanmu nan punya kitab cerita. Selain itu Anda juga bisa pinjam dari perpustakaan sekolah. Di sekolahmu ada perpustakaan tidak?” tanya Nenek.

“Ada. Tapi Lili belum pernah pinjam!” Lili mengaku terus terang.

“Lili! Lili! Seharusnya, perpustakaan sekolah dimanfaatkan. Tetapi, baiklah! Sekarang Nenek bakal membimbingmu. Nenek bakal pinjamkan buku-buku nan menarik, agar Anda giat membaca. Sesudah itu berangsur-angsur Anda mulai membaca kitab nan banyak teksnya!” kafa Nenek.

Selama satu bulan Nenek bakal sering datang membawa kitab cerita untuk Lili. Sampai akhirnya, jika Lili sudah doyan membaca, Nenek tak perlu lagi membawakan buku-buku cerita.

Lili sudah bisa mencari sendiri kitab cerita alias pengetahuan nan dibacanya. nan krusial juga, Lili sudah mendapat obat jenuh nan efektif dari Nenek, hingga seumur hidup dia bakal bebas dari penyakit bosan.

unsur ekstrinsik cerpen

Baca Juga: Apa Saja Unsur-Unsur Ekstrinsik Cerpen? | Bahasa Indonesia Kelas 9

5. Cerpen berjudul Kucing nan Selalu Lapar

Kucing nan Selalu Lapar

Oleh: Lena D.

Orientasi:

“Mengapa kucing mencuri?” tanya Kiki dalam hati. Gadis mini itu merenung di tepi jendela sembari mendengarkan keributan nan sedang terjadi di sebelah rumahnya.

Kiki sudah dapat menduga siapa nan menjadi sumber keributan itu. Pasti kucing itu! Benar saja! Seekor kucing mini dengan tangkas meloncat ke pagar tembok nan memisahkan rumah Kiki dengan rumah Tante Sali. Mata kucing itu dengan liar memperhatikan sekitarnya. Ekornya acapkali dikibaskan ke udara.

Rangkaian Peristiwa:

“Hai….” sapa Kiki. “Mencuri lagi, ya!” Kucing itu hanya menggeram. Matanya nanar waspada. Tiba-tiba saja dia melompat turun. Lalu menghilang.

“Kucing sialan!” Tante Sali muncul dari kembali pagar. Napasnya memburu.

Sebelah tangannya membawa sapu, sebelah lagi berkacak pinggang. “Sialan kucing itu!”

“Mencuri apa dia, Tante?” tanya Kiki.

“Oh….” Tante nan gendut itu menoleh. Senyumnya mengembang memandang Kiki. “Tidak, tidak mencuri apa-apa! Tidak sukses dia! Tapi tiap hari diintip-intip, kan, menyebalkan, Ki!”

“Oh…. Tidak berhasil!” Kiki meniru. “Kenapa kucing mencuri, Tante?”

“Tentu saja lantaran dia lapar!” jawab Tante Sali.

“Kasih saja kucing itu makan, Tante, biar tidak mencuri lagi!” usul Kiki dengan polosnya.

“Enak saja!” Tante Sali merengut. la jadi nampak kocak sekali. Dagunya nan gendut berlipat-lipat. “Memangnya kucing siapa dia?!”

Kucing siapa? Kiki tertegun. Dalam akal gadis mini itu tak terbayang pemilik kucing nan selalu membikin ulah itu. Kalau tidak sukses mencuri di tempat Tante Sali, pasti dia beraksi di rumah sebelah lagi.

“Punya siapa, Tante?” tanya Kiki cepat-cepat sebelum Tante Sali berlalu.

“Tidak tahu. Kucing liar mungkin,” jawab Tante Sali sembari membalikkan badan.

Namun, kemudian dia berbalik lagi. Lalu menjulurkan kepalanya melewati pagar.

“Kiki,” panggilnya. “Kenapa tidak main ke rumah Tante? Ayo, anak manis, kok tahan sendirian di rumah! Molly belakangan ini kesenyapan tidak ketemu Kiki,” kata Tante Sali.

Kiki menggeleng. Lalu menutup jendela cepat-cepat sebelum tante nan gendut itu mendesaknya bermain ke situ.

Rupanya Tante Sali tidak tahu bahwa Kiki lagi marah pada Molly, anjingnya itu. Kiki sebal Molly mau seenaknya saja. Kalau dia lagi mau main, Kiki dikejar-kejarnya. Coba jika lagi malas, Molly tidak memperdulikannya! Lebih baik bermain dengan si Putih saja! gerutu Kiki dalam hati. Si Putih…

Komplikasi:

“Ngeong… Ngeong….” Terdengar bunyi kucing. Kiki segera berlari ke luar.

Beberapa anak laki-laki sedang menghajar si Putih di rumah sebelah. Ada nan menendang, memukul pakai sapu, dan menarik-narik ekornya. Kucing itu hanya bisa mengeong-ngeong kesakitan. Beberapa kali dia mencoba melarikan diri, tapi tertangkap kembali.

Tante Sali menyaksikan itu dengan senang sekali. Bahkan dia menyemangati anak-anak itu. Sedangkan Kiki nan berdiri di sebelahnya berurai air mata. Hatinya nan polos dan lembut tak bisa menerima tindakan semena-mena itu.

Ketika Ibu pulang dari bekerja, Kiki mengadu sembari terisak-isak. Ibu menenangkan anak satu-satunya itu dan berjanji.

“Kalau Nyonya masak daging, kelak Ibu bawa tulang-tulangnya pulang. Untuk kucing pencuri itu. Biar dia tidak lapar. Biar tidak mencuri lagi,” kata Ibu.

Ibu bekerja jadi pembantu di rumah Nyonya Maria. Sejak tetap gadis Ibu sudah bekerja di sana. Ibu berakhir bekerja ketika menikah dengan bapak Kiki. Setelah suaminya meninggal, Ibu bekerja kembali di sana.

Ketika tahu Ibu sering membawa pulang tulang-tulang ikan untuk kucing, Nyonya Maria malah memberi daging untuk Kiki. Nyonya Maria maklum family mini itu tentu jarang makan daging.

“Wah, daging, Bu!” seru Kiki ketika memandang apa nan dibawa ibunya pulang. “Untuk si Putih?”

“Ini gulai. Untuk Kiki saja,” kata Ibu. “Tulang-tulangnya baru kasih si Putih.”

“Nyonya Maria baik sekali ya, Bu. Kalau sudah besar, Kiki mau bekerja di sana juga,” kata Kiki. Ia makan dengan lahapnya sembari tak lupa bercerita tentang si Putih.

Resolusi:

Si Putih, kucing pencuri itu, sekarang menjadi sahabat Kiki. Mulanya memang susah untuk mendekati Putih. Kucing itu selalu berprasangka dan waspada. la pasti lari jika didekati. Hanya jika lapar saja, dia mencari Kiki. Karena dia tahu Kiki menyediakan tulang untuknya.

Namun, lama-lama kucing itu menyukai Kiki juga. Kiki satu-satunya manusia nan bertindak hangat dan manis padanya. Kini Putih berubah menjadi kucing nan bersih dan manis. Ia tidak lagi kumal, liar, dan sumber keributan. Sampai-sampai Tante Sali pangling melihatnya.

“Astaga… Ki, ini kan kucing jahat itu!” serunya terbengong-bengong. “Sudah lama dia tak mencuri lagi!”

“Soalnya Putih tak lapar lagi, Tante,” sahut Kiki. “Kiki memberinya makan.”

“Ih, baik begitu, Ki!”

“Kata Ibu, kucing juga mengerti jika disayang. Kalau Kiki mau baik dan sayang pada Putih, pasti Putih juga baik dan jinak.”

Lama Tante Sali termangu. Ia merasa disindir. la malu sekali. Bagaimana mungkin, selama ini dia bisa bersikap begitu kasar terhadap seekor kucing mini nan kelaparan?

6. Cerpen berjudul Suatu Sisi Dalam Hidupmu

Suatu Sisi Dalam Hidupmu

Oleh: Andriani

Orientasi:

Siang ini begitu teriknya, mentari bercahaya tak ada kompromi, menyengat dan membakar bumi, begitu panasnya. Aku melangkah terseok-seok membawa satu bakul nasi, nan kudu tetap panas, dua termos air panas dan dua lembar kain lap bersih. Ah, emak, jika bukan lantaran perintah emak, saya tak bakal mau membawa peralatan berat ini. Tapi emak, emak nan memerintah! Aku tak mau dibilang anak durhaka. Jadi, yah, siang nan panas ini saya kudu mengantar pesanan emak.

Emak adalah tulang punggung keluarga, jika tidak ada emak mungkin saya tidak bisa merasakan nikmatnya sekolah, belajar, berteman, dan semua nan menyenangkan. Sedangkan bapak, bapak tidak bisa diandalkan. Setiap hari selalu saja berjudi. Kalau tidak berjudi, ya, tidur molor di rumah. Dia sangat menyebalkan, tapi walaupun menyebalkan dan saya membencinya, dia adalah bapakku. Kasihan emak nan selalu menderita, kadang saya berpikir, coba jika emak jadi bapak dan bapak jadi emak, mungkin keadaannya bakal lebih lumayan.

Rangkaian Peristiwa:

“Aduh…”, tiba-tiba saya menabrak seseorang.

Krompyang…krompyang…krompyang, semua bawaanku jatuh berantakan, tapi untung saja bakul nasi sudah kubungkus dan kuikat rapat-rapat, jika tidak, wah gawat, emak bisa nyanyi nih. Eh, iya, siapa nan kutabrak tadi, ya? Aku mengangkat kepala dan, ya ampun!!! Kerennya, aduh mak, pakai dasi, rapi, necis, waduh-duh! Mesti orang gedongan nih.

“Maaf…”, tiba-tiba dia bersuara.

Aduh emak, copot jantungku. Waduh, gimana ya, darurat bin darurat nih. Wah, keadaan darurat…, cepat-cepat saya membereskan bawaanku dan cepat-cepat ku ayunkan kakiku, baru beberapa langkah…

“Eh, nona, permisi, maaf, saya tadi tidak sengaja”, katanya lagi.

“Sudahlah, saya nan salah. Maaf ya, permisi”, kataku kemudian dan akupun melangkah tergesa-gesa meninggalkannya.

Dari kejauhan dia tetap memanggilku, “Nona, nona tunggu!”, tapi saya tak menggubrisnya. Aku malu! Bagaimana tidak? Dandananku amburadul, dan dia necis. Oh, dia, dia memanggilku nona, hi..hi..hi, kocak juga ya. Seumur-umur baru kali ini saya dipanggil nona. Ah, sudahlah, jika termenung terus bisa-bisa kelak menabrak lagi.

Komplikasi:

Ah, capeknya, dari tadi siang saya kudu membantu emak melayani pembeli. Lumayan banyak sih, sopir-sopir bus, pengemudi truk, penumpang-penumpang bus. Walaupun setiap hari dapat untung banyak, tetapi jika saya sih, lebih baik tidak dapat duit daripada capek, tapi gimana lagi ya?!

Setiap hari kehidupanku selalu begini, pagi sekolah, siang sampai malam membantu emak. Malam hari, setelah membantu emak, saya belajar. Untungnya, saya tidak mempunyai adik maupun kakak, jadi kasih sayang emak selalu terlimpah padaku.

Setiap saya datang ke warung emak untuk membantu, emak sembari melayani pembeli, selalu menanyakan gimana keadaanku, tentang sekolahku dan mengenai teman-temanku. Dan akupun selalu menjawabnya dengan antusias dan bersemangat, walaupun saya tahu jika emak kadang memperhatikan kadang pula tidak mendengarkan, tapi saya peduli, lantaran dengan bercerita pada emak, saya dapat menumpahkan semua isi hatiku.

Aku merasa puas, walaupun saya terlahir dari family nan tak mampu, saya tak menyesal. Aku mempunyai emak nan selalu menyayangiku dan selalu mencukupi kebutuhanku walaupun tetap kurang. Ah, itu tidak apa-apa. Tapi saya tak mau menceritakan bapak, lantaran saya memang tak tau apa nan kudu diceritakan, lain halnya jika saya menceritakan emakku.

Kalau sedang tidak ada pembeli, kadang saya duduk termenung memandang orang-orang nan beragam corak jenisnya berlalu lalang. Dari orang nan berdasi dan bersaku tebal sampai anak mini nan tak berbaju. Sebenarnya Tuhan itu Maha Adil, diciptakannya beragam manusia, ada nan kaya, ada nan miskin, nan kaya kudu membantu nan miskin, dan nan miskin kudu menghormati nan kaya. Ah, betul-betul komplit.

Pada suatu sisi, ada orang nan makan dengan lahap segala makanan nan terhidang di hadapannya, di sampingnya duduk seekor anjing kecil, manis, tapi menurutku menjijikkan juga lantaran lidahnya nan selalu terjulur keluar dan meneteskan air liur. Si wanita nan mempunyai anjing itu makan dengan lahapnya tanpa memperdulikan sekelilingnya dan setelah selesai, dia memberikan makanan nan belum disentuhnya pada anjing tersebut.

Di sisi nan lain, ada seorang gembel nan mengais makanan di tong-tong sampah, jika mencari sisa-sisa makanan. Bila mendapatkan sisa makanan, tanpa memperdulikan apakah makanan itu layak alias tidak untuk dimakan, disantapnya dengan lahap. Begitu berbedanya suatu keadaan semacam ini.

Kadang, saya berpikir jika saya mempunyai kuasa seperti Tuhan, saya bakal mengubah semua keadaan ini. Ah, kubayangkan gimana jika nan kaya berubah menjadi miskin dan si miskin berubah menjadi kaya, tak bisa kubayangkan jadinya.

Resolusi:

Adzan Ashar menggema, seiring dengan terdengarnya bunyi deru mobil di luar, lamunanku menjadi buyar. Ah, kenangan masa lampau dan akupun bangkit serta memandang dari kembali gorden jendela. Di luar sana, suamiku berbareng anak laki-lakiku nan baru pulang dari les baru turun dari mobil. Suamiku, orang nan kutabrak dulu.

Aku tersenyum terkenang masa lalu, sungguh indahnya. Aku pun melangkah menyambut mereka.

Emak…, suatu kata nan penuh makna untukku.

Baca Juga: Kumpulan Contoh Teks Laporan Percobaan Singkat & Strukturnya | Bahasa Indonesia Kelas 9

7. Cerpen berjudul Lukisan Kasih Sayang

Lukisan Kasih Sayang

Oleh: Widya Suwarna

Orientasi:

Pak Saiful, seorang pelukis ternama, mempunyai seorang pelayan nan setia. Namanya Mumu. Biasanya setiap pagi Mumu membawakan perlengkapan melukis Pak Saiful, misalnya kanvas, cat minyak, dan kuas. Ia juga membawakan tikar kecil, air minum, dan makanan.

Pak Saiful selalu melukis di tempat nan bagus sekaligus mengerikan. Tempatnya di bawah sebatang pohon besar. Di sekitarnya terdapat rumput hijau dan bunga-bunga liar berwarna putih dan kuning. Kupu-kupu dan capung berkeliaran bebas di antara bunga-bunga itu.

Kira-kira 15 meter ke arah selatan dari pohon itu terdapat sebuah rawa mini nan permukaannya ditutupi oleh daun-daun teratai. Bunga-bunga teratai nan berwarna merah jambu menghiasi permukaan rawa itu. Namun, lumpur rawa itu selalu menelan barang apa saja nan terjatuh ke dalamnya, termasuk manusia.

Rangkaian Peristiwa:

Suatu hari Pak Saiful baru saja menyelesaikan lukisannya nan sangat indah. Lukisan seorang anak mini nan sedang menggendong dan membelai anjing mini berbulu coklat. Siapa pun nan memandang lukisan itu pasti merasa tersentuh. Anak itu menyayangi anjingnya dan anjing mini itu pun terlihat senang dalam pelukan si anak.

“Mumu, coba ke sini dan lihat lukisanku!” kata Pak Saiful bangga.

“Luar biasa, Pak, sangat indah! Pasti laku dengan nilai mahal,” ujar Mumu.

Kemudian Mumu kembali ke bawah pohon dan menyiapkan makanan dan minuman. Sementara itu Pak Saiful mundur beberapa langkah untuk memandang lukisannya lagi. Oh, semakin jauh jaraknya, lukisan itu semakin bagus terlihat. Pak Saiful mundur beberapa langkah lagi dan memandang lukisannya kembali. Rupanya dia tak sadar bahwa dia tepat berada di tepi rawa.

Sementara itu Mumu memandang majikannya nan sudah berada di tepi rawa. Alangkah berbahayanya. Bila Pak Saiful mundur selangkah lagi, pasti dia terjatuh ke dalam rawa. Mumu mendekati lukisan di bawah pohon dan mengangkat lukisan itu dari tempatnya.

Pak Saiful berlari ke dekat pohon dan berbicara dengan marah, “Apa-apaan Anda ini, Mu. Berani-beraninya Anda mau merusak lukisanku, alias mau mencurinya?!”

“Maaf, Pak, maksud saya…!” jawab Mumu.

Namun Pak Saiful tidak mau mendengar penjelasan Mumu.

“Pergi kau dari sini. Aku tidak memerlukan pelayan nan kurang ajar!” seru Pak  Saiful dengan wajah merah padam.

Terpaksa Mumu pergi. Pak Saiful membereskan alat-alatnya dan membawa perlengkapannya pulang. Uuuh, rupanya berat juga.

Komplikasi:

Esok paginya Pak Saiful membawa lagi lukisannya ke bawah pohon besar. Karena belum puas memandang, hari ini dia bakal memandang sepuas-puasnya tanpa diganggu oleh Mumu.

Mula-mula Pak Saiful memandang lukisannya dari dekat, kemudian dia memperpanjang jaraknya. Akhirnya dia sudah mendekati tepi rawa. Ia tak tahu di kembali pohon besar ada sepasang mata mengawasinya.

“Karya hebat. Aku sendiri pun nyaris meneteskan air mata memandang lukisan itu. Orang bakal tergugah untuk menyayangi binatang. Dan mereka bakal berpikir bahwa kasih sayang itu sesuatu nan banget krusial dan berharga!” pikir Pak Saiful. Tanpa sadar Pak Saiful mundur lagi dan… oooh… dia terperosok ke dalam rawa.

“Tolooong… tolooong!” jerit Pak Saiful dengan panik. Ia sadar bahwa dirinya bakal terhisap ke dalam lumpur rawa dan maut bakal segera menjemputnya. Saat itulah Mumu muncul sembari membawa tambang. Ia sudah mengikatkan tambang di sebuah pohon besar dekat rawa.

“Pegang tambang ini, Pak!” kata Mumu sembari mengulurkan tambang. Lalu Mumu cepat-cepat menarik tambang sekuat tenaga, menarik Pak Saiful dari rawa. Keringat berceceran di wajah Mumu, namun akhirnya dia sukses menyeret majikannya keluar dari rawa. Begitu tiba di rerumputan, Pak Saiful pingsan.

Resolusi:

Ketika sadar, dia sudah berada di rumahnya dalam keadaan bersih, Mumu sudah mengurus segala sesuatunya dengan baik.

“Terima kasih, Mumu, Anda menyelamatkan nyawaku!” kata Pak Saiful. “Maafkan aku!”

“Tidak apa-apa, Pak. Saya senang Bapak selamat. Saya mengangkat lukisan Bapak kemarin lantaran saya mau menarik perhatian Bapak. Bapak sudah berada di tepi rawa waktu itu. Saya kuatir Bapak bakal jatuh. Tadi saya berhati-hati dan menyiapkan tambang lantaran saya kuatir Bapak enak-enak memandang lukisan dan terperosok ke dalam rawa!” kata Mumu.

Mumu, si pelayan setia mendapat bingkisan dan kembali bekerja pada Pak Saiful. Kasih sayang seorang anak pada anjingnya, kasih sayang seorang pelayan pada majikannya membikin Pak Saiful makin menyadari makna kasih sayang. Dan sebagai rasa syukur, Pak Saiful memberikan hasil penjualan lukisan itu pada panti asuhan.

8. Cerpen berjudul Gara-Gara Nenek Lupa

Gara-Gara Nenek Lupa

Oleh: Sarah Nafisah

Orientasi:

Setiap akhir tahun, sekolah Rino libur. Di saat itu, Rino, Ayah, dan Ibu bakal naik ke mobil dan berjamu ke rumah Nenek Ida di desa. Nenek Ida mempunyai ladang. Rino suka sekali berpiknik ke desa Nek Ida.

Setiap pertengahan tahun, sekolah Rino juga libur. Namun di saat itu, giliran Nek Ida nan berjamu ke rumah Rino. Begitulah langkah family Rino mengatur liburan. Agar tidak bosan, kadang mereka liburan di kota, kadang di desa pertanian.

Rangkaian Peristiwa:

Akan tetapi, di tahun ini, Nenek Ida membikin kesalahan.

“Aku yakin, saat ini, giliranku untuk liburan ke kota,” gumam Nek Ida nan mulai pelupa. Pelan-pelan, dia lampau mengemasi baju-bajunya dan memasukkannya ke dalam koper.

Pada saat nan sama, ibu Rino juga sedang mengemasi tas. Ibu tampak tidak bersemangat. Sambil menutup tasnya, ibu Rino berkata,

“Ibu sebetulnya mau sekali bisa liburan ke pantai. Sekaliii saja agar tidak sama dengan tahun-tahun sebelumnya.”

Rino dan adiknya langsung berseru setuju.

“Aku juga mau ke pantai, Bu! Jangan ke rumah Nek Ida terus alias hanya berkeliling kota ini. Bosan. Kalau liburan ke laut, kita kan bisa berenang dan menggali pasir. Yah, Ayah, tahun ini kita liburan ke pantai, saja ya?” seru Rino bersemangat.

“Tentu saja tidak bisa, sayang,” kata ayah Rino. “Akhir tahun ini, kita bakal mengunjungi Nenek seperti biasa. Jangan sampai Nenek kecewa dan bertanya-tanya jika kita tidak datang. Tahun depan saja jika mau ke pantai. Supaya Nenek juga sudah diberitahu jauh-jauh hari.”

Rino jadi lesu. Namun, kata-kata ayahnya ada benarnya. Nek Ida pasti sedih jika mereka tidak datang ke pertaniannya. Rino tak mau membikin neneknya nan baik hati itu jadi sedih.

Komplikasi:

Keesokan harinya, cuaca sangat cerah. Rino, Ayah dan Ibu naik ke mobil. Tak lama kemudian, mereka sudah ada dalam perjalanan menuju peternakan Nek Ida.

Di sepanjang jalan nan agak macet dan panas, Rino tetap berambisi umpama mereka bisa berpiknik ke pantai. Karena ayah Rino mulai kehausan, dia menepikan mobil di dekat kafe pinggir jalan.

Mereka bertiga turun dari mobil. Tiba-tiba, wajah ibu Rino tampak kaget, ceria dan dengan antusias menunjuk ke parkiran.

“Lihat! Mobil itu mirip mobil Nenek!”

Rino dan ayah menengok. Mereka bertiga lampau melangkah pelan mendekati mobil itu. Astaga, itu memang mobil Nek Ida. Nenek bersandar di pintu mobil dan sedang menyeruput saribuah jeruk.

Seketika itu juga, Rino berlari dan memeluk neneknya. Ayah dan Ibu juga memeluk Nenek dan bertanya heran.

“Ibu mau ke mana?” tanya Ayah.

“Tentu saja mau ke rumah kalian!” kata Nek Ida heran. Namun dia lampau menyadari kesalahannya. “Astaga, harusnya, ini giliran kalian berpiknik di pertanian, ya?” serunya.

Resolusi:

Ibu Rino tersenyum cerah.

“Tidak apa, Bu! Sekarang, kita buat rencana baru saja. Bagaimana jika tahun ini kita bikin perubahan. Ibu mau jika kita berpiknik ke pantai?” tanya ibu Rino penuh harap.

Wah, tak disangka, wajah Nek Ida berubah sangat ceria.

“Tentu saja Nenek mau! Nenek mau bermain air laut!” kata Nek Ida penuh semangat.

“Yeeeeeey… Nanti saya temani Nenek main air!” teriak Rino tak kalah girang.

Rino, Ayah dan Ibu tertawa geli memandang Nenek dan cucunya nan bersemangat. Kini, ayah Rino sibuk memandang peta jalannya.

“Hmmm! Sekarang ini, kita hanya berjarak sembilan mil dari pantai. Jadi, mari kita ke sana sekarang!” ajak ayah Rino.

Di mobil, Nek Ida tertawa dan berkata,

“Liburan kita mungkin sudah mulai membosankan dan tercampur aduk. Makanya Nenek sampai lupa kudu tetap di pertanian alias mengunjungi kalian! Syukurlah, Nenek membikin sedikit kesalahan!”

“Semua orang pernah melakukan kesalahan, Nek. Tapi, kesalahan Nenek ini sungguh menyenangkan!” kata Rino.

Mereka semua tertawa lagi. Dan ketika udara pantai nan asin mulai tercium, hati mereka semakin gembira.

9. Cerpen berjudul Nasihat Iko

Nasihat Iko

Oleh: Vanda Parengkuan

Orientasi:

Mama Iko membujuk Iko ke rumah Tante Niken, kawan berkawan ibu Iko sejak SMA dulu. Suami Tante Niken sedang keluar kota. Tante Niken mengundang ibu Iko makan malam di rumahnya. Sekalian menemaninya berbuka puasa.

Anak laki-laki Tante Niken berjulukan Rio. la seusia Iko. Dulu, Iko dan Rio sama-sama tukang ngompol. Tapi, sekarang Iko sudah tidak ngompol lagi.

Rangkaian Peristiwa:

“Rio tetap ngompol, Tante?” tanya Iko di meja makan.

“Tidak!” jawab Tante Niken dan Rio bersamaan.

“Wan, Rio pintar, dong, sudah tidak ngompol! Seperti saya!” ujar Iko sok tua. Tante Niken tersenyum geli mendengarnya.

“Rio memang sudah tidak ngompol. Tapi dia tetap susah makan! Tante jadi pusing! Harus masak apa agar Rio doyan makan banyak!” keluh Tante Niken. la lampau mengisi piring Iko dan Rio dengan mi goreng. Itu makanan kesayangan Iko dan Rio. Tante Niken sengaja menyiapkannya untuk kedua anak itu. Tapi…, malas makan Rio rupanya sedang kumat!

Komplikasi:

“Ukh! Mi gorengnya tidak enak!” keluhnya sembari memainkan sendok. Padahal menurut Iko, mi gorengnya lumayan enak.

“Coba lihat! Rio susah sekali makan! Makanya kurus sekali!” keluh Tante Niken sedih.

“Tidak enak, ya, mi gorengnya!” bisik Rio pada Iko.

“Dulu juga saya sering tidak mau makan, jika makanannya tidak enak. Tapi kata papaku, biar tidak enak, anggap saja enak! Nanti jadinya lezat betulan!” nasehat Iko berbisik-bisik.

“Ah, papamu aneh!” ejek Rio.

“Eh, papaku itu hebat! Namanya Pak Tie. Kau kudu kenalan dengannya! Supaya kau bisa makan banyak seperti aku!” bantah Iko sembari mulai memelintir mi gorengnya.

“Coba lihat! Hebat, kan! Mi goreng bisa diplintir-plintir! nan lebih dahsyat lagi…, saya bisa makan mi goreng plintir! Hmmm, nikmatnyaaa…” oceh Iko sembari melahap mi gorengnya. Rio terbingung-bingung mendengar ocehannya.

“Makan mi goreng plintir, kok, dibilang hebat?! Apanya nan hebat?!” pikir Rio. Tapi perut Rio tiba-tiba terasa lapar. la tiba-tiba mau sekali makan mi goreng.

Resolusi:

Diikutinya tingkah Iko. Mi goreng itu diplintir-plintir lampau dilahap.

“Hams sembari bilang, hmm…nikmaaat…!” perintah Iko. “Hmmm, nikmaaat…!” tiru Rio sembari mengunyah mi gorengnya. Mama Iko dan Tante Niken tersenyum geli memandang tingkah mereka.

“Makan mi goreng plintir! Saktiii…” ocehan Iko lagi. “lya! Saktiii, dahsyaaat…!” Rio mulai ikut-ikut berceloteh. Keduanya tertawa. Mi goring itupun disantap lahap sampai habis.

“Nyam nyam nyam! Wuah, jadi lezat betulan, ya! Buka puasanya jadi seruuu!!” komentar Rio.

“Ck ck ck! Iko, pandai membujuk, ya!” gumam Tante Niken kagum. “Iko hanya mengajar apa nan diajarkan papanya padanya!” ujar ibu Iko sembari tersenyum. Beberapa hari kemudian Tante Niken dan Rio datang ke rumah Iko. Mereka membawa sebuah bingkisan.

“Sekarang Rio tidak susah makan lagi! Itu lantaran Iko mengajari Rio langkah makan nan nikmat! Nah, ini bingkisan untuk Iko!” Tante Niken menyerahkan bingkisan itu pada Iko. Isinya permainan lego nan terbaru.

“Asiiik!!” teriak Iko gembira.

“Huuu, curang! Harusnya mainan itu buat Papa! Bukan buat Iko! Kan, nasehatnya dari Papa!” goda Pak Tie.

“lyaaa, Iko ngalah, deh! Mainan ini buat Papa saja! Tapi sekarang Iko pinjam dulu, ya!” ujar Iko polos. Pak Tie, ibu Iko dan Tante Niken terbahak-bahak mendengarnya.

Baca Juga: Kumpulan Contoh Teks Diskusi Lengkap berasas Strukturnya | Bahasa Indonesia Kelas 9

10. Cerpen berjudul Kegemaran nan Langka

Kegemaran nan Langka

Oleh: Widya Suwarna

Orientasi:

Ibu Mimi berdagang makanan di depan rumahnya. Banyak pegawai instansi nan datang dan makan di kantin ibu Mimi. Setiap hari, ibu Mimi membeli banyak kaki ayam. Karena ada satu makanan berkuah nan lebih lezat jika dimasak dengan kaki ayam.

Nah, kaki ayam ini banget disukai Mimi. Rasanya gurih, legit, dan … pokoknya nikmat. Waktu tetap mini Mimi sering makan 2 buah kaki ayam. Sekarang, setelah kelas V, Mimi bisa menghabiskan separuh lusin kaki ayam.

Rangkaian Peristiwa:

Tetapi, kegemaran Mimi ini nyaris terhenti.

Suatu siang, Rita dan Agnes datang saat Mimi sedang makan siang. Di hadapannya ada semangkuk kaki ayam, komplit dengan cekernya. “Hai, kalian mau makan? Ayo, kita makan.

Agnes dan Rita saling berpandangan, lampau tertawa.

“Kenapa?” tanya Mimi heran.Tangannya tetap memegang sepotong kaki ayam.

“Aku heran, Anda kok nikmat betul makan kaki ayam. Aku tak pernah mau memakannya!” jawab Rita.

“Aku juga. Malah saya baru pernah lihat ada orang suka makan kaki ayam!” tambah Agnes.

“Oh, ya? Aku kira banyak orang nan suka makan kaki ayam. Lezat kok. Ah, mungkin kalian berdua saja tidak suka lantaran belum pernah mencobanya. Cobalah satu!” Mimi menawarkan.

Rita dan Agnes menunjukkan wajah jijik.

“Aku jadi mau tahu berapa orang anak di kelas kita nan suka makan kaki ayam!” tiba-tiba Rita berkata.

“Baik, besok saya bakal menanyakan pada teman-teman kita. Akan kubuktikan cukup banyak orang nan tahu lezatnya kaki ayam!” kata Mimi bersemangat.

Komplikasi:

Esok harinya, Mimi membawa notes mini dan menuliskan nama-nama kawan sekelasnya nan 37 orang itu. Lalu, dia menanyai mereka satu persatu. Pekerjaan itu tidak sulit. Ia melakukannya sebelum bel masuk berbunyi, waktu rehat pertama dan kedua. Namun, hasilnya mengecewakan Mimi. Ternyata, tak seorang pun kawan sekelasnya suka makan kaki ayam.

Sekarang Mimi mulai ragu-ragu. Jangan-jangan dia nan asing lantaran suka makan kaki ayam. Apakah sebaiknya mulai sekarang dia tidak makan kaki ayam lagi? Tetapi, bisakah dia menghentikan kegemarannya itu?

Masih tengiang-ngiang di telinganya jawaban kawan-kawannya, “Ih, saya sih jijik.”

“Ayam biasanya mencakar di tempat-tempat sampah,” kata Yuli.

“Ha, ha, ha, Anda suka makan kaki ayam? Kamu juga suka buntut dan kepala ayam?” goda Dani.

“Ih, amit-amit seperti tak ada makanan lain saja!” kata Ine.

Resolusi:

Sepulang sekolah wajah Mimi murung. la tak mengira kegemarannya itu merupakan kegemaran nan langka. “Sudah pulang, Mi? Itu di panci ada kaki ayam,” ujar Ibu.

Mimi menggelengkan kepalanya.

“Lho, ada apa?” tanya Ibu heran. Mimi menceritakan masalahnya, lampau berkata, “Ibu tak pernah bilang jika banyak orang tak mau makan kaki ayam!”

Ibu tertawa dan berkata, “Memangnya kenapa? Nah, coba Anda jawab pertanyaan-pertanyaan ini. Lalu, Anda ambil keputusan apakah Anda mau meneruskan alias menghentikan kegemaranmu!”

“Pertama, jika Anda suka kaki ayam apakah dirimu menjadi rugi?” tanya Ibu.

“Tidak!” jawab Mimi.

“Kedua, apakah sikap kawan-kawanmu berubah setelah mereka tahu Anda suka makan kaki ayam?” tanya Ibu lagi.

“Tidak!” jawab Mimi.

“Ketiga, apakah jika misalnya si Rita suka makan daun pepaya nan pahit, semua anak di kelas kudu mengikuti kegemarannya?” Ibu mengusulkan pertanyaan nan terakhir.

“Tidak!” jawab Mimi.

“Kalau begitu, ambillah keputusan nan terbaik bagimu!” kata Ibu.

Mimi tersenyum. Hilanglah keraguannya. la mengucapkan terima kasih pada Ibu, lampau mengambil mangkuk kosong dan pergi ke dapur. Selanjutnya Anda tahu apa nan dikerjakan Mimi, bukan?

Baca Juga: Cara Menganalisis Unsur Intrinsik Cerpen | Bahasa Indonesia Kelas 11

11. Cerpen berjudul Kancil dan Buaya

Kancil dan Buaya

Oleh: Syrli Martin

Orientasi:

Alkisah, di sebuah pinggir hutan, terdapat seekor Kancil nan sangat cerdik. Ia hidup di rimba berbareng hewan-hewan lainnya, di antaranya ada kerbau, gajah, kelinci, dan tetap banyak lagi. Si Kancil selalu mencari makan di pinggiran sungai.

Rangkaian Peristiwa:

Pada suatu hari, dia merasa sangat lapar. Kemudian, si Kancil bergagas pergi untuk mencari makan. Setibanya di tepi sungai, dia memandang sebuah pohon rambutan nan sangat rimbun di seberang sungai. Si Kancil beriktikad mau mengambil buah rambutan tersebut, tetapi di dalam sungai terdapat banyak buaya nan sedang mengintai Kancil.

Komplikasi:

Kemudian, para buaya berkata, “Hey, Kancil! Apakah kau sudah jenuh dengan hidupmu, sehingga kau datang kemari?”.

“Eh… tidak. Aku kesini untuk menyampaikan undangan kepada kalian”, jawab Kancil.

Para buaya pun terkejut mendengar perkataan si Kancil. Buaya bertanya, “Undangan apa?”.

Lalu, Kancil menjawab pertanyaan para buaya dengan santai. “Minggu depan raja Sulaiman bakal merayakan sebuah pesta dan kalian semua diundang dalam aktivitas tersersebut”.

“Pesta…?” timpal para buaya dengan mulut menganga.

“Iya, pesta. Di sana terdapat banyak makanan. Ada daging rusa, daging kerbau, dan daging gajah pun juga ada.”

“Aaaaakh, pasti kau berbohong! Kali ini kau tidak bisa menipu kami lagi!”, buaya menyahut dengan sedikit marah.

“Eh tidak-tidak, kali ini saya serius”, jawab Kancil untuk meyakinkan para buaya.

“Apa kau yakin…?”, tanya para buaya dengan emosi cemas bakal ditipu Kancil.

“Iya, yakin”, jawab Kancil.

“Baiklah, kali ini saya percaya kepadamu”, ujar para buaya.

“Nah, sekarang kalian berbarislah dengan rapi, saya bakal menghitung berapa jumlah semua buaya nan ada di dalam sungai ini”.

Kemudian, para buaya berbanjar dengan rapi. Berharap mereka semua bakal mendapatkan makanan nan sama rata. Kancil pun mulai menghitung satu persatu buaya nan ada dalam sungai terebut. Setelah sampai di punggung buaya terakhir, Kancil langsung melompat ke tepian sungai.

Resolusi:

Setelah itu, ada seekor tupai nan berkata, “Pesta itu sudah dirayakan minggu lalu, bukan minggu depan. Hahaha!”. Mendengar perkataan tupai, mereka pun merasa tertipu dan sangat marah. Melihat para buaya nan tengah marah, si Kancil malah cengengesan dan menjulurkan lidahnya ke depan. Kemudian, Kancil bergegas pergi dari tepi sungai, dan menuju pohon rambutan nan berbuah lebat itu. Akhirnya, Kancil dapat makan buah rambutan nan dia inginkan.

12. Cerpen berjudul Bendera

Bendera

Oleh: Jelsyah Dauleng

Orientasi:

Setiap tahun, Pak Lurah selalu menyampaikan kepada masyarakat untuk memasang bendera sebulan penuh, selama bulan Agustus. Tapi hanya ada satu alias dua family nan di depan rumahnya terpasang tiang bendera. Sudah termasuk Pak Budi nan tidak pernah tidakhadir untuk meningkatkan bendera merah putih di tiang aluminium. Ia selalu merasa bangga di saat semua orang lupa dengan tanda kemerdekaan itu, meski dia hanya rakyat biasa, dia tetap mengingat.

Tapi tahun ini sepertinya agak berbeda. Pak Budi mendapati seorang tetangga nan meminta tukang jahit di pasar untuk dijahitkan bendera merah putih sekaligus bendera hias. Ia harusnya senang, lebih banyak orang lagi nan bakal merayakan hari ulang tahun Indonesia. Hanya saja ada masalah lain. Hari ini—tanggal 1 Agustus—sesampai di rumah, sepulang dari pasar untuk menjual sayur-mayur hasil panennya, dia memanggil istrinya.

Rangkaian Peristiwa:

“Bu, bendera mana?” tanya Pak Budi.

Hanya saja Bu Tin, istri Pak Budi tidak menjawab. Ia sedang ngambek, belum dikasih duit belanja. “Aku ini belum makan,” katanya tak sesuai dengan pertanyaan Pak Budi.

“Memang kenapa tidak makan,” Pak Budi jadi agak kesal. Padahal kemarin dia lenyap menjala di sungai dan dia percaya di lemari pendingin tetap ada ikan, apalagi ada udang. “Bendera mana bu?” tanyanya lagi.

“Ada di lemari mungkin, Pak,” putrinya, Ani, nan lampau menjawab. Remaja enam belas tahun itu keluar dari bilik dan mendapati wajah masam kedua orang tuanya. “Memang sudah mau dipasang?”

Melihat Ani nan tak sependapat dengan kekesalannya, Bu Tin coba menenangkan diri. Ia lampau bergerak mencari kain nan dimaksud suaminya.

Pak Budi menggerakkan kepala. Menarik perspektif bibirnya saat Bu Tin kembali ke ruang tengah dengan bendera di tangan istrinya itu. Ia meraih, bendera hias berwarna kuning disingkirkannya dan melihati bendera merah putih nan selalu bangga berkibar pada tiang di depan rumahnya. Hening, untuk beberapa saat.

“Bu Tin,” teriak salah satu tetangga dari luar, memecah keheningan. Ia dan lainnya mulai memasang bendera merah putih dan bendera panjang berwarna warni pemberian pak lurah.

Bu Tin segera mengerti dan mencoba meraih bendera merah putih dari tangan suaminya, dia terkesiap saat bendera itu tidak terlepas dari Pak Budi.

Komplikasi:

Ani menoleh, seketika mendapati wajah sedih ayahnya. Diingatnya kalimat nan selalu dikatakan ayahnya, “bagi kita bendera ini pertanda jika kita telah merdeka.” Ia menggigit bibir. Meski mereka hanyalah family sederhana nan kadang sehari dua hari tak ada pemasukan, tapi ayahnya tak mau berbeda dari penduduk Indonesia lainnya, selalu mau ditunjukkannya pada orang-orang bahwa dia juga telah merdeka.

Maka saat bendera tanda merdeka ayahnya tak lagi berwarna merah-putih, dia tahu ada kemunduran nan terjadi di family mereka andaikan bendera nan sekarang berwarna jingga-putih kekuningan itu tetap berkibar di tiang.

“Kita beli nan baru, bu,” kata Pak Budi, lebih pada dirinya sendiri.

“Apaan sih, pak? Uang makan saja tidak cukup,” dengus istrinya. “Ini tetap bagus, cuman warnanya saja nan agak pudar. Pak Kur nan kaya saja, tahun lampau masang bendera nan jahitannya sudah lepas-lepas. Sini pak,” Bu Tin tetap mencoba menarik, tapi tetap tak terlepas dari tangan suaminya.

“Besok saja dipasangnya, bu,” keputusan Pak Budi membikin Bu Tin mendengus dan keluar menginfokan pada tetangga bahwa dia belum beli nan baru.

Resolusi:

“Kudengar Pak lurah bagikan bendera hias, katanya biar kompak dibanding kelurahan lainnya,” Ani memandang keluar jendela, melihati bendera hias panjang nan bertuliskan nama kelurahan di ujung bawah.

Pak Budi duduk. Menghela nafas. “Bukan bendera merah putih,” gumamnya. “Kalau pun ada, lebih baik bapak beli sendiri. Nanti, lenyap aktivitas tujuh belasan, pasti diambil lagi.”

“Kalau ada rezeki, besok bapak bisa beli nan baru,” kata Ani memperbaiki posisi duduknya di bangku kayu di sebelah ayahnya, bersiap mengerjakan tugas nan lebih banyak dari biasanya. “Kalau tidak, pasang nan ada saja. Lagi pula, bendera ini lebih berkesan, sudah bertahun-tahun berkibar.”

Pak Budi mencoba tersenyum. Ia percaya sudah bekerja keras setiap tahunnya, tapi sekarang tetap belum bisa tukar bendera. Kalau saja dia tak pernah mengatakan pada orang-orang jika bendera adalah tanda merdeka seseorang, dia mungkin tak pernah merasa malu memasang bendera warna jingga-putih kekuningan ini.

Pandangannya lampau tertuju pada cover kitab paket Sejarah putrinya di atas meja, dengan gambar candi, beberapa orang berjas, dan juga bendera merah putih. Ah, dia kudu bekerja lebih keras dan mencoba menghargai dibanding memberi harga.

13. Cerpen berjudul Kerbau dan Jalak

Kerbau dan Jalak

Oleh: Vara

Orientasi:

Pak Falo adalah seekor kerbau hitam berbadan besar dan mempunyai tanduk nan banget panjang. Hari ini, dia betul-betul gundah. Badannya gatal bukan kepalang. Ia sudah mencoba mengusir rasa gatal itu dengan selalu mengibaskan ekornya. Namun, rasa gatal itu tak juga hilang. Sementara itu, mulutnya terus saja mengunyah rumput hijau nan terhampar di padang luas, sembari sesekali mengo’a lantaran rasa gatal nan tak tertahankan.

Cuit-cuit, cuit-cuit, cuit-cuit, bunyi si Jali riang gembira. Jali si jalak, burung mungil pemakan kutu nan nyaris setiap hari menyanyi di atas pohon di dekat Pak Falo biasa makan rumput. Jali biasanya memandang Pak Falo nan riang gembira. Namun tidak kali ini, Pak Falo hari ini terlihat gundah.

Rangkaian Peristiwa:

“Apa gerangan nan terjadi padamu Pak Falo?”, tanya Jali. “Badanku gatal sekali”, jawab Pak Falo sembari mengibas-ngibaskan ekornya.

Pak Falo sudah mengusir rasa gatal itu dengan mengibas-ngibaskan ekornya, namun usahanya sia-sia. Rasa gatal itu semakin menjadi. “Kamu belom mandi ya?”, tanya Jali. “Rumahku jauh dari sungai, jadi saya jarang mandi”, jawab Pak Falo sembari mengusir rasa gatal di badannya dengan mengibaskan ekor.

“Pantas saja, pasti badan Anda banyak kutunya, lantaran kutu-kutu itu suka tinggal di tempat nan kotor”, kata Jali. Pak Falo mengangguk setuju. Pak Falo meminta support kepada Jali untuk menyelesaikan masalahnya.

“Baiklah kalo begitu, bersiaplah saya bakal selesaikan masalahmu”, kata Jali.

Jali pun bersiap untuk terbang. Jali mulai mengambil nafas panjang, menegakkan lehernya, memandang langit, dan dengan secepat kilat, dia terbang tinggi. Kemudian, dia berputar-putar dan tidak berapa lama Jali menukik tajam dari atas ke badan Pak Falo.

Komplikasi:

“Hei Jali, apa nan Anda lakukan? Kamu mau membunuhku ya?”, teriak pak Falo sembari berlari menghindari serangan Jali.

“Berhenti!!! Jangan lari kamu!”, teriak Jali.

“Tidak! Tidak…!! Tidak…..!!!”, teriak Pak Falo sembari terus berlari.

Jali tak mau kalah, dia terus mengejar Pak Falo. Bahkan, jali terbang lebih kencang dari sebelumnya. Pak Falo tidak mau jadi sasaran Jali. Dengan cepat, dia masuk ke dalam rimba dan berlindung di kembali sebuah batu besar.

Jali kehilangan jejak Pak Falo. Sambil terengah-engah, Jali hinggap diatas ranting sebuah pohon, memperhatikan keadaan sekitar. Dari kembali batu, Pak Falo pelan-pelan mengintip, dan pelan-pelan beranjak tempat ke batu nan lain untuk menjauhi Jali. Namun, tanpa sengaja, Pak Falo terpeleset dan jatuh, sehingga menimbulkan bunyi gemuruh nan menyebabkan Jali mengetahui keberadaan Pak Falo.

“Pak Falo……!”, teriak Jali sembari terbang mengejar Pak Falo.

“Duh, saya jatuh, habislah saya sekarang”, kata Pak Falo. Jali semakin dekat dengan Pak Falo dan tiba-tiba….

“Stop…!!!”

Ada bunyi keras nan mengagetkan mereka berdua. Ternyata, bunyi itu datang dari Raja Sing, Singa sang penguasa hutan.

“Apa nan kalian berdua lakukan. Kalian telah mengganggu istirahatku”, kata Raja Sing.

“Jali mengejarku Raja Sing, dia mau membunuhku”, kata Pak Falo dengan nada memelas.

“Tidak raja, saya bukannya mau membunuhnya. Justru, saya mau membantu menyelesaikan masalahnya”, sanggah Jali memihak diri.

Mereka berdua kemudian berdebat dan saling menyalahkan.

“Sudah, cukup. Bila seperti ini terus, kapan bakal selesai?” bentak Raja Sing.

Mendengar bentakan Raja Sing, akhirnya mereka tak bersuara sembari menundukkan kepala.

Resolusi:

“Apa masalahmu Falo?”, tanya Raja Sing.

“Aku tadi sedang makan rumput diladang. Aku merasakan tubuhku gatal semua. Kemudian, Jali datang. Dia bertanya kenapa saya berkelakuan aneh. Lalu, saya jawab bahwa tubuhku gatal-gatal dan tiba-tiba dia menyerangku. Aku pun lari menghindari serangannya.”

“Tapi tubuh Jali kecil, sedangkan kulitmu keras, gimana Anda punya pikiran bahwa Jali bakal membunuhmu?”, tanya Raja Sing.

“Tapi dia tadi menyerangku raja”, kata Pak Falo.

“Maaf raja, saya bukannya hendak membunuhnya. Justru saya mau membantunya. Aku memandang banyak kutu ditubuh Pak Falo, dan itu adalah makanan kesukaanku. Aku hanya mau menyantap kutu-kutu itu tanpa menyakiti Pak Falo”, jelas Jali penuh semangat.

Raja Sing pun akhirnya tahu duduk permasalahannya.

“Oh, begitu masalahnya. Jadi sekarang sudah jelas kan semuanya. Ayo sekarang bermaafan”, kata Raja Sing.

“Baiklah Raja Sing”, mereka berdua menyambut.

“Ayo, Jali, segera naik ke punggungku, habiskan kutu-kutu nan ada di tubuhku”, kata Pak Falo sembari tersenyum.

“Iya pak Falo”, teriak Jali.

Pak Falo menyantap rumput hijau kesukaannya, sedangkan Jali menyantap kutu-kutu nan ada di tubuhnya. Mereka berdua ceria dan menghabiskan hari itu dengan perut kenyang. Sementara Raja Sing kembali ketempat istirahatnya.

14. Cerpen berjudul Buku-Buku Kirana

Buku-Buku Kirana

Oleh: Laras Sekar Seruni

Buku-Buku Kirana

Orientasi:

Kumpulan kata nan tersusun rapih merasakan sedikit getaran dari luar. Seseorang mengambil kumpulan kata tersebut nan sudah dijilid menjadi berbentuk sebuah buku. Kemudian dia merasakan tubuhnya beranjak tangan untuk kemudian diceritakan berapa nilai nan kudu orang itu bayar.

Lamat-lamat dirinya menyentuh sisi-sisi satu buah kantong berbahan kain. Katanya plastik semakin dilarang. Tidak masalah sebenarnya. nan krusial dia punya pemilik sekarang.

Setelah diintip rupanya nan membeli dirinya adalah seorang wanita muda berumur sekitar dua puluh dua. Wajahnya biasa-biasa saja. Terlihat suka membaca dari kacamata merah tua nan tertahan di hidungnya.

Bukan hanya dirinya nan ada di kantong kain itu. Tapi ada beberapa nan ditumpuk-tumpuk sehingga sedikit sesak. Ia dan nan lain sudah biasa. Sejak tubuhnya rampung, dia sudah diperlakukan untuk saling tindih menindih satu sama lain.

“Aku sebuah mahakarya. Isiku disukai oleh seluruh orang di dunia. Tahukah kau, penciptaku mendapatkan nobel lantaran saya diterjemahkan lebih dari lima puluh bahasa?” ungkap salah satu dari tumpukan itu.

“Ya ya. Aku pernah mendengar tentangmu. Selamat ya,” balas buku nan berada satu tumpuk di atasnya, acuh tak acuh.

Rangkaian Peristiwa:

Ia hanya terdiam lantaran malas menanggapi. Sebenarnya bisa saja dia membanggakan dirinya lantaran sukses meraih predikat best-seller sejak tiga hari setelah dirinya diterbitkan. Bangga betul rasanya menjadi salah satu nan dipuja-puja oleh banyak kalangan. Di dalam dirinya terungkap rahasia negara nan sukses dikuak lantaran kegoblokan si narasumber nan mabuk ketika diwawancara. Orang mabuk memang selalu jujur ketika berbincang meskipun agak melantur.

“Duh, Kirana. Kamu ini kerjanya membeli buku saja. Memang semuanya Anda baca?” suaranya menunjukkan orang itu sudah hidup sekitar separuh abad.

“Iya dong Bun. Aku lagi penelitian untuk skripsi,” jawab Kirana santai.

“Harusnya Anda simpan duit Anda untuk masa depan. Beli emas kek. Itu salah satu langkah untuk berinvestasi,” Bunda memprotes anak gadis pertamanya.

“Buku juga salah satu corak investasi masa depan Bun,”

“Anak era sekarang itu jika dinasihati bukannya alim malah menjawab terus. Terserah Anda lah,”

“Bunda mau baca novel karangan Ayu Utami nan baru? Oh, saya juga beli bukunya Pramoedya nan sudah dicetak ulang. Harganya jadi mahal sekali,” kata Kirana

“Kamu ini gimana sih? Katanya sedang penelitian skripsi. nan dibeli kok novel? Tidak ah. Bunda sedang  malas baca,”

Tanpa kata lebih jauh, Kirana melengos di depan Bunda menuju kamarnya.  Ternyata bilik Kirana dipenuhi buku-buku. Hanya ada lemari baju dan ranjang kapuk nan terasa sangat mini di perspektif ruangan. Buku-buku ini lebih banyak dari toko buku tempatnya dipajang dalam rangka promosi.

Ia diletakkan di antara buku-buku non fiksi. Tubuhnya terasa semakin sesak lantaran diapit sekitar puluhan tubuh lain. Namun dirinya senang lantaran sudah mendapatkan pemilik. Setelah ini dia bakal menjadi sangat berfaedah lantaran dirinya menceritakan kebenaran.

Tidak beberapa lama, Kirana kembali mengambil tubuhnya. Senangnya bukan kepalang. Ia merasa bakal dijadikan nan pertama untuk dibaca dari buku-buku yang beberapa jam lampau bersamanya di kantong berbahan kain. Ternyata, dia berjumpa kembali dengan buku yang diterjemahkan lebih dari lima puluh bahasa dan novel karangan Pramoedya. Rupanya Kirana bakal membalut tubuhnya dengan sampul plastik agar lebih awet dan sampulnya tidak sigap kotor.

Komplikasi:

Ia sedikit kecewa sebenarnya. Namun tidak mungkin Kirana membelinya jika tidak dibaca. Maka dia bakal setia menunggu hingga tiba gilirannya untuk disesap lembarannya satu per satu menggunakan jari-jari lentik Kirana.

Buku-buku Kirana nyaris semuanya sombong. Jika Kirana sedang pergi kuliah, mereka membanggakan dirinya masing-masing. Ruangan terasa sangat riuh dan bising. Ia hanya tak bersuara saja lantaran merasa menyombongkan diri tidaklah penting. Bukankah setiap buku memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing?

Semakin hari buku-buku Kirana bertambah. Awalnya Kirana membeli buku seminggu sekali. Sekali membeli bisa sepuluh sampai dua puluh buku. Buku tentang apa saja. Kedokteran, politik, hukum, jurnalistik, novel, komik, apalagi majalah dan surat kabar nan kabarnya merupakan sumber pengetahuan pengetahuan teranyar. Padahal Kirana mengambil bidang Filsafat. nan penting, Kirana merasa senang membeli buku-buku lain dari beragam macam bidang.

Kemudian, kebiasaan Kirana membeli buku menjadi setiap hari. Lama-lama kamarnya semakin sesak. Bahkan Kirana sekarang tidur di atas tumpukan buku-buku yang tersusun setinggi kasur. Lemari bajunya pun sekarang diisi oleh buku-buku. Sedangkan baju-baju miliknya sebagian besar disumbangkan ke anak-anak yatim piatu. Kirana hanya mempunyai tiga pasang baju nan dia kenakan untuk sehari-hari.

Kirana sampai lupa beramal uang. Uangnya sudah lenyap untuk beli buku. Padahal biasanya recehan di dompetnya Kirana sumbangkan untuk pengamen alias anak jalanan. Sekarang recehnya dia kumpulkan untuk membeli buku-buku obralan. Kirana juga keluar dari perkumpulan pecinta lingkungan nan mewajibkan anggotanya bayar seratus ribu per bulan. Kirana terkadang lupa makan. Uangnya lenyap untuk membeli buku-buku.

“Kirana! Kamu sudah keterlaluan, Nak! Uang kuliah itu untuk dibayarkan ke kampus kamu. Bukan untuk dibayarkan ke para penjual buku!” Bunda rupanya sudah naik pitam. Padahal jarang sekali Bunda marah-marah seperti ini.

“Kemarin ada potongan nilai besar-besaran Bun. Sayang jika tidak membeli. Lagipula kalau buku-buku itu tidak laku, mereka bakal dibakar lantaran bakal memenuhi gudang. Jadi lebih baik saya beli kan?” Kirana tetap menjawab santai.

“Kemarin, kemarin, kemarin, dan kemarinnya lagi maksudmu? Kamu kira Bunda tidak tahu jika Anda membeli buku setiap hari?!

“Diskonnya memang setiap hari selama sebulan, Bun. Sudah ya. Kirana mau mandi dulu.”

Tidak lama Bunda meninggalkan kamar, suhu bilik Kirana tiba-tiba berubah. Rasanya begitu gerah. Semakin panas dan meluluhkan peluh di setiap buku-buku yang tetap tersusun rapi.

Kemudian nyala merah dari ruangan depan merambat perlahan tapi pasti. Pintu bilik Kirana rubuh. Buku-buku itu berteriak panik minta diselamatkan. Namun tidak ada nan mendengar. Bunda sudah berlari keluar menyelamatkan nyawanya sendiri.

“Tolong! Tolong! Kebakaran!” terdengar lolongan Bunda di kejauhan.

Orang-orang ramai mengelilingi rumah Kirana. Masing-masing membawa ember berisi air. Ada juga nan membawakan kain basah. Mereka ramai-ramai membantu Bunda menyelamatkan rumah peninggalan suaminya.

Bunda lupa mengecek regulator gas elpiji. Ketika sedang memasak rendang, tiba-tiba gasnya meledak. Tentu saja ledakkan itu menciptakan percikan-percikan api nan kian detik kian merambat dan membesar. Bunda langsung menyebar keluar setelah menutup pintu bilik Kirana. Ketika itu apinya sudah melahap meja makan mahoni kesukaan Kirana.

Sekarang api itu semakin liar. Buku-buku Kirana meraung keras lantaran mulai merasakan tubuhnya diselimuti api. Tinta-tinta nan menyebar pasrah dilumat si jago merah berbareng dengan kertas nan selama ini menjadi sandarannya.

Begitupun dengannya. Ia merasa sampul plastik nan dilekatkan tubuhnya oleh Kirana tidak berfaedah banyak. Malah sampul itu meleleh dan membikin kulitnya melepuh. Sia-sia saja dia berteriak untuk memohon agar api itu berhenti. Satu demi satu lembarannya semakin terkikis dan tubuhnya berubah menjadi abu.

Kepunahan terjadi dalam hitungan menit. Buku-buku Kirana lenyap menjadi santapan penguasa neraka. nan ada tingal kenangan dan rentetan pengetahuan nan tercetak di kepala Kirana.

Ia bergeretak di tengah tumpukan kayu gosong jejak rumah Kirana. Tubuhnya mati. Begitupun dengan buku-buku lain di bilik Kirana nan sekarang tinggal puing. Namun nyawanya tetap ada, membumbung mencari-cari Kirana. Ia merindukan wanita itu.

Resolusi:

Sedangkan Bunda dan dua anaknya nan lain tinggal di rumah tetangga sembari menanti kepulangan Kirana. Kurang dari sehari, Kirana tiba. Tubuhnya nyaris ambruk ketika menemukan tumpukan buku-bukunya sudah menjadi debu.

Kirana meraup sisa-sisa kertas nan lapuk sebelum waktunya. Kirana menjerit dengan rintihan tertahan. Batinnya terluka lantaran kehilangan barang-barang kesayangannya. Buku-bukunya lenyap tak bersisa.

Ia menemukan Kirana. Arwahnya membelai lembut rambut Kirana. Ia membisikkan kata-kata nan tidak sukses Kirana dengar. Setidaknya, dia sudah mengungkapkan perasaannya kepada Kirana.

“Aku mencintaimu, Kirana. Meskipun banyak jenisku nan juga Anda cintai, namun saya merasa menyatu ketika bersamamu,” ujarnya dibantu hembusan angin pagi.

Ternyata di antara deburan abu nan bertumpuk sendu, tersembunyi satu buku yang tidak tersentuh api. Kirana melihatnya dan terpana. Air matanya kembali tumpah lantaran merasa bersalah lama melupakan buku berisi kumpulan ayat-ayat suci itu.

“Buku Kirana sekarang tinggal ini,” kata Kirana lemah kepada Bundanya.

Bunda tersenyum simpul meski hatinya tetap terluka, “Tidak apa-apa, Nak. Bunda rasa buku itu cukup untuk membantumu menyelesaikan skripsi.”

Ia mendesau pasrah ketika Kirana tidak membalas cintanya. Arwahnya kembali terbang terbawa angin menuju peraduan nan entah berada dimana.***

15. Cerpen berjudul Macan

Macan

Oleh: Seno Gumira Ajidarma

Orientasi:

Malam berhujan di rimba baik untuknya. Ini membikin manusia kurang waspada lantaran titik-titik hujan pada setiap daun menimbulkan bunyi di mana-mana di dalam rimba sehingga pendengaran mereka teralihkan. Apalagi jika manusia ini alih-alih memburu dirinya, malah bercakap-cakap sendiri, mungkin untuk menghilangkan ketakutan dalam kegelapan tanpa rembulan.

Ia merunduk di kembali semak, antara berlindung tetapi juga siap menerkam. Iring- iringan manusia melangkah berurutan di jalan setapak di bawahnya. Di sisi lain jalan terdapatlah lembah berdinding curam nan menggemakan arus sungai di dasarnya. Suara arus tentu lebih mengalihkan perhatian. Gemanya apalagi membikin mereka kudu berbincang cukup keras.

”Hujan begini Simbah tidak ke mana-mana kan?”

”Oooh kurasa hujan seperti ini tidak banyak artinya untuk Simbah, justru ini saatnya keluar untuk mencari mangsa nan menggigil kedinginan.”

”Berarti mangsanya itu kamu!”

”Huss!”

”Ha-ha-ha-ha!”

”Ha-ha-ha-ha!”

”Ha-ha-ha-ha!”

Baginya ini hanya suara-suara lantaran dia memang tidak mengerti bahasa manusia. Namun, dia memang bisa memangsa salah seorang di antaranya. Ada sebuah celah di antara dua pohon besar di ujung jalan setapak ini, nan membikin mereka kudu berakhir sejenak ketika satu per satu melewatinya. Setelah melangkahi akar-akar nan besar, setiap orang bakal menghilang di baliknya. Akar- akar pohon sebesar itu memang tidak bisa dilangkahi, akar-akar itu kudu dipanjati, seperti memanjat pagar tinggi lantas menghilang di baliknya dan tidak terlalu mudah untuk segera kembali lagi.

Rangkaian Peristiwa:

Itulah saat terbaik untuk menerkam manusia nan paling belakang. Membuatnya terjatuh dan menggigit lehernya sampai lemas dan mati. Itu tidak dilakukannya. Untuk sekadar membunuh dia cukup muncul dan menggeram. Melihatnya menyeringai, manusia nan terkejut dan melangkah mundur bakal terperosok dan melayang jatuh ke dasar lembah tanpa jeritan.

Ini juga tidak dilakukannya. Ia hanya merunduk dan mengintai. Ia tidak berkeinginan membunuh manusia, apalagi tidak satu makhluk pun, selain nan dibutuhkannya untuk menyambung kehidupan—dan saat ini dia tidak kelaparan lantaran sudah memangsa seekor kancil tadi siang. Kancil tolol itu seperti lupa aroma kencing pasangannya, bapak anaknya, nan pada setiap perspektif menandai wilayah mereka. Adalah wajar bagi mereka untuk memangsa makhluk apa pun nan memasuki wilayahnya. Dengan norma itulah, nasib sang kancil sudah ditentukan.

Sebetulnya sudah lama ibaratkan tiada makhluk apa pun bakal memasuki wilayah mereka itu. Tidak babi rusa, tidak kijang, tidak pula burung-burung dan serangga. Pasangannya mesti mencari mangsa ke luar wilayah, begitu jauhnya sampai keluar dari hutan.

”Kambing kita lama-lama bisa lenyap dimakan Simbah,” kata salah seorang.

Namun bukanlah ketakutan atas habisnya kambing, nan membikin orang-orang kampung masuk rimba mencarinya.

Pada suatu hari pasangannya muncul dari dalam rimba di tepi ladang. Langsung didekatinya sesuatu di atas tikar, sesuatu di kembali kain nan bergerak-gerak. Bagi makhluk besar nan lapar, makhluk mini bisa terlihat sebagai santapan.

Lantas terlihat olehnya bayi manusia itu. Menatapnya sembari tertawa-tawa. Hanya makhluk manusia nan bisa tertawa di bumi ini, dan itu membuatnya tertegun.

Saat itulah dari tengah ladang mendadak terdengar bunyi bersuara tinggi nan disebut manusia sebagai jeritan.

Malam tanpa rembulan semakin kelam. Hujan tidak menderas tetapi tidak juga mereda. Ia memperhatikan orang-orang itu menjauh. Mereka semua, dua belas orang bercaping maupun berpayung daun pisang membawa tombak dan parang serba tajam. Keriuhan mereka tidak bakal menghasilkan tangkapan apa pun lantaran tiada seorang jua dari mereka adalah pemburu.

Ia tahu bukan orang-orang itu nan menjadi penyebab kematian pasangannya, melainkan pemburu nan masuk sendirian ke dalam rimba tanpa bunyi meski tubuhnya penuh senjata. Tombak di tangan, parang dalam sarung di punggung, pisau belati di pinggang kanan, dan umban di pinggang kiri.

Pemburu itu apalagi tidak bergumam. Membaca jejak di tanah, melangkah melawan arah angin, makan seperlunya dan tidak memasak di dalam hutan. Jika mulutnya bergerak- mobilitas barangkali mendesiskan rapalan.

Tentu pemburu itu telah melacak jejak semalaman ketika dengan tiada terduga, tetapi penuh rencana, muncul di depan gua batu tempat dia sedang menyusui anaknya. Ia segera menggeram dan berdiri melindungi anak jantannya. Pasangannya apalagi melompat dan menerjang ke arah pemburu itu, tetapi makhluk nan disebut manusia rupanya tidak hanya bisa tertawa, tetapi pandai memainkan tipu daya.

Sangatlah mudah bagi pasangannya untuk menyusul pemburu itu ke tepi hutan, menyeberangi ladang, dan siap menerkamnya di tengah lapangan, tetapi tidak ada nan bisa dilakukannya selain menggeram-geram ketika rupanya muncul puluhan manusia mengepung sembari mengacung-acungkan tombak bambu ke arahnya. Pasangannya mencari celah, berputar-putar dalam kepungan nan semakin merapat, sampai nyaris semua tombak itu menembus kulit lorengnya.

”Akhirnya!”

Orang-orang berteriak lega atas nama keselamatan anak manusia, kambing, sapi, ataupun kerbau mereka, meski dalam kenyataannya kambing, sapi, dan kerbau di kampung itu lebih sering diambil, dibantai, dan dikuliti di kandangnya sendiri oleh para bapa maling berkemahiran tinggi. Kawanan bapa maling datang lewat tengah malam mengendarai mobil boks. Dengan mantra dalam campuran bahasa asing dan bahasa wilayah nan tidak pernah digunakan lagi, mereka menyirep seisi rumah nan di kampung itu jaraknya saling berjauhan. Pagi harinya hanya tinggal isi perut ternak berceceran dengan aroma amis darah di mana-mana.

Kambing nan diterkam penunggu rimba jumlahnya tidak seberapa dibanding pencurian ternak dengan mobil boks. Itu pun bisa terjadi lantaran kelalaian pemiliknya, jika tidak pintu kandang terbuka, sering diikat begitu saja di luar kandang, sehingga menjadi sasaran lembek makhluk pemangsa dari masa ke masa.

Komplikasi:

Bahwa bayi manusia seperti bakal menjadi mangsa itulah nan mengubah segalanya.

”Akhirnya terbunuh Si Embah ini!”

”Selesai sudah!”

”Belum …”

Pemburu itu tidak berteriak, tetapi pengaruhnya lebih besar dari segala teriakan.

”Belum? Kita baru saja merajamnya begitu rupa sampai kulitnya tidak bisa kita jual.”

”Masih ada betinanya….”

Semuanya ternganga.

”…dan tetap ada anaknya.”

Saat pasangannya itu tewas oleh puluhan bambu tajam, dia nan rupanya mengikuti dari belakang dapat menyaksikan dari kejauhan. Saat itu tidak ada satu pun di antara para manusia memandang ke arahnya. Tanpa bisa memberi bantuan, dia hanya melangkah mondar- mandir dengan gelisah.

Ia tetap berada di sana ketika menyaksikan sungguh orang-orang kampung itu tetap menguliti pasangannya, dan membawanya pergi dengan mempertahankan agar kepalanya tetap tersambung pada kulit loreng tubuhnya. Katanya bisa menjadi hiasan tembok instansi kelurahan.

”Kita kudu membunuh juga betinanya, dia pasti juga bakal mencari mangsa di kampung kita!”

”Anaknya juga kudu kita bunuh, jika tidak tentu setelah dewasa membalas dendam!”

Ia memang tidak memahami bahasa manusia, baginya itu hanya berfaedah suara-suara, tetapi nalurinya dapat merasakan ancaman.

Kini dalam kelam berhujan, dia mengawasi orang-orang nan memburu dirinya itu dari suatu jarak tertentu. Ia telah memindahkan anaknya ke goa lain nan sama hangatnya pada malam hari, dan lantaran itu dia tidak perlu cemas mereka bakal menemukannya. Pemburu itu mungkin bakal bisa, tetapi tidak malam ini, lantaran belum tahu bahwa goa nan ditemukannya sudah kosong.

”Betinanya baru saja beranak, dan anaknya tetap terhuyung-huyung jika berjalan….”

Pemburu itu memberi petunjuk ke mana orang-orang kampung bisa menyergap makhluk pemangsa nan terandaikan bisa membalas dendam.

”Anakku sakit panas,” katanya memberi alasan. Dalam hatinya dia sudah jenuh bekerja tanpa bayaran.

Demikianlah rombongan orang-orang bertombak nan bercaping ataupun berpayung daun pisang muncul di ujung jalan setapak di tepi lembah ketika dia berada dalam perjalanan memburu pemburu.

Ia merunduk di kembali semak, membiarkan mereka lewat, dan membuntutinya sejenak untuk memastikan arahnya. Ia tidak membunuh seorang pun.

Setibanya di kampung nan gelap dan sunyi di malam berhujan tanpa rembulan, sembari melangkah tanpa suara, terendus olehnya aroma pemburu nan tengik itu dibawa angin dari sebuah rumah terpencil. Sebuah rumah nan sengaja berjarak dan menjauhkan diri lantaran penghuninya nan selalu berikat kepala kusam merasa berbeda dari para petani bercaping.

”Orang-orang dungu,” pikirnya selalu.

Terdengar tangis bayi nan tak kunjung berhenti.

”Panasnya belum juga turun, coba ambilkan air nan lebih dingin dari sumur, handuk ini seperti baru tercelup air rebusan,” ujar wanita nan sedang menjaram anaknya itu.

Resolusi:

Kemudian pintu rumah kayu itu terbuka. Dari dalam membersit sinar lentera. Seorang laki-laki berikat kepala dengan aroma tubuh yang

tengik berlari mini ke arah sumur sembari membawa baskom.

Hujan belum berakhir ketika dia meluncurkan ember pada tali timba ke bawah dan mengereknya kembali ke atas secepat-cepatnya.

Dalam kesibukan seperti itu pun, kepekaannya sebagai pemburu tidak pernah berkurang. Ia melepaskan tali timba dan membalikkan badan secepatnya.

Namun, kali ini sudah terlambat.***

16. Cerpen berjudul Kuda Terbang Maria Pinto

Kuda Terbang Maria Pinto

Oleh: Linda Christanty

Orientasi:

Menjelang senja, Yosef Legiman memandang Maria Pinto mengarungi langit dengan kuda terbang. Angin tiba-tiba menggeliat bangkit dan mendesis. Udara menjelma mantra ganjil nan berdengung dalam bahasa sihir; wangi, membius segala nan bergerak dan keras kepala. Ia tertegun, menengadah, mendekap senjata laras panjang otomatis, dan terkenang pesan komandannya, “Biarkan dia lewat, jangan menembak.”

Gaun lembut Maria Pinto membelah amis perang dengan kibaran putih nan menyilaukan. Dua pengawal menemani perjalanan rutin ini, menjaga junjungan mereka dari atas kereta. Yosef membiarkan iring-iringan itu berlalu. Lutut-lututnya lemas. Ia terduduk di tanah.

Angin pun berangsur tenang. Alang-alang nan subur jangkung, semak-semak duri di tanah gersang, dan gunung batu terjal di kejauhan kembali memenuhi penglihatannya berbareng kenangan bakal gadis itu.

Kisah tentang Maria pertama kali didengar Yosef dari kawan nan lebih dulu dikirim ke pulau ini, “Makanya kita susah menang, lantaran para pemberontak itu punya pelindung. Perempuan lagi. Huh! Menyebalkan.”

Maria Pinto semula hanya gadis biasa, sempat kuliah di fakultas sastra sebuah universitas terkemuka di Jakarta dan memperkuat sampai semester tiga, sebelum kembali ke negeri jeruk dan kopi. Para penunggu negeri tersebut bergegas mati, hilang, bunuh diri, menjadi gila, alias masuk rimba berasosiasi dengan babi liar dan rusa. Malapetaka tengah melanda negeri leluhurnya, sehingga Maria dipanggil pulang oleh para pemimpin suku agar memenuhi takdirnya. Dukun-dukun suku menahbiskan Maria sebagai panglima dengan senjata sihir tua dan kuda terbang, lantaran dialah nan terpilih oleh bisikan gaib para leluhur. Sejak saat itu Maria Pinto menjadi pemimpin pasukan kabut nan berbahaya, mengepung musuh di tiap zona, menciutkan keberanian orang-orang nan bersandar pada hal-hal nyata; golongan nan mencampakkan dongeng dan mimpi.

Rangkaian Peristiwa:

“Ketika kabut datang, bergulung-gulung melewati medan pertempuran, personil kami satu demi satu mendadak gugur dengan luka tembak. Suatu hari kabut itu datang lagi, bergulung-gulung di atas kami dan saya menembaknya, tanpa henti. Ketika kabut lenyap, saya saksikan tujuh orang terkapar meninggal di tanah. Negeri itu memang ajaib,” kisah temannya, tersenyum pahit.

Kini Yosef terkurung dalam kereta nan melaju tengah malam dan kandas memejamkan mata. Rasa kantuknya telah lenyap, berganti rasa gusar. Kereta ini seperti melayang di tengah gelap. Noktah-noktah sinar dari perkampungan, seperti barisan kunang-kunang muncul di jendela. Namun, selebihnya gelap pekat. Di sebelahnya duduk wanita nan enak-enak menyimak novel Stephen King—begitulah nama nan tertera di sampul buku—dan sesekali tersenyum alias berseru kagum mendengar kisah-kisahnya.

“Tapi saya tidak pernah menembak Maria Pinto dan kuda terbangnya, tidak bakal …. Dia sangat sakti. Percuma saja,” ujar Yosef pelan, nyaris bergumam.

Perempuan muda itu terusik sebentar, lampau kembali menekuni halaman-halaman buku. Semula dia kurang berkeinginan mendengar ocehan prajurit cengeng ini. Alangkah ganjil menyaksikan penembak jitu mempercayai hal-hal nan jauh dari norma barang dan kasat mata. Namun dia terkesiap ketika menatap wajah si prajurit. Barangkali, inilah wajah orang nan hidup-mati dari perang.

Wajah laki-laki itu mirip boneka kain kanak-kanak nan terlalu disayang, meski sudah kumal dan koyak-moyak tak dibuang ke tong sampah; wajah penuh luka jahitan. Sepasang matanya sayu berdandan bekas-bekas sayatan dekat alis, nan menyerupai sulaman bordir asal jadi dan bermotif sulur di tangan pemula.

“Tadi pagi ibu saya menangis lagi. Ini kepulangan terakhir saya sebelum kembali bertugas. Ibu saya trauma. Kasihan sekali dia. Tapi ini sudah pilihan,” tutur Yosef, memandang lurus ke depan.

Enam bulan lampau adiknya meninggal disiksa para pemberontak. Jenazah sang adik kembali tanpa jantung, usus, dan kemaluan, terkunci rapat dalam peti meninggal kayu mahoni. Kini Yosef satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga.

“Petinya berselaput bendera besar, besar sekali!” Ada nada bangga bercampur haru.

Perempuan muda malah menggigil. Betapa sunyi mayit nan berongga!

“Kami dari family petani miskin. Kamu lezat bisa kuliah, punya duit untuk jalan-jalan. Kami makan saja susah. Menjadi prajurit membikin kami merasa terhormat. Orang-orang kampung menjadi segan.” Kali ini dia pandangi wajah kawan duduknya, nan telah kembali menekuri buku.

Ia merasa lega sudah membagi kisah-kisahnya nan terdengar lemah dan pengecut pada wanita ini. Seperti ungkapan menjijikkan dalam roman, dia merasa tenang di sisinya, di sisi orang asing nan berjumpa di perjalanan. Apakah ini pertanda dia tengah bersiap menyongsong maut, lampau membikin pengakuan dosa serta jadi banget perasa? Ah, bisikan maut sama sekali belum sampai sempurna.

Kereta terus menembus ke pedalaman, melintasi laut, ladang garam, rimba jati, kebun, sawah, dan perkampungan. Noktah-noktah sinar timbul-tenggelam di bagian jendela. Keniscayaan nan lain memendarkan nyeri lagi pada ulu hati.

“Saya betul-betul mencintai kekasih saya. Tapi sore ini saya betul-betul terpukul. Keluarganya tak merestui hubungan kami. Kakak-kakaknya menakut-nakuti bakal mencelakai saya jika kami nekad juga. Salah seorang pamannya sangat dekat dengan penguasa. Mungkin, penghasilan saya terlalu mini dan hidup seperti ini membikin keluarganya khawatir. Mungkin …,” tuturnya, lirih.

Ia meraih sepotong brownies dari kotak penganan, mengunyah pelan. Lorong kereta begitu sunyi. Orang-orang lelap dalam selimut flanel nan seragam, biru tua. Dengkur lembut terkadang merayap dari kursi-kursi nan berdekatan, menyerupai rangkaian olok-olok seorang kakek pada cucu tercinta.

“Ya, mungkin tugas saya kudu ditunda. Lagipula di tengah masalah begini, saya jadi tidak cekatan dan malas. Orang nan sedang bermasalah biasanya tidak diberangkatkan perang, bisa terbunuh secara konyol.”

Tiba-tiba angin berembus kencang di lorong itu. Ia berkawan dekat dengan angin, meresapi desirnya nan tajam alias membuai, membaca tanda-tanda nan terkirim.

“Coba, coba rasakan angin ini,” bisiknya, menyentuh pundak wanita muda.

“Ini bukan angin, tapi udara sejuk dari pendingin,” tukas wanita itu.

“Bila kita berada di posisi nan salah, aroma tubuh kita bakal tercium oleh musuh. Dengan mudah keberadaan kita diketahui.”

Komplikasi:

Ia mulai cemas. Ia selalu waspada. Hanya satu kali khilaf dan akibatnya, memalukan.

Suatu malam Yosef terpisah dari pasukannya sesudah kontak senjata dengan personil gerombolan. Ia melangkah sendiri menyusuri sungai di bawah kerlip bintang, mencari perkampungan terdekat.

Menjelang tengah malam, dia sudah mengendap-endap di belakang sebuah gubuk berdinding alang-alang, bergerak dengan moncong senapan terarah ke seluruh penjuru. Tak ada perkampungan, hanya gubuk terpencil di tepi hutan. Yosef berupaya mencuri percakapan nan barangkali terjalin antara penunggu gubuk. Kesenyapan dan kesabarannya saling beradu. Bunyi gesekan sayap-sayap jangkrik semakin nyaring.

Yosef memberanikan diri mendorong pintu gubuk itu dengan laras senapan, sembari bersiap menarik pelatuk jika ancaman datang. Gubuk itu gelap-gulita. Ia menyalakan pemantik. Pemandangan nan datang membikin jantungnya berderak.

Seorang gadis terbaring di lantai gubuk memeluk kuda kayu bersayap, mainan kanak-kanak. Ia mendekat, mengarahkan senapan ke wajah gadis nan terlelap. Butir-butir keringat dingin mulai mengembang pada pori-pori tubuhnya nan lelah. Nyala pemantik membikin Maria Pinto menggeliat, menatapnya lembut dan membisu. Sang panglima dan prajurit sekarang sama-sama sendirian, berhadap-hadapan. Maria Pinto bangkit perlahan, menggerakkan tangan ke udara… dan ribuan kunang-kunang berkumpul memberi sinar dalam gubuk, menari dan berpesta.

Maria Pinto melepaskan busana perinya nan putih. Tubuh bugil gadis itu semula menyerupai patung lilin para santa, lampau berangsur cerah dan transparan. Ia bisa memandang jantung, usus, paru-paru, dan tulang-tulang tengkorak gadis itu dengan jelas. Kepala mungil nan elok berubah membesar dengan sepasang bola mata nan menonjol keluar serta kulit wajah mengeriput. Sekilas dia terkenang movie tentang makhluk luar angkasa nan pernah ditontonnya di barak dulu.

Keesokan hari saat embun tetap melekat pada pelepah-pelepah ilalang dan rumput, dia sudah tersandar di muka pintu pos penjagaan setempat. Teman-temannya berlari mendekat, memandang heran. Ia malah buru-buru bangun untuk memeriksa tanah sekitar, tanpa berkata-kata. Teman-temannya bingung bercampur ngeri, mengira dia lenyap ingatan. Yosef telah raib berhari-hari.

Resolusi:

Tak ada jejak-jejak larsaku di tanah nan lunak, pikirnya. Mungkinkah sang panglima membawanya dengan kuda terbang kayu setelah memandang prajurit tolol pingsan di hadapannya? Mengapa Maria Pinto tak membunuhnya? Mengapa dia begitu tolol tak membidikkan senapan ke ubun-ubun gadis itu?

Ia mulai tertawa-tawa, makin lama makin keras. Kuda kayu, kuda kayu, kuda kayu, kuda kayu.… Yosef terus mengucap kata-kata itu seperti mantra. Perutnya nan kurus terguncang hebat, terasa terpilin-pilin oleh rasa kocak tak tertahankan. Dokter menyatakan dia terserang depresi berat, lampau mendesak komandan pasukan memulangkannya ke area tenang untuk rehat sementara waktu. Namun, mustahil meyakini ada area nan betul-betul tenang di wilayah perang. Ia segera dikirim pulang. Pemulihannya berjalan cepat, tapi dia dialihtugaskan ke bagian lain.

“Ini rahasia saya, hanya antara kita,” ujar Yosef, menyudahi kisahnya.

Perempuan muda menghela napas panjang. Kisah cinta segitiga nan rumit dan tragis, pikirnya, sedih. Prajurit ini terombang-ambing antara pacarnya dan panglima hantu. Dua-duanya sad ending.

Kereta sejenak lagi mengakhiri perjalanan. Udara makin sejuk. Orang-orang mulai sibuk merapikan rambut, blus, alias kemeja nan kusut, dan menggunakan lagi bahasa tutur mereka. Dua pelayan laki-laki mengumpulkan selimut-selimut penumpang dalam kantong hitam besar, terseok-seok di sepanjang lorong.

“Apakah mau menemani saya malam ini?” Yosef menatap wanita itu, lurus-lurus.

“Saya mau menyelesaikan novel ini.”

“Saya mau berjalan-jalan, menenangkan pikiran.”

“Semoga Anda bisa bersenang-senang.”

Mereka berpisah, kembali menjadi asing satu sama lain.

Suatu siang di bulan cerah. Yosef Legiman mendaki anak-anak tangga gedung pencakar langit di jantung kota, menenteng tas berisi senjata. Hampir sebulan ini dia mengintai seseorang. Ia berlindung di lantai paling atas, mengawasi sekeliling dengan teropong, kemudian membiarkan angin menerpa tubuhnya. Ia merasakan arah dan embusan angin, membiarkan sayap-sayap angin menyapu kulitnya, lampau menetapkan posisi membidik nan tepat. Kesalahan membaca angin bisa berakibat fatal. Musuh bisa menyusuri jejak-jejaknya dari aroma tubuh alias amis darah luka nan mengelana dalam partikel-partikel udara. Namun, hidup dan meninggal adalah bait-bait pantun nan berdekatan, sampiran dan isi nan saling terikat. Ia siap menghadapi keduanya.

Langit biru muda terlihat sepi. Yosef memasang peredam bunyi pada laras senjata. Matahari bercahaya lunak. Ia kembali mengintai sasarannya. Tirai sebuah jendela di lantai tujuh gedung seberang terbuka lebar. Seseorang terlihat mondar-mandir, berbincang pada dua teman. Ia memandang targetnya bergerak. Matanya sekarang terfokus pada titik sasaran. Ia membayangkan dirinya seekor elang. Perempuan itu sekarang berdiri membelakangi jendela. Ia pelan-pelan menarik picu senapan, menuju titik merah pada lingkaran, menyambar.

Kaca jendela pecah berkeping di gedung seberang. Seseorang jatuh tersungkur di lantai. Ia sudah melaksanakan tugas. Kini dinyalakannya telepon seluler dan melapor pada sang komandan.

Ketika pertama kali memandang potret wanita muda itu, Yosef sempat tercenung lama: pemimpin para teroris. Ia terkenang wanita nan dijumpainya di kereta sebulan lalu. Pastilah dia, pikir Yosef. Ya, bumi ini memang sadis pada serdadu. Ia telah membunuh wanita itu, melenyapkan nyawa orang nan menyimpan sebagian rahasia hidupnya.

Angin tiba-tiba bertiup kencang lewat jendela. Tubuhnya menggigil. Ia memandang Maria Pinto mengarungi langit dengan kuda terbang. Mengapa wanita itu selalu mengikutinya ke mana pun? Maria Pinto tersenyum, mengulurkan tangannya nan putih dan halus. Bagai tersihir, Yosef menyambut jemari gadis nan menunggu. Ia merasa terbang di antara awan, melayang, memandang sebuah bumi nan terus memudar di bawahnya. ***

Baca Juga: Cara Menganalisis Unsur Ekstrinsik Cerpen | Bahasa Indonesia Kelas 11

17. Cerpen berjudul Sesaat Sebelum Berangkat

Sesaat Sebelum Berangkat

Oleh: Puthut EA

Orientasi:

Aku menutup kembali pintu lemari pakaian. Isak tangis tertahan tetap terdengar dari luar kamar. Tanganku meraih daun pintu, menutup pintu bilik nan terbuka sejengkal. Suara tangisan tinggal lamat-lamat.

Aku melangkah pelan menuju jendela, membukanya, lampau duduk di atas kursi. Pagi ini, langit berwarna kelabu. Sejujurnya, sempat melintas pertanyaan di kepalaku, kenapa saya tidak menangis? Kemudian pikiranku mengembara, menyusuri tiap jengkal peristiwa nan terjadi tiga pekan lalu.

Rangkaian Peristiwa:

”Kamu belum pernah punya anak. Menikah pun belum. Kalaupun toh punya anak, Anda tidak bakal pernah punya pengalaman melahirkan. Kamu, laki-laki.”

Aku menatap wajah di depanku, wajah wanita nan sangat kukenal.

”Aku, ibunya. Aku nan mengandung dan melahirkannya. Kelak jika Anda punya anak, Anda bakal tahu gimana rasanya cemas nan sesungguhnya.”

Pelayan datang. Ia meletakkan dua buah poci, menuangkan poci berisi kopi di gelasku, beranjak kemudian menuangkan poci teh di gelas wanita di depanku. Pelayan itu lampau pergi setelah mempersilakan kami menikmati hidangannya.

”Apa nan dia lakukan selama seminggu berada di tempatmu?”

”Kami banyak jalan-jalan berdua, menonton film, ke toko buku, ke pantai. Kebetulan saya sedang tidak sibuk. Aku pikir, dia sedang liburan sekolah.”

”Sekolah tidak sedang libur, dan dia tidak pamit kepadaku.”

”Mana saya tahu?”

”Dan Anda tidak memberitahuku.”

”Aku pikir dia pergi dengan seizinmu.”

Komplikasi:

”Kamu bohong. Kamu tahu jika dia minggat dari rumah.”

Aku diam. Tidak mau memperpanjang urusan pada bagian ini. Aku datang tidak untuk berdebat. Tiga wanita masuk ke ruangan ini. Bau wangi menebar ke seluruh penjuru ruangan.

Perempuan di depanku mendesah. Tangannya meraih tas, mengeluarkan sebungkus rokok, menyulutnya.

”Ia kacau sekali…”

”Ia boleh kacau, tetapi tidak boleh minggat. Ia tetap duduk di bangku kelas satu SMA!”

Aku tertawa. ”Kamu tahu, saya minggat pertama kali dari rumah saat kelas satu SMP…”

”Itu kamu. Setiap family punya tata tertib nan tidak boleh dilanggar.”

”Minggat itu memang melanggar tata tertib keluarga. Dan itu pasti ada maksudnya. Tapi saya tidak mau bertengkar. Aku datang jauh-jauh ke sini, hanya untuk mengatakan sesuatu nan kupikir krusial menyangkut dia.”

”Apa?”

”Jangan terlalu memaksanya untuk melakukan hal-hal nan tidak disukainya.”

”Hey, Anda hanyalah pamannya. Aku, ibunya!”

”Aku tahu, dan saya tidak sedang mau merebut apa pun darimu.”

”Tapi Anda seperti sedang menceramahiku tentang gimana menjadi seorang ibu nan baik!”

Suaranya terdengar memekik. Orang-orang menoleh ke arah kami. Kami tak bersuara untuk beberapa saat. Sama-sama merasa kikuk menjadi perhatian beberapa orang.

”Jendra, anak nan manis. Tidak sepertimu…” desisnya kemudian.

Aku mulai merasa darahku naik.

”Ia penurut, dan tidak pernah menyusahkan orangtua. Tidak sepertimu.”

Darahku semakin terasa naik.

”Aku tahu persis lantaran saya ini ibunya, ibu kandungnya!”

Dengan bunyi menahan marah, saya bertanya, ”Lalu kenapa dia minggat dari rumah?”

Perempuan di depanku diam. Ia mematikan rokok di asbak dengan langkah nan agak kasar. Aku gantian menyulut rokok.

”Risa, saya bakal membuka sedikit rahasia nan kusimpan selama ini. Hanya sekali saja saya bakal menceritakan ini untukmu… Aku selalu bermimpi buruk, sampai sekarang. Dan mimpi jelek nan paling sering kualami, saya tidak lulus sekolah. Kadang saya bermimpi tidak lulus SMP, SMA dan tidak lulus kuliah.”

Ia tertawa. ”Wajar jika Anda mimpi seperti itu, Anda kan agak tolol dalam perihal sekolah…”

”Bukan itu poinnya!” suaraku, mungkin terdengar marah. Risa seketika menghentikan tawanya.

”Aku tidak suka sekolah, dan saya kudu menjalani itu semua. Memakan nyaris sebagian besar waktu nan kumiliki… Aku tetap bisa merasakan sampai sekarang, gedung-gedung kaku itu, lonceng masuk, upacara bendera, tugas-tugas, seragam, bunyi tak tok tak tok sepatu para guru…”

”Kamu memintaku agar Jendra tidak sekolah?”

”Dengarkan dulu… Dan apa gunanya itu semua bagiku sekarang ini? Tidak ada. Ini kehidupan nan gila, saya tersiksa berbelas tahun melakoni sesuatu nan menyiksaku, nan kelak kemudian tidak berguna.”

”Bagimu. Bagiku, sekolahku berguna. Juga bagi Jendra.”

”Tapi Anda bukan aku.”

”Kamu juga bukan Jendra. Ingat itu!”

”Aku hanya sedang menceritakan diriku!”

”Kupikir Anda datang jauh-jauh untuk menceritakan soal Jendra nan minggat dari rumah dan tinggal di tempatmu! Bukan untuk menceritakan sesuatu tentang dirimu nan jelas saya tahu…”

”Itulah kesalahanmu sejak dulu, merasa tahu persoalan orang!” Aku menatap kakak perempuanku. Mungkin sudah ratusan kali, sejak saya mini untuk menempeleng wajahnya. Tapi belum pernah kesampaian.

”Tahukah kamu, jika sejak mini Anda selalu menyusahkan orangtua kita?”

Aku menarik napas panjang. Aku memandang cangkir kopi di depanku, dan mau sekali melemparkan barang itu di mulut pedasnya.

”Dan tahukah Anda jika sifat itu bisa menular?”

Kali ini, kupikir Risa sudah keterlaluan. ”Kamu pikir saya menularkan sifat burukku kepada Jendra?”

”Aku tidak bilang seperti itu. Kamu nan mengatakannya sendiri. nan saya tahu, semenjak dia minggat dan tinggal di tempatmu, dia semakin berani kepadaku, semakin sering bolos sekolah dan tidak mau lagi mengikuti beragam kursus!”

”Jadi Anda menuduhku sebagai biangnya!”

Risa hanya mengangkat bahunya. Dan tersenyum sinis. Aku betul-betul nyaris kehilangan kontrol. Untuk meredakan semua nan kurasakan, saya menuang kopi, menyeruput, dan menyulut lagi sebatang rokok.

”Jadi menurutmu, kenapa dia bisa minggat?”

”Mungkin dia ada masalah… Itu biasa saja. Kesalahannya nan paling fatal adalah… Ia minggat ke tempatmu!”

Begitu mendengar konklusi itu, saya merasa bahwa pertemuan ini bakal berhujung dengan buruk. Rasa marah sudah betul-betul menjalar di dadaku. Tetapi saya sadar, sebelum keadaan ini bertambah semakin buruk, saya mau mengatakan sesuatu nan kudu kukatakan berasosiasi dengan Jendra kepada Risa.

”Rif, Anda menikah saja belum.”

”Ris, tidak ada hubungannya perihal itu dengan obrolan kita hari ini!”

”Ada! Mengambil beban tanggung jawab nan sesederhana itu saja Anda tidak sanggup, dan Anda mau menceramahiku soal gimana mendidik anak…”

”Aku datang hanya untuk menyampaikan apa nan dikeluhkan Jendra kepada orang nan merasa bisa mendidiknya!”

”Apa nan dia katakan?”

”Dia mau pindah sekolah.”

”Itu sekolah paling favorit.”

”Favorit menurutmu, tetapi tidak menurutnya.”

”Dia tetap anak-anak… Dia belum tahu apa pentingnya ilmu.”

”Itu kesalahanmu…”

”Dia butuh jaringan untuk masa depannya, dan itu ada di sekolahnya!”

”Itu menurutmu…”

”Ya jelas menurutku, lantaran saya lebih banyak makan masam garam hidup ini. Dan punya tugas untuk memastikan dan menjamin masa depannya!”

”Ia mau kursus bahasa Perancis.”

”Boleh. Tetapi dia tidak boleh meninggalkan kursus bahasa Mandarin.”

”Dia mau kursus main drum.”

”Boleh! Tapi dia tidak boleh meninggalkan kursus belajar piano.”

”Kenapa dia tidak boleh memilih?”

”Karena dia belum bisa memilih.”

”Dia terlalu capek dengan itu semua…”

”Dia kudu belajar bekerja keras dari sejak kecil. Disiplin. Itu nan bakal menyelamatkannya dari persaingan di masa depan.”

”Kenapa Anda menyuruhnya memutuskan pacarnya?”

”Dia tetap kelas satu SMA!”

”Kamu dulu pacaran ketika tetap kelas tiga SMP.”

”Itu aku, bukan dia! Jendra itu, makan saja jika tidak disuruh, tidak makan!”

”Kamu merasa lebih baik dan lebih dahsyat dari Jendra, hah?”

”Aku, ibunya! Rif, sudahlah… Kalau Anda punya anak, Anda baru bisa merasakan apa makna anak bagi orangtua. Rif, saya hanya minta, jika dia datang lagi ke tempatmu, segera hubungi aku!”

”Ris, saya bawakan hasil penelitian seorang psikolog tentang tingkat stres para pelajar di kota ini…”

”Aku tidak butuh info itu.”

Kali ini, darahku betul-betul mendidih.

”Aku cemas kelak Anda bakal menyesal…” ucapku dengan nada mengancam.

”Kamu urus saja kehidupanmu. Jendra adalah urusan keluargaku.”

Pembicaraan terkunci. Dadaku bergolak. Kemarahanku sudah sampai pada pangkal leher. Aku hanya menekan-nekan dahi dengan tanganku. Aku mau mengatakan apa nan sempat dikatakan Jendra kepadaku. Tetapi jika mulutku terbuka, saya cemas gelegak itu bakal membeludak.

”Kamu langsung pulang alias menginap?”

Aku diam.

”Aku tetap ada urusan kantor.”

Aku memberi isyarat dengan kepalaku, dia boleh pergi.

Ia bangkit, lampau melangkah pergi.

”Risa…”

Ia menoleh. ”Sudahlah, Rif. Aku bisa mengurusnya.”

Ia kembali melangkah menuju pintu.

Aku bisa saja mengejarnya, dan mengatakan apa nan semestinya saya katakan. Tetapi saya sudah terlalu marah. Dan saya juga membayangkan apa nan bakal dikatakan Risa begitu mendengar apa nan semestinya kukatakan. Ia mungkin hanya bakal tertawa. Ia mungkin hanya bakal semakin membuatku marah.

Perasaanku kacau. Aku keluar, menyetop taksi, pergi menuju ke bandara.

Aku bangkit, berjalan, membuka pintu kamar. Kudapati, Mita tetap menangis si atas sofa. Ia memandang ke arahku. Aku berjalan, lampau duduk di sampingnya.

”Kenapa belum bersiap?” dalam isak, Mita bertanya.

Aku hanya diam. Mita memegang tanganku.

”Kita bisa ketinggalan pesawat…”

Aku hanya bisa menarik-narik rambutku ke arah belakang. ”Kupikir Anda saja nan berangkat.”

”Kenapa bisa begitu?”

Aku menatap wajah pacarku. ”Aku tidak sanggup datang.”

”Kamu tidak boleh begitu. Apa nan kudu kukatakan kepada keluargamu?”

”Mereka tahu sifatku, jadi tidak usah khawatir.”

”Kamu yakin?”

Aku menganggukkan kepala.

Mita bangkit dari sofa, perlahan menuju kamarku, merapikan diri. Sesaat kemudian dia keluar, meraih tasnya.

”Aku berangkat ya…”

Aku mengangguk.

”Rif… Kenapa Jendra bisa melakukan ini semua?”

Aku diam. Lalu menggelengkan kepalaku. ”Sudahlah, kelak Anda terlambat datang ke pemakamannya.”

Mita melangkah pergi keluar.

Resolusi

Beberapa saat kemudian, saya membuka laptop di atas meja. Membuka berkas foto nan tersimpan di sana. Melihat kembali gambar-gambar Jendra terakhir di pantai bersamaku, sebelum keesokan harinya dia pulang kembali ke rumah orangtuanya.

Di malam sebelum pergi, sepulang dari pantai, dia sempat mengatakan apa nan mau dilakukannya. Omongan nan semestinya kusampaikan kepada Risa. Tetapi saya terlalu marah, dan takut semakin marah membayangkan apa nan bakal dikatakan Risa begitu mendengar omonganku.

Kini, saya tidak berani membayangkan gimana jika nan terjadi sebaliknya, begitu saya sampaikan apa nan sempat terlontar dari mulut Jendra kepadaku. Bagaimana jika kemudian Risa peduli pada omongan itu dan mengubah sikapnya kepada Jendra?

Kini, saya menangis keras-keras di dalam kamar. Sendirian.***

18. Cerpen berjudul Robohnya Surau Kami

Robohnya Surau Kami

Oleh: A.A. Navis

Orientasi:

Kalau beberapa tahun nan lampau Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan bakal berakhir di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar bakal sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang mini ke kanan, simpang nan kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan kelak bakal Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, nan airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.

Dan di pelataran kiri surau itu bakal Tuan temui seorang tua nan biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun dia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.

Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari infak nan dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan dia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin dia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena dia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang dia tak pernah minta hadiah apa-apa. Orang-orang wanita nan minta tolong mengasahkan pisau alias gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki nan minta tolong, memberinya hadiah rokok, kadang-kadang uang. Tapi nan paling sering diterimanya adalah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa nan disukai mereka. Perempuan nan kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan tembok alias lantai di malam hari.

Jika Tuan datang sekarang, hanya bakal menjumpai gambaran nan mengesankan suatu kesucian nan bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian sigap berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat wanita mencopoti pekayuannya. Dan nan terutama adalah sifat masa tolol manusia sekarang, nan tak hendak memelihara apa nan tidak dijaga lagi.

Dan biang keladi dari kerobohan ini adalah sebuah dongengan nan tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.

Rangkaian Peristiwa:

Sekali hari saya datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek ceria menerimaku, lantaran saya suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di perspektif betul dia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu nan yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu nan berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berceceran di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah saya memandang Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian saya duduk di sampingnya dan saya jamah pisau itu. Dan saya tanya Kakek, “Pisau siapa, Kek?”

“Ajo Sidi.”

“Ajo Sidi?”

Kakek tak menyahut. Maka saya ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama saya tak ketemu dia. Dan saya mau ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya nan aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi lantaran dia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya adalah lantaran semua pelaku-pelaku nan diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku nan cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali dia menceritakan gimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang nan ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya ketua tersebut kami sebut ketua katak.

Tiba-tiba saya ingat lagi pada Kakek dan kehadiran Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membikin igauan tentang Kakek? Dan igauan itukah nan mendurjakan Kakek? Aku mau tahu. Lalu saya tanya Kakek lagi. “Apa ceritanya, Kek?”

“Siapa?”

“Ajo Sidi.”

“Kurang ajar dia,” Kakek menjawab.

“Kenapa?”

“Mudah-mudahan pisau cukur ini, nan kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.”

“Kakek marah?”

“Marah? Ya, jika saya tetap muda, tapi saya sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama saya tak marah-marah lagi. Takut saya jika imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama saya melakukan baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama saya menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan bakal mengasihi orang nan sabar dan tawakal.”

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi nan memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, “Bagaimana katanya, Kek?”

Tapi Kakek tak bersuara saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena saya telah berkali-kali bertanya, lampau dia nan bertanya padaku, “Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau mini saya sudah di sini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa nan kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?”

Tapi saya tak perlu menjawabnya lagi. Sebab saya tahu, jika Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan tak bersuara lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.

“Sedari muda saya di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya family seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak mau cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah saya menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan saya membunuhnya. Tapi sekarang saya dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan jika itu nan kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya saya jika selama hidupku saya mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, lantaran saya percaya Tuhan itu ada dan Pengasih dan Penyayang kepada umat-Nya nan tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul gendang membangunkan manusia dari tidurnya, agar bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku jika saya menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku jika saya terkejut. Masya Allah kataku jika saya kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi sekarang saya dikatakan manusia terkutuk.”

Ketika Kakek terdiam agak lama, saya menyelakan tanyaku, “Ia katakan Kakek begitu, Kek?”

“Ia tak mengatakan saya terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”

Dan saya memandang mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku saya mengumpati Ajo Sidi nan begitu memukuli hati Kakek. Dan mau tahuku menjadikan saya nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.

Komplikasi:

Pada suatu waktu, kata Ajo Sidi memulai, di alambaka Tuhan Allah memeriksa orang-orang nan sudah berpulang. Para malaikat bekerja di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang nan diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang nan diperiksa itu ada seorang nan di bumi dinamai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, lantaran dia sudah begitu percaya bakal dimasukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sembari membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang- orang nan masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika dia memandang orang nan masuk ke surga, dia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habis-habisnya orang nan berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah nan di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.

Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga dia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengusulkan pertanyaan pertama.

‘Engkau?’

‘Aku Saleh. Tapi lantaran saya sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’

‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’

‘Ya, Tuhanku.’

‘Apa kerjamu di dunia?’

‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’

‘Lain?’

‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa saya menyebut-nyebut nama-Mu.’

‘Lain?’

‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika saya sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan saya selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’

‘Lain?’

Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala nan dia kerjakan. Tapi dia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi nan belum dikatakannya. Tapi menurut pendapatnya, dia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa nan kudu dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan dia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.

‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.

‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, O, Tuhan nan Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh nan sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa melakukan lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.

Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’

O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’

‘Lain?’

‘Sudah kuceritakan semuanya, O, Tuhanku. Tapi jika ada nan lupa saya katakan, saya pun berterima kasih lantaran Engkaulah Mahatahu.’

‘Sungguh tidak ada lagi nan kaukerjakan di bumi selain nan kauceritakan tadi?’

‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’

‘Masuk kamu.’

Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa dia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti apa nan dikehendaki Tuhan daripadanya dan dia percaya Tuhan tidak silap.

Alangkah tercengang Haji Saleh, lantaran di neraka itu banyak teman-temannya di bumi terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan dia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, lantaran semua orang nan dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang nan telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.

‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya alim beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi sekarang kita dimasukkan-Nya ke neraka.’

‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang di antaranya.

‘Ini sungguh tidak adil.’

‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.

‘Kalau begitu, kita kudu minta kesaksian atas kesalahan kita.’

‘Kita kudu mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’

‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan nan lain membenarkan Haji Saleh.

‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu bunyi melengking di dalam golongan orang banyak itu.

‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.

‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya bunyi nan lain, nan rupanya di bumi menjadi pemimpin aktivitas revolusioner.

‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang krusial sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’

‘Cocok sekali. Di bumi dulu dengan demonstrasi saja, banyak nan kita peroleh,’ sebuah bunyi menyela.

‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka berteriak-teriak beramai-ramai.

Resolusi:

Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.

Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’

Haji Saleh nan menjadi pemimpin dan ahli bicara tampil ke depan. Dan dengan bunyi nan menggeletar dan berirama rendah, dia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami nan Mahabesar. Kami nan menghadap-Mu ini adalah umat-Mu nan paling alim beribadat, nan paling alim menyembah-Mu. Kamilah orang-orang nan selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku nan Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal nan tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang nan cinta pada-Mu, kami menuntut agar balasan nan Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana nan Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’

‘Kalian di bumi tinggal di mana?’ tanya Tuhan.

‘Kami ini adalah umat-Mu nan tinggal di Indonesia, Tuhanku.’

‘O, di negeri nan tanahnya subur itu?’

‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’

‘Tanahnya nan mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan beragam bahan tambang lainnya, bukan?’

‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan balasan kepada mereka itu.

‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?’

‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’

‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’

‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’

‘Negeri nan lama diperbudak negeri lain?’

‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat kolonialis itu, Tuhanku.’

‘Dan hasil tanahmu, mereka nan mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’

‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’

‘Di negeri nan selalu kacau itu, hingga Anda dengan Anda selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga nan mengambilnya, bukan?’

‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal kekayaan barang itu kami tak mau tahu. nan krusial bagi kami adalah menyembah dan memuji Engkau.’

‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’

‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’

‘Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’

‘Sungguh pun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pandai mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’

‘Tapi seperti Anda juga, apa nan disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?’

‘Ada, Tuhanku.’

‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang kekayaan bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berantem antara Anda sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri nan kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, lantaran beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang saya menyuruh engkau semuanya beramal jika engkau miskin. Engkau kira saya ini suka pujian, mabuk disembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!’

Semua menjadi pucat pasi tak berani berbicara apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan nan diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh mau juga kepastian apakah nan bakal dikerjakannya di bumi itu salah alias benar. Tapi dia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat nan menggiring mereka itu.

‘Salahkah menurut pendapatmu, jika kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.

‘Tidak. Kesalahan engkau, lantaran engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, lantaran itu kau alim sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu nan terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di bumi berkaum, berkerabat semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’

Demikianlah cerita Ajo Sidi nan kudengar dari Kakek. Cerita nan memurungkan Kakek.

Dan besoknya, ketika saya mau turun rumah pagi-pagi, istriku berbicara apa saya tak pergi menjenguk.

“Siapa nan meninggal?” tanyaku kaget.

“Kakek.”

“Kakek?”

“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan meninggal di suraunya dalam keadaan nan mengerikan sekali. Ia menggorok lehernya dengan pisau cukur.”

“Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku nan tercengang-cengang.

Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi saya berjumpa dengan istrinya saja. Lalu saya tanya dia.

“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.

“Tidak dia tahu Kakek meninggal?”

“Sudah. Dan dia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”

“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan logika sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi nan tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia?”

“Kerja.”

“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.

“Ya, dia pergi kerja.” ***

19. Cerpen berjudul Ripin

Ripin

Oleh: Ugoran Prasad

Ripin

Orientasi:

KETIKA kawan-kawannya berceceran ke jalan raya, Ripin sedang susah payah menghitung jumlah kelereng nan dimenangkannya. Siang itu tidak sedikit pun terlintas dalam pikirannya bahwa masa kecilnya bakal segera berakhir. Dua puluh dua, mungkin lebih. Ia cepat-cepat memasukkan kelereng-kelereng itu ke dalam saku celananya dan bergegas menyusul kawanannya.

Penarik perhatian kawanan itu tak lain adalah mobil pick up berpengeras bunyi dan digantungi poster besar berwarna-warni. Mesin mobil itu bergerung seperti tak mau kalah ribut dengan pengeras suara, membikin lagu Rhoma Irama terdengar lebih jelek dari nan biasanya Ripin dengar dari radio Bapak. Ketika mobil itu melintas di depan mereka, Ripin dikejutkan tatapan laki-laki di sebelah pengemudi nan sedang memegang mikrofon. Laki-laki itu punya cambang dan janggut nan rapi seperti Rhoma Irama. Rambut keritingnya pun seperti Rhoma Irama. Ripin sempat terkenang bapaknya Dikin nan juga punya cambang, janggut, dan rambut seperti Rhoma Irama, tapi bapaknya Dikin sudah lama meninggal ditembak.

Rangkaian Peristiwa:

Entah siapa nan mulai, seluruh kawanan itu tiba-tiba saja sudah berteriak-teriak girang dan berlarian di belakang mobil. Berlari mengejar mobil nan lajunya tidak lebih sigap dari sapi, Darka, kawannya nan bertubuh paling besar, sukses melompat naik ke bagian belakang mobil dan bertolak pinggang jumawa. Begitu beberapa nan lain mencoba mengikuti Darka dan terjatuh, sorak-sorai kawanan itu terdengar semakin riuh.

Ripin berlarian agak jauh di belakang. Duapuluhan kelereng nan dimenangkannya dan belasan nan lain nan merupakan modalnya, membikin kantung celananya sesak, dan kejadian semacam ini bukannya tak pernah dia alami. Dulu, jahitan di celananya sobek dan kelerengnya berhamburan. Kawan-kawannya berebutan mengambil kelereng-kelereng itu dan tak seorang pun bersedia mengembalikannya. Kali ini dia kudu hati-hati.

Semula, Ripin berencana untuk mengikuti kemanapun kawanannya berlari, tapi pengumuman nan didengarnya dari pengeras bunyi itu membuatnya berhenti. Di antara bunyi musik ketipung dan mesin mobil, lamat-lamat didengarnya suara, seperti bunyi Rhoma Irama, sedang mengumumkan pasar malam, tong setan, dan rumah hantu. Nanti malam, di alun-alun. Ripin tercenung, lampau berbalik arah dan berlari pulang ke rumah.

Mak sedang duduk meniup tungku ketika Ripin menerobos masuk ke dapur sembari terengah-engah. Tak bisa ditangkapnya dengan jelas apa nan dikatakan mulut mini anaknya. Ripin sibuk berceloteh sembari memasukkan kelereng-kelerengnya ke dalam sebuah kaleng jejak susu. Suaranya bertumpuk-tumpuk dengan bunyi kelereng nan satu per satu membentur tembok dalam kaleng. Hanya sepotong-sepotong dari kalimat Ripin nan bisa didengar Mak, tapi itu cukup. Tak ada pasar malam. Tak ada tong setan.

Ripin merajuk. Mengatakan separuh berteriak tentang kehadiran Rhoma Irama dan berambisi Mak terbujuk. Mak berpikir, gimana mungkin Rhoma Irama mau datang ke kota busuk ini. Rhoma Irama hanya mau datang ke Cirebon alias Semarang. Tegal mungkin saja, tapi tidak kota kami. Begitupun, nama ini membikin raut muka Mak sempat berubah cerah sebelum kemudian keningnya berkerut cemas.

Ripin tahu itu. Ripin tahu jika Mak diam-diam menangis setiap kali mendengar Rhoma menyanyi di radio. Ripin apalagi pernah memandang Mak mendekap dan menimang-nimang radio itu. Padahal Mak sudah berjanji tidak menangis. Sekeras apapun Bapak menghantam wajah Mak.

Ripin memandang resah ke wajah Mak dan berambisi sekali ini Mak tetap mau melakukan nekat. Harapan ini malah membikin Ripin merasa berdosa. Terakhir kali Mak nekat, pulang nonton layer tancap Satria Bergitar, Bapak menghajar Mak sampai awal hari. Kalau sudah begini Ripin hanya bisa nyumput dibawah selimut dan menahan mulutnya nan menangis agar tidak bersuara.

“Mak beli duwe duit,” kata Mak berbohong. Ripin tahu Mak menyimpan sedikit duit di kaleng biskuit tempat ramuan dapur. Cukup buat ongkos dan beli es lilin. Ripin marah lantaran Mak berbohong. Kemarahan membuatnya tidak lagi peduli pada ingatan atas bilur-bilur di wajah Mak. Mak, bohong itu dosa.

Sekali lagi Ripin menyebut nama Rhoma Irama, berjanji demi Allah bahwa dia sudah melihatnya. Ganteng benar.

“Ganteng kien karo bapane Dikin.”

Mak tercenung. Ripin mengeluarkan semua senjatanya. Dia tahu, Mak senang dengan bapaknya Dikin. Kalau bapaknya Dikin lewat depan rumah, Mak suka mengintip dari belakang pintu. Suatu kali apalagi dia pernah memandang bapaknya Dikin sembunyi-sembunyi keluar dari pintu dapur rumahnya dan semakin bergegas begitu bersitatap dengan Ripin. Hari itu Mak kasih duit jajan, Ripin malah tambah curiga. Tapi Ripin tidak pernah menceritakan kejadian ini kepada siapapun.

Raut wajah Mak mengeras. Mak pasti berpikir tentang Bapak. Mak takut. Ripin sempat berpikir untuk pergi sendiri ke pasar malam. Sepertinya itu tidak sulit. Semua orang pasti tahu dimana tempat pasar malam didirikan, dia tinggal tak perlu canggung bertanya. Sayangnya dia tetap takut. Nenek dulu pernah pesan agar Ripin tidak membantah Mak alias Bapak. Jangan main kemalaman. Hukuman untuk anak durhaka adalah kehilangan jalan ke rumahnya dan dikutuk untuk tersesat selamanya, begitu kata Nenek. Ripin bergidik dan semakin resah jika Mak menolak ajakannya.

Dulu Mak dan Ripin bisa bersenang-senang setiap malam, lantaran Bapak bisa dipastikan belum pulang sebelum Subuh. Bapak tidur sepanjang siang, dan kelayapan sepanjang malam. Memang Mak belum sempat mengajaknya ke kota, tapi setidaknya mereka tidak pernah lewat tontonan apapun nan ada di kampung mereka. Mak apalagi menemaninya nonton TVRI di kelurahan.

Itu dulu, waktu Bapak tetap jagoan nan paling hebat. Sekarang sudah ada jagoan nan lebih dahsyat dari Bapak. Kata orang-orang, jagoan ini seperti setan. Tidak ada nan tahu siapa orangnya, dimana rumahnya, seperti apa tampangnya. Bapaknya Dikin salah satu korbannya. Suatu pagi ditemukan mayatnya melayang-layang di kali, luka tembak dua kali, di dada dan di dahi. Jagoan-jagoan setempat banyak nan sudah duluan mati. Dari namanya, Ripin menduga jagoan ini pastilah orang Kresten.

Semenjak jagoan setan ini berkeliaran, Bapak sering pulang. Bahkan bisa berhari-hari tidak keluar rumah. Mak dan Ripin jadi tidak bisa lihat tontonan dan Bapak jadi lebih sering menghajar Mak. Semenjak itu pula Bapak memutuskan untuk mengajar Ripin mengaji. Bosan menghajar Mak, diajar Bapak mengaji buat Ripin sama dengan bersiap-siap di libas rotan.

Baru seminggu terakhir ini, Bapak rupanya sudah tidak tahan berdiam di rumah berlama-lama. Ia mulai sering keluar malam, tapi jadwalnya semakin susah dipastikan. Tidak ada nan tahu untuk berapa lama dia pergi dan kapan dia pulang.

Sampai sore, Mak terlihat gelisah, mondar-mandir di dapur. Ripin tahu jika Mak resah artinya Mak sudah tidak tahan untuk dolan dan bersenang-senang. Mak sudah jenuh dengar radio. Kalau sudah begini, Ripin tidak bakal mendesak Mak lagi. Keputusannya sudah nyaris bisa dipastikan, Ripin tinggal menunggu Mak menemukan jalan keluar. Sampai sore pula, Ripin ketiduran di bangku depan. Mimpi naik komidi putar.

Bapak masuk dan menendang bangku nan diduduki Ripin. Ripin terkejut, terjaga dan mendapati tangan kekar Bapak memuntir daun telinga kanannya. Dengan kasar, Bapak menyeretnya ke arah sumur, dan perintah Bapak kemudian tidak perlu dikatakan lagi. Ripin mengambil air wudhu dan bergegas shalat ashar.

Sehabis shalat, Bapak sudah menunggu di meja makan. Rotan panjang disiapkan di sisi kirinya dan Ripin mengeja huruf Arab di depannya dengan terbata-bata. Bapak sepertinya mabuk. Dari mulutnya keluar aroma masam nan menusuk-nusuk hidung Ripin. Kalau mabuk, biasanya pukulan rotannya lebih keras. Belum dipukul Ripin sudah merasa tubuhnya nyeri.

Baru 10 ayat, Ripin memandang Bapak sudah menempelkan kepalanya ke meja. Di ayat ke-12, Ripin ragu-ragu bahwa nan didengarnya adalah dengkur lembut Bapak. Di ayat ke-16 Ripin berhenti, Bapak sudah betul-betul tertidur. Dengkurnya keras sekali.

Ripin tak bisa memutuskan apakah sebaiknya dia pergi. Ripin tak bisa membayangkan kemarahan macam apa nan bakal menimpanya jika Bapak tiba-tiba terjaga dan dia tak ada dihadapan Bapak. Pasrah, dia duduk dihadapan Bapak, dalam diam. Ia pikir, meneruskan mengaji pastilah percuma. Lebih baik diam. Sial, tiba-tiba Ripin kepingin kencing. Mak tetap mondar-mandir di dapur. Ripin duduk tegang dan nan terlintas di kepalanya adalah wahana rumah hantu di pasar malam.

Menjelang maghrib barulah Bapak terjaga. Ripin tetap duduk diam, menahan kencingnya, di depan Bapak. Keadaan menahan kencing membikin Ripin tidak terlalu siaga. Terjaga dan mendapati Ripin sedang mematung, membikin rotan di sisi kiri Bapak melayang ke arah tangan kanannya dengan keras. Ripin tersentak dan langsung memasang wajah pucat, tidak sepenuhnya lantaran emosi sakit ditangannya. Ripin kencing.

Bapak mendengar bunyi gemericik itu dengan tatapan terpana. Ia memandang ke bawah meja lampau berdiri tegak menyambarkan rotan di tangannya ke wajah Ripin, sembari dari mulutnya tersembur sumpah serapah. Ripin menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan Bapak terus memukulinya. Ripin tak bisa menahan diri untuk tidak menangis dan menjerit kesakitan. Dalam kesakitannya dia merasa menonton Tong Setan jadi semakin tidak mungkin, sehingga dia menjerit lebih keras lagi. Mak bergegas datang dari arah dapur, memegangi tangan Bapak dan memohon padanya untuk menghentikan perbuatannya.

Bapak memang berakhir memukuli Ripin, tapi gairah memukulnya sudah terlanjur tinggi. Bapak menyabetkan rotannya beberapa kali ke tubuh Mak. Mak terduduk di lantai, dan bergerak mundur hingga punggungnya menyentuh dinding, dan Bapak belum selesai. Mak tidak menjerit alias menangis. Mak diam. Tubuhnya seperti patung. Ripin berpikir bahwa kejadiannya bakal sama dengan nan sebelum-sebelumnya. Mak bakal menutupi wajahnya, dan Bapak bakal berakhir lantaran kelelahan.

Sore itu, rupanya tidak sama. Ripin tidak mengerti apa nan terjadi. Setelah beberapa lama sabetan rotan itu mengenai tubuhnya, Mak tiba-tiba mendongak, lampau menatap Bapak lekat-lekat. Ripin tahu apa artinya tatapan itu. Tatapan itu pernah dia tujukan pada Darka, sesaat sebelum perkelahian mereka dulu. Sebelumnya Ripin takut pada Darka, tapi saat dia menatap tajam-tajam itu, dia sudah tidak bakal takut lagi. Mak sudah tidak takut lagi.

Hampir bersamaan, terdengar azan maghrib dari surau. Entah mana, azan maghrib alias tatapan Mak nan menghentikan Bapak. Bapak menoleh ke arah Ripin dan menakut-nakuti bakal memukul Ripin lagi jika saat shalat kelak Ripin tak ada di surau. Bapak mengambil sarungnya dan berlalu membanting pintu.

Ripin tiba-tiba memandang Mak mempunyai kekuatan nan luar biasa. Bangkit dengan sigap, lampau bertanya padanya, “Sira arep melu Mak apa Bapak?” Ripin menyebut, “Mak,” dengan gemetar. Mak masuk ke kamar, lampau tergesa-gesa memasukkan pakaian-pakaiannya dan Ripin ke dalam tas. Di depan lemari Mak sempat berakhir dan berpikir apa lagi nan perlu dibawanya. Tak jelas argumen Mak memasukkan kotak berisi perhiasan imitasi nan tidak ada harganya ke dalam tas itu.

Sebentar kemudian Mak sudah menggandeng tangan Ripin menyusuri jalan nan semakin gelap ke arah kota. Mak melangkah dengan langkah-langkah sigap dan lebar, dan Ripin kepayahan mengimbanginya. Tidak ada sepatah katapun diucapkan Mak dan Ripin melangkah dengan penuh emosi takut. Jalan raya sudah dekat, kurang dari seratus meter. Tiba-tiba Mak berhenti. Terlihat berpikir keras, lampau berbalik arah. Setengah bergemam Mak bilang bahwa dia lupa bawa uang. Tergesa-gesa, Mak menyuruh Ripin menunggu. Tidak menunggu jawaban, Mak berlari ke arah rumah, meninggalkan Ripin sendirian.

Komplikasi:

Mulanya Ripin berdiri di jalan kampung nan lengang itu dan bermaksud menuruti Mak, namun kemudian kekhawatiran bergumul dan meningkat cepat. Ripin memutuskan berlari sekencang-kencangnya ke arah rumah. Tas besar nan dibawa Mak ditinggalkannya tergolek di atas jalan.

Terengah-engah, di depan rumahnya, dia mendapati pintu depan terbuka dan di dalam ruang tengah, dia dapat memandang Bapak sedang menjambak rambut Mak dan sedang menghantamkan kepala Mak nan mini itu ke arah dinding.

Pintu masuk Tong Setan sudah dibuka. Orang-orang berebut membeli karcis. Ripin melangkah masuk dengan emosi takjub. Orang-orang berebut menaiki tangga nan berdiri di samping tong nan sangat besar, dan Sam terdorong-dorong. Di bagian atas, Sam meniru beberapa anak nan menaiki undakan nan rupanya disediakan untuk anak-anak seukurannya. Orang-orang berebut melongok ke dalam tong.

Tong itu, Ripin terkenang sumur di belakang rumahnya. Di dalam tong itu dua orang sudah mulai menjalankan trail. Lalu perlahan, seperti sihir, kedua motor itu mulai merambat di tembok tong dan semakin lama berputar semakin cepat. Ripin terkesima dengan apa nan dilihatnya sekaligus menyesal. Seandainya Mak bisa ikut. Ripin terus memandang ke arah kedua motor nan kemudian saling melompat-lompat satu sama lain. Ripin semakin terkesima begitu kedua motor itu menyusuri tembok tong sampai nyaris sampai di ujungnya, begitu dekat dengan tempatnya berdiri. Tangan kecilnya bisa meraih motor-motor itu.

Tong Setan berakhir. Ripin mau memperkuat sejenak di sana, untuk menyaksikan lebih banyak lagi, tapi petugas tiket menemukannya dan mengusirnya pergi. Di luar, sebenarnya ada banyak nan belum disaksikan Ripin. Dia belum naik Komidi Putar, belum masuk Rumah Hantu, tapi tak ada duit sepeserpun tersisa dikantungnya. Kaleng tempat Mak menyimpan duit sudah dibuangnya dari tadi. Kaleng nan sekarang di genggamnya hanya berisi kelereng. Tidak ada nan mau menukar karcis masuk dengan kelereng.

Di luar, kompleks pasar malam begitu ramai. Kemanapun Ripin melangkah dia hanya memandang kegembiraan. Mak tentu bakal senang, jika bisa ada di sini. Begitu dia ingat Mak, dia ingat Rhoma Irama nan mengumumkan pasar malam dengan mobil siang tadi.

Ripin mengikuti firasatnya untuk mencari arah sumber pengeras suara. Benar. Di depan sebuah meja berisi beragam jenis jenggot dan cambang palsu, si Rhoma Irama berdiri, tetap dengan mikrofon dan suaranya nan merdu. Ia memakai busana nan gemerlap, persis nan pernah dilihatnya di sebuah poster Rhoma Irama. Ripin mendekat untuk memastikan sekali lagi. Jika betul ini Rhoma Irama, dia bakal bisa menceritakannya pada Mak, biar Mak ikut senang. Harusnya dia berupaya lebih keras membangunkan Mak, tapi Ripin tidak tega. Tidur Mak pulas sekali.

Ripin sudah begitu dekat, dirinya dan laki-laki berpakaian gemerlap itu hanya dipisahkan meja, tapi laki-laki tidak sedikitpun memicingkan mata pada Ripin. Ripin mencoba menarik perhatian laki-laki itu, tapi rupanya dia sedang sibuk dengan beragam pengumumannya. Iseng, Ripin mengambil satu ikat cambang dan jenggot tiruan lampau menyelipkannya ke dalam kantong celananya. Laki-laki berpakaian gemerlap itu tidak menggubrisnya.

Ripin memutuskan untuk berseru padanya. “Hey, Rhoma Irama!” teriaknya lantang. Orang-orang di sekitarnya menoleh dan tertawa tercekikik. Laki-laki berpakaian gemerlap itu terkejut, lampau menoleh ke arahnya. Sadar bahwa teriakan bocah ini telah membikin lebih banyak orang memperhatikannya, laki-laki, dengan mikrofon di depan mulutnya, berkata. “Bukan. Bukan Rhoma.” Laki-laki lampau mengubah posisi berdirinya, seperti sedang berjoget. “Namaku Ruslan. Ruslan Irama,” katanya dengan bunyi nan berat dan basah. Orang-orang tertawa.

Ripin menatapnya dengan pandangan kecewa. “Hey, Bocah,” tegur Ruslan Irama. Ripin mendongak, kandas menutupi matanya nan mulai berkaca-kaca.

“Siapa namamu?”

Ripin menyebut namanya dengan gemetar dan malu.

“Ah, bagus sekali. Ripin. Ripin dari Arifin.”

Lalu Ruslan Irama tiba-tiba bersuara lantang. “Semua orang bisa menjadi seperti bang haji Rhoma Irama. Siapapun juga. Pengunjung pasar malam nan kami hormati, sambut calon artis besar kita, Arifin Irama,” kata Ruslan Irama. Orang-orang nan berkumpul di sekitar meja Ruslan Irama bertepuk tangan ke arah Ripin. Lalu Ruslan Irama mengambil gitarnya. “Mulanya adalah akhlak. Lalu musik.” Lalu Ruslan Irama memetik gitarnya. Belum pernah Ripin memandang gitar nan begitu indah. Berwarna hitam mengkilat, dengan motif dengan warna emas. Suaranya nyaring dan halus.

Gitar nan bagus itu tetap terkenang-kenang ketika pasar malam bercempera dan lampu-lampu mulai dimatikan. Persis di depan jalan masuk pasar malam, barulah Ripin sadar dia tak tahu kemana pulang. Neneknya benar. Rumahnya hilang.

Kebingungan, Ripin malah kembali melangkah masuk ke dalam komplek pasar malam. Langkah kakinya membawanya ke dekat meja Ruslan Irama. Ia terkejut memandang tidak ada siapapun di sekitar meja itu. Hanya ada sebuah gitar hitam mengkilat, tidak ada Ruslan Irama. Dengan hati-hati dia menyentuh gitar itu, lampau mengangkatnya. Ia semakin terkejut memandang sungguh gitar itu begitu ringan.

Resolusi:

Beberapa puluh menit kemudian dia menyusuri trotoar nan entah menuju kemana. Ia menyandang gitar nan dicurinya dengan keberanian nan entah datang dari mana. Ia ingat Mak. Ia tersenyum. Satu-satunya nan tidak entah adalah bahwa Mak bakal selalu mencintai Rhoma Irama. Itulah nan bakal diraihnya. Ia bakal menjadi Rhoma Irama, bukan sekadar Ripin Irama. Setiap kali Mak bakal memeluk dan menimangnya.

Sampai puluhan tahun kemudian, satu realita gelap nan luput dimengertinya adalah bahwa malam itu, setelah kepala Mak menghantam dinding, Mak mati. Kenyataan lain nan tidak diketahuinya: beberapa hari setelah kematian Mak, mayit Bapak ditemukan melayang-layang di kali, dengan lubang di dada dan di dahi, di tembak jagoan seram berjulukan Petrus.

Ripin tidak pernah kembali. ***

Baca Juga: 10 Contoh Teks Tanggapan Singkat Beserta Strukturnya | Bahasa Indonesia Kelas 9

20. Cerpen berjudul Hari nan Sempurna untuk Kanguru

Hari nan Sempurna untuk Kanguru

Oleh: Haruki Murakami

Alih Bahasa oleh Habi Hidayat

Orientasi:

Ada empat ekor kangguru di kandang—satu jantan, dua betina, dan satu ekor lagi adalah bayi kangguru nan baru lahir.

Aku dan pacarku berdiri di depan kandang kangguru. Kebun hewan ini tidak terlalu terkenal di pagi hari Senin seperti ini, jumlah binatangnya melampaui jumlah pengunjung. Tidak ada nan menarik di kebun hewan ini.

Hal nan menarik kami mendatangi kebun hewan ini adalah seekor bayi kangguru. Maksudku, apa lagi coba nan bisa dilihat di kebun hewan ini?

Sebulan sebelumnya, di sebuah rubrik di sebuah surat kabar lokal, kami tak sengaja membaca sebuah pemberitahuan tentang lahirnya seekor bayi kangguru, dan sejak saat itulah kami sudah menunggu-nunggu sebuah pagi nan sempurna untuk mengunjungi bayi kangguru tersebut. Namun gimana pun juga, hari nan tepat tidak juga datang. Suatu pagi, turun hujan deras, dan kami cukup percaya hujan bakal turun lagi di hari-hari berikutnya, dan angin pun berembus-embus kencang untuk dua hari berturut-turut. Suatu pagi, pacarku mengeluh sakit gigi, dan di pagi nan lain saya punya urusan nan kudu saya selesaikan di pusat kota. Aku tidak hendak membikin pernyataan nan dibesar-besarkan di sini, namun saya berani untuk mengatakan bahwa:

Inilah kehidupan.

Jadi gimana pun juga satu bulan itu waktu nan singkat.

Selama sebulan sesuatu bisa berlalu apa adanya. Aku tidak pernah betul-betul mengingat sesuatu nan sudah kulakukan selama sebulan. Sewaktu-waktu, seolah-olah saya sudah melakukan banyak hal, namun sewaktu-waktu nan lain saya merasa tidak menyelesaikan satu perihal pun. Satu perihal nan membuatku sadar jika satu bulan telah berlalu adalah ketika laki-laki nan mengantarkan surat kabar harian datang ke rumah untuk menagih duit langganan.

Ya, itulah hidup.

Rangkaian Peristiwa:

Pada akhirnya, pagi nan kami tunggu-tunggu untuk memandang bayi kangguru datang juga. Kami bangun dari tidur pada pukul enam pagi, membuka gorden, dan percaya hari itu adalah hari nan sempurna untuk kangguru. Kami buru-buru membersihkan diri, sarapan, memberi makan kucing, buru-buru mencuci baju lampau mengenakan topi untuk menghalau sinar matahari, dan kami pun berangkat.

“Apa kau pikir bayi kangguru itu tetap hidup?” pacarku bertanya saat kami di kereta.

“Aku percaya dia tetap hidup. Tak ada satu buletin pun nan mengabarkan bahwa bayi kangguru itu mati. Jika saja dia mati, saya percaya kita sudah membacanya di koran.”

“Mungkin saja tidak mati, tapi bisa saja dia sakit dan dirawat di rumah sakit.”

“Ya, tapi jika pun itu terjadi, kita sudah membaca di koran.”

“Bagaimana jika kangguru itu ketakutan dan berlindung di perspektif kandang?”

“Apa bayi kangguru punya rasa takut?”

“Bukan bayinya. Tapi ibunya! Mungkin dia mengalami trauma dan menyudutkan diri berbareng bayinya di kandang nan gelap.”

Seorang wanita memang selalu memikirkan setiap kemungkinan nan bakal terjadi. Trauma? Trauma macam apa coba nan bisa menyerang seekor kangguru?

“Jika saya tak memandang bayi kangguru hari ini, saya pikir saya tidak bakal punya kesempatan untuk melihatnya lagi,” katanya.

“Kupikir juga begitu.”

“Maksudku, pernahkah kau memandang bayi kangguru?”

“Tidak, saya tak pernah melihatnya.”

“Apa kau percaya kau bakal punya kesempatan lain untuk memandang bayi kangguru?”

“Aku tak tahu.”

“Nah, lantaran itulah saya gelisah.”

“Ya, tapi dengar dulu,” kataku nyerocos balik. “Aku tak pernah memandang seekor jerapah melahirkan, alias apalagi memandang hiu nan berenang-renang. Jadi apa masalahnya dengan bayi kangguru?”

“Ya lantaran dia bayi kangguru,” katanya. “Karena itulah.”

Komplikasi:

Aku pun menyerah dan mulai membalik-balikkan laman koran. Aku tidak pernah satu kali pun menang argumen dengan seorang perempuan.

Bayi kangguru itu, sesuai perkiraan, tetap hidup dan sehat, dia (entah jantan alias betina) terlihat tampak jauh lebih besar dibandingkan dengan gambarnya nan dimuat di koran, apalagi dia melompat-lompat di sekitar pagar kandang. Ia tak lagi seekor bayi kangguru, hanya kangguru mini. Pacarku pun kecewa.

“Ia bukan bayi lagi,” katanya.

“Tentu saja dia tetap bayi,” kataku mencoba menghiburnya.

Aku melingkarkan tanganku ke pinggangnya dan menggoyang-goyangkan tubuhnya pelan. Ia hanya menggelengkan kepala. Aku mau melakukan sesuatu untuk menghiburnya, tapi apa pun nan kukatakan tidak bakal mengubah realita bahwa si bayi kangguru rupanya sudah besar. Jadi saya hanya diam.

Aku bergegas menuju warung kudapan dan membeli dua cokelat es krim, dan ketika saya kembali dia tetap bersandar menghadap kandang kangguru, menatap bayi kangguru itu lekat-lekat.

“Ia bukan lagi seekor bayi kangguru.”

“Kau yakin?” kataku seraya memberinya es krim.

“Seekor bayi kangguru mesti berada di kantung induknya.”

Aku mengangguk dan menjilat es krimku.

“Tapi nan ini tidak lagi berada di kantung induknya.”

Kami berupaya mengenali induk kangguru. Sang ayah, mudah untuk dilihat, dia tampak paling besar dan begitu tenang di antara lainnya. Layaknya seorang komposer nan bakatnya telah memudar, dia hanya tak bersuara saja, menatapi dedaunan nan menjadi makanannya. Dua kangguru lainnya adalah betina, terlihat dari bentuk, warna, dan air muka mereka. Salah satunya mesti ibu si bayi kangguru.

“Satu di antara dua kangguru itu mesti ibu si bayi, dan satu lagi bukan,” kataku berkomentar.

“Um.”

“Jadi nan mana nan bukan ibunya?”

“Aku tak tahu,” katanya.

Kami tak sadar bahwa rupanya bayi kangguru itu melompat-lompat di pagar kandang, lampau sesekali mengorek-ngorek tanah untuk argumen nan tidak jelas. Ia (entah jantan alias betina) tampaknya menemukan langkah untuk membikin dirinya sibuk. Si bayi kangguru melompat-lompat di sekitar bapaknya berdiri, mengunyah sedikit dedaunan, dan mengorek-ngorek lumpur, mengganggu kangguru betina, lampau berebahan di tanah, berdiri lampau melompat-lompat lagi.

“Bagaimana bisa kangguru melompat-lompat begitu cepat?”

“Agar bisa melarikan diri dari musuh?”

“Musuh apa?”

“Manusia,” kataku. “Manusia membunuh mereka dengan bumerang dan menyantap mereka.”

“Kenapa bayi kangguru sanggup naik ke kantong ibunya?”

“Agar bayi kangguru bisa menyelamatkan diri berbareng ibunya. Bayi kangguru tidak bisa berlari cepat.”

“Jadi mereka terlindungi?”

“Ya,” kataku. “Sang ibu melindungi anak-anaknya.”

“Berapa lama sang ibu melindungi anak-anaknya seperti itu?”

Aku sadar saya semestinya membaca beberapa perihal tentang kangguru di sebuah ensiklopedia sebelum kami bertamasya mini seperti ini. Rentetan pertanyaan seperti ini memang sudah semestinya saya perkirakan.

“Sebulan sampai dua bulan, saya bayangkan.”

“Tapi bayi itu hanya berumur sebulan sekarang,” katanya seraya menunjuk bayi kangguru. “Jadi mestinya dia tetap di kantung ibunya.”

“Ya, saya pikir juga begitu.”

Matahari mengangkasa di atas kepala, dan kami tak bisa mendengar teriakan anak-anak di kolam renang di dekat kami. Sepotong awan putih melintasi kami.

Seorang pelajar tengah bekerja di warung hotdog yang dibentuk layaknya sebuah minivan dengan beberapa kotak pengeras bunyi nan mengedarkan alunan bunyi Stevie Wonder dan Billy Joel saat saya menunggu hotdog yang tengah dimasak.

Resolusi:

Saat saya kembali ke kandang kangguru, pacarku buru-buru berkata, “Lihat!” menjerit, seraya menunjuk satu di antara kangguru betina. “Kau lihat, bukan? Bayi kangguru di kantong ibunya!”

Aku cukup percaya bayi kangguru itu sudah meringkuk di kantung ibunya (anggap saja kangguru betina itu adalah betul-betul ibunya). Kantung kangguru betina itu betul-betul terisi penuh, dan sepasang telinga mungil dan sepucuk ujung ekor mengintip dari kembali kantungnya. Ini betul-betul pemandangan nan luar biasa dan betul-betul membikin tamasya kami tak sia-sia.

“Mungkin terasa berat membawa bayi kangguru di dalam kantung,” katanya.

“Jangan khawatir, kangguru itu hewan nan kuat.”

“Betul begitu?”

“Ya, tentu. Karena itulah mereka memperkuat hidup.”

Meski hidup dengan panasnya matahari, ibu kangguru tidak menderita. Pacarku terlihat layaknya seorang wanita nan baru saja menyelesaikan belanjaan sorenya di supermarket di sekitar wilayah Aoyama nan indah, dan tengah bersantai rehat menikmati secangkir kopi di warung kopi.

“Ibu kangguru itu betul-betul melindungi bayinya, bukan?”

“Ya.”

“Aku bayangkan bayi kangguru itu tidur lelap.”

“Ya, mungkin saja.” ***

21. Cerpen berjudul Seribu Kunang-Kunang di Manhattan

Seribu Kunang-Kunang di Manhattan

Oleh: Umar Kayam

Orientasi:

Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama-sama memandang ke luar jendela.

“Bulan itu ungu, Marno.”

“Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu ?”

“Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?”

“Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?”

“Oh, saya tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-ng-u! U-ng-u! Ayolah, bilang, ungu!”

“Kuning keemasan!”

“Setan! Besok saya bawa kau ke master mata.”

Rangkaian Peristiwa:

Marno berdiri, pergi ke dapur untuk menambah air serta es ke dalam gelasnya, lampau dia duduk kembali di sofa di samping Jane. Kepalanya sudah terasa tidak sungguh enak.

“Marno, Sayang.”

“Ya, Jane.”

“Bagaimana Alaska sekarang?”

“Alaska? Bagaimana saya tahu. Aku belum pernah ke sana.”

“Maksudku hawanya pada saat ini.”

“Oh, saya kira tidak sedingin seperti biasanya. Bukankah di sana ada summer juga seperti di sini?”

“Mungkin juga. Aku tidak pernah berapa kuat dalam pengetahuan bumi. Gambaranku tentang Alaska adalah satu padang nan banget l-u-a-s dengan salju, salju dan salju.Lalu di sana-sini rumah-rumah orang Eskimo bergunduk-gunduk seperti es krim panili.”

Aku kira sebaiknya kau jadi penyair, Jane. Baru sekarang saya mendengar perumpamaan nan begitu puitis. Rumah Eskimo sepeti es krim panili.”

“Tommy, suamiku, jejak suamiku, suamiku, kautahu …. Eh, maukah kau membikinkan saya segelas ….. ah, kau tidak pernah bisa bikin martini. Bukankah kau selalu bingung, martini itu campuran gin dan vermouth alias gin dan bourbon? Oooooh, saya kudu bikin sendiri lagi ini …. Uuuuuup ….”

Dengan susah payah Jane berdiri dan dengan berhati-hati melangkah ke dapur. Suara gelas dan botol beradu, terdengar berdentang-dentang.

Dari dapur, “bekas suamiku, kautahu ….. Marno, Darling.”

“Ya, ada apa dengan dia?”

“Aku merasa dia ada di Alaska sekarang.”

Pelan-pelan Jane melangkah kembali ke sofa, kali ini duduknya mepet Marno.

“Di Alaska. Coba bayangkan, di Alaska.”

“Tapi Minggu nan lampau kaubilang dia ada di Texas alias di Kansas. alias mungkin di Arkansas.”

“Aku bilang, saya me-ra-sa Tommy berada di Alaska.”

“Oh.”

“Mungkin juga dia tidak di mana-mana.”

Marno berdiri, melangkah menuju ke radio lampau memutar knopnya. Diputar-putarnya beberapa kali knop itu hingga mengeluarkan campuran suara-suara nan aneh. Potongan-potongan lagu nan tidak tentu serta bunyi orang nan tercekik-cekik. Kemudian dimatikannya radio itu dan dia duduk kembali di sofa.

“Marno, Manisku.”

“Ya, Jane.”

“Bukankah di Alaska, ya, ada budaya menyuguhkan istri kepada tamu?”

“Ya, saya pernah mendengar orang Eskimo dulu punya adat-istiadat begitu. Tapi saya tidak tahu pasti apakah itu betul alias karangan pembimbing antropologi saja.”

“Aku minta itu betul. Sungguh, Darling, saya serius. Aku minta itu betul.”

“Kenapa?”

Komplikasi:

“Sebab, seee-bab saya tidak mau Tommy kesenyapan dan kedinginan di Alaska. Aku tidak maaau.”

“Tetapi bukankah belum tentu Tommy berada di Alaska dan belum tentu pula sekarang Alaska dingin.”

Jane memegang kepala Marno dan dihadapkannya muka Marno ke mukanya. Mata Jane memandang Marno tajam-tajam.

“Tetapi saya tidak mau Tommy kesenyapan dan kedinginan! Maukah kau?”

Marno tak bersuara sebentar. Kemudian ditepuk-tepuknya tangan Jane.

“Sudah tentu tidak, Jane, sudah tentu tidak.”

“Kau anak nan manis, Marno.”

Marno mulai memasang rokok lampau pergi berdiri di dekat jendela. Langit bersih malam itu, selain di sekitar bulan. Beberapa awan menggerombol di sekeliling bulan hingga sinar bulan jadi suram karenanya. Dilongokknannya kepalanya ke bawah dan satu belantara pencakar langit tertidur di bawahnya. Sinar bulan nan lembut itu membikin seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya.

“Marno.”

“Ya, Jane.”

“Aku ingat Tommy pernah mengirimi saya sebuah boneka Indian nan elok dari Oklahoma City beberapa tahun nan lalu. Sudahkah saya ceritakan perihal ini kepadamu?”

“Aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”

“Oh.”

Jane menghirup martini-nya empat hingga lima kali dengan pelan-pelan. Dia sendiri tidak tahu sudah gelas nan keberapa martini dipegangya itu.

Lagi pula tidak seorang pun nan memedulikan.

“Eh, kau tahu, Marno?”

“Apa?”

“Empire State Building sudah dijual.”

“Ya, saya membaca perihal itu di New York Times.”

“Bisakah kau membayangkan punya gedung nan tertinggi di dunia?”

“Tidak. Bisakah kau?”

“Bisa, bisa.”

“Bagaimana?”

“Oh, tak tahulah. Tadi saya kira bisa menemukan pikiran-pikiran nan cabul dan lucu. Tapi sekarang tahulah ….”

Lampu-lampu nan berkelipan di belantara pencakar langit nan terlihat dari jendela mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang nan suka bertabur malam-malam di sawah embahnya di desa.

“Oh, jika saja …..”

“Kalau saja apa, Kekasihku?”

“Kalau saja ada bunyi jangkrik mengerik dan beberapa katak menyanyi dari luar sana.”

“Lantas?”

“Tidak apa-apa. Itu kan membikin saya lebih senang sedikit.”

“Kau anak desa nan sentimental!”

“Biar!”

Marno terkejut lantaran kata “biar” itu terdengar keras sekali keluarnya.

“Maaf, Jane. Aku kira scotch nan membikin itu.”

“Tidak, Sayang. Kau merasa tersinggung. Maaf.”

Marno mengangkat bahunya lantaran dia tidak tahu apa lagi nan mesti diperbuat dengan maaf nan berbalas maaf itu.

Sebuah pesawat jet terdengar mendesau keras lewat di atas gedung apartemen Jane.

“Jet keparat!”

Jane mengutuk sembari melangkah terhuyung ke dapur. Dari bilik itu Marno mendengar Jane keras-keras membuka kran air. Kemudian dilihatnya Jane kembali, mukanya basah, di tangannya segelas air es.

“Aku merasa segar sedikit.”

Jane merebahkan badannya di sofa, matanya dipejamkan, tapi kakinya disepak-sepakkannya ke atas. Lirih-lirih dia mulai menyanyi : deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby, deep blue sea ……

“Pernahkah kau punya keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk bugil lampau membiarkan badanmu tenggelam dalaaammm sekali di dasar laut nan teduh itu, tetapi tidak meninggal dan kau bisa memandang badanmu nan tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?”

“He? Oh, maafkan saya kurang menangkap kalimatmu nan panjang itu. Bagaimana lagi, Jane?”

“Oh, lupakan saja. Aku Cuma ngomong saja. Deep blue sea, baby, deep blue, deep blue sea, baby, deep blue sea ….”

“Marno.”

“Ya.”

“Kita belum pernah jalan-jalan ke Central Park Zoo, ya?”

“Belum, tapi kita sudah sering jalan-jalan ke Park-nya.”

“Dalam perkawinan kami nan satu tahun delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah mengajakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, saya ingat kami berdebat di muka kandang kera. Tommy bilang chimpansee adalah monyet nan paling dekat kepada manusia, saya bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa sarjana-sarjana sudah membikin penyelidikan nan mendalam tentang perihal itu, tetapi saya tetap menyangkalnya lantaran gorilla nan ada di muka kami mengingatkan saya pada penjaga lift instansi Tommy. Pernahkah saya ceritakan perihal ini kepadamu?”

“Oh, saya kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”

“Oh, Marno, semua ceritaku sudah kau dengar semua. Aku membosankan, ya, Marno? Mem-bo-san-kan.”

Marno tidak menjawab lantaran tiba-tiba saja dia merasa seakan-akan istrinya ada di dekat-dekat dia di Manhattan malam itu. Adakah penjelasannya gimana satu bayang-bayang nan terpisah beribu-ribu kilometer bisa muncul begitu pendek?

“Ayolah, Marno. Kalau kau jujur tentulah kau bakal mengatakan bahwa saya sudah membosankan. Cerita nan itu-itu saja nan kau dengar tiap kita ketemu. Membosankan, ya? Mem-bo-san-kan!”

“Tapi tidak semua ceritamu pernah saya dengar. Memang beberapa ceritamu sudah beberapa kali saya dengar.”

“Bukan beberapa, Sayang. Sebagian besar.”

“Baiklah, taruhlah sebagian terbesar sudah saya dengar.”

“Aku membosankan jadinya.”

Marno tak bersuara tidak mencoba meneruskan. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, lampau dihembuskannya lagi asapnya lewat mulut dan hidungnya.

“Tapi Marno, bukankah saya kudu berbicara? Apa lagi nan bisa kukerjakan jika saya berakhir bicara? Aku kira Manhattan tinggal tinggal lagi kau dan saya nan punya. Apalah jadinya jika salah seorang pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang terdampar di satu pulau, mereka bakal terus berbincang sampai kapal tiba, bukan?”

Jane memejamkan matanya dengan dadanya lurus-lurus telentang di sofa. Sebuah bantal terletak di dadanya. Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar, lampau duduk kembali di sofa.

“Marno, kemarilah, duduk.”

“Kenapa? Bukankah sejak sore saya duduk terus di situ.”

“Kemarilah, duduk.”

“Aku sedang lezat di jendela sini, Jane. Ada beribu kunang-kunang di sana.”

“Kunang-kunang?”

“Ya.”

“Bagaimana rupa kunang-kunang itu? Aku belum pernah lihat.”

“Mereka adalah lampu suar kecil-kecil sebesar noktah.”

“Begitu kecil?”

“Ya. Tetapi jika ada beribu kunang-kunang hinggap di pohon pinggir jalan, itu bagaimana?”

“Pohon itu bakal jadi pohon-hari-natal.”

“Ya, pohon-hari-natal.”

Marno tak bersuara lampau memasang rokok sebatang lagi. Mukanya terus menghadap ke luar jendela lagi, menatap ke satu arah nan jauh entah ke mana.

“Marno, waktu kau tetap mini ….. Marno, kau mendengarkan aku, kan?”

“Ya.”

“Waktu kau tetap kecil, pernahkah kau punya mainan kekasih?”

“Mainan kekasih?”

“Mainan nan begitu kau kasihi hingga ke mana pun kau pergi selalu kudu ikut?”

“Aku tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat sesudah saya agak besar, saya suka main-main dengan kerbau kakekku, si Jilamprang.”

“Itu bukan mainan, itu piaraan.”

“Piaraan bukankah untuk mainan juga?”

“Tidak selalu. Mainan nan paling saya kasihi dulu adalah Uncle Tom.”

“Siapa dia?”

“Dia boneka hitam nan jelek sekali rupanya. Tetapi saya tidak bakal pernah bisa tidur jika Uncle Tom tidak ada di sampingku.”

“Oh, itu perihal nan normal saja, saya kira. Anakku juga begitu. Punya anakku anjing-anjingan berjulukan Fifie.”

“Tetapi saya baru berpisah dengan Uncle Tom sesudah saya ketemu Tommy di High School. Aku kira, saya mau Uncle Tom ada di dekat-dekatku lagi sekarang.”

Diraihnya bantal nan ada di sampingnya, kemudian digosok-gosokkannya pipinya pada bantal itu. Lalu tiba-tiba dilemparkannya lagi bantal itu ke sofa dan dia memandang kepala Marno nan tetap bersandar di jendela.

“Marno, Sayang.”

“Ya.”

“Aku kira cerita itu belum pernah kaudengar, bukan ?”

“Belum, Jane.”

“Bukankah itu ajaib? Bagaimana saya sampai lupa menceritakan itu sebelumnya.”

Marno tersenyum

“Aku tidak tahu, Jane.”

“Tahukah kau? Sejak sore tadi baru sekarang kau tersenyum. Mengapa?”

Marno tersenyum

“Aku tidak tahu, Jane. Sungguh.”

Sekarang Jane ikut tersenyum.

“Oh, ya, Marno, manisku. Kau kudu berterima kasih kepadaku. Aku telah menepati janjiku.”

“Apakah itu, Jane?”

“Piyama. Aku telah belikan kau piyama, tadi. Ukuranmu medium-large, kan? Tunggu, ya ……”

Dan Jane, seperti seekor kijang nan mendapatkan kembali kekuatannya sesudah terlalu lama berteduh, melompat-lompat masuk ke dalam kamarnya. Beberapa menit kemudian dengan wajah bekerlapan dia keluar kembali dengan sebuah bungkusan di tangan.

“Aku minta kausuka pilihanku.”

Dibukanya bungkusan itu dan dibeberkannya piyama itu di dadanya.

“Kausuka dengan pilihanku ini?”

“Ini piyama nan cantik, Jane.”

“Akan kau pakai saja malam ini. Aku kira sekarang sudah cukup malam untuk berganti dengan piyama.”

Marno memandang piyama nan ada di tangannya dengan keraguan.

“Jane.”

“Ya, Sayang.”

“Eh, saya belum tahu apakah saya bakal tidur di sini malam ini.”

“Oh? Kau banyak kerja?”

“Eh, tidak seberapa sesungguhnya. Cuma tak tahulah ….”

”Kaumerasa tidak lezat badan?”

“Aku baik-baik saja. Aku …. eh, tak tahulah, Jane.”

“Aku minta saya mengerti, Sayang. Aku tak bakal bertanya lagi.”

“Terima kasih, Jane.”

“Terserahlah. Cuma saya kira, saya tak bakal membawanya pulang.”

“Oh”.

Pelan-pelan dibungkusnya kembali piyama itu lampau dibawanya masuk ke dalam kamarnya. Pelan-pelan Jane keluar kembali dari kamarnya.

“Aku kira, saya pergi saja sekarang, Jane.”

Resolusi:

“Kau bakal menelpon saya hari-hari ini, kan?”

‘Tentu, Jane.”

“Kapan, saya bisa mengharapkan itu?

“Eh, saya belum tahu lagi, Jane. Segera saya kira.”

“Kautahu nomorku kan? Eldorado”

“Aku tahu, Jane.”

Kemudian pelan-pelan diciumnya dahi Jane, seperti dahi itu terbuat dari porselin. Lalu menghilanglah Marno di kembali pintu, langkahnya terdengar sejenak dari dalam bilik turun tangga.

Di kamarnya, di tempat tidur sesudah minum beberapa butir obat tidur, Jane merasa bantalnya basah.

22. Cerpen berjudul Jendela

Jendela

Oleh: Haruki Murakami

Orientasi:

SALAM,

Musim dingin berlalu setiap harinya, dan sekarang mentari bercahaya dengan isyarat kehadiran musim semi. Saya percaya Anda baik-baik saja.

Surat Anda nan terakhir, saya baca dengan penuh gembira. Terutama bagian tentang hubungan antara hamburger dan serbuk pala, saya rasa, ditulis dengan sangat baik: begitu kaya dengan emosi alamiah dari kehidupan sehari-hari. Betapa jelas Anda menggambarkan aroma hangat dari dapur, bunyi ketukan lincah pisau pada papan talenan ketika mengiris bawang!

Ketika saya melanjutkan membaca, surat Anda memenuhi diri saya dengan emosi semacam kemauan tak tertahankan untuk pergi ke restoran terdekat dan membeli sebuah hamburger steak malam itu juga. Kenyataannya, terutama sekali di dekat lingkungan tempat tinggal saya, sebuah restoran menawarkan delapan varietas berbeda dari hamburger steak ketika saya memesan makanan itu: Texas-style, Hawaiian-style, Japanese-style, dan sejenisnya. Texas-style mempunyai ukuran besar. Bulat. Tak diragukan lagi hamburger itu bakal mengejutkan setiap orang Texas nan mungkin menemukan restoran ini ketika mereka berada di Tokyo. Hawaiian-style dihiasi dengan irisan nanas. California-style… saya lupa lagi. Japanese-style dilapisi dengan parutan lobak. Restoran itu ditata cukup rapi. Pelayannya cantik-cantik, memakai rok nan sangat pendek.

Rangkaian Peristiwa:

Bukan berfaedah saya pergi ke tempat itu untuk mengagumi hiasan interior restoran alias kaki jenjang para pelayan. Saya ada di sana hanya untuk satu alasan, dan itu adalah makan hamburger steak—bukan Texas-style alias California-style alias jenis nan lainnya, tetapi nan biasa-biasa saja, sebuah hamburger steak nan sederhana.

Yang seperti itulah nan saya pesan kepada pelayan. “Maaf,” pelayan itu menjawab, “tapi hamburger steak jenis seperti ini dan jenis seperti itu nan kami punya di sini. Tidak ada hamburger steak, seperti nan Anda katakan, nan biasa-biasa saja.”

Saya tidak bisa menyalahkan si pelayan, tentu saja. Dia tidak mengatur menu. Dia tidak memilih untuk mengenakan seragam nan mempertontonkan sebagian besar pahanya setiap kali dia membersihkan piring dari atas meja. Saya tersenyum kepadanya dan memesan hamburger steak Hawaiian-style. Sebagaimana saran si pelayan, saya hanya kudu menyisihkan irisan nanas ketika memakannya.

Bukan berfaedah saya pergi ke tempat itu untuk mengagumi hiasan interior restoran alias kaki jenjang para pelayan. Saya ada di sana hanya untuk satu alasan, dan itu adalah makan hamburger steak—bukan Texas-style alias California-style alias jenis nan lainnya, tetapi nan biasa-biasa saja, sebuah hamburger steak nan sederhana.

Yang seperti itulah nan saya pesan kepada pelayan. “Maaf,” pelayan itu menjawab, “tapi hamburger steak jenis seperti ini dan jenis seperti itu nan kami punya di sini. Tidak ada hamburger steak, seperti nan Anda katakan, nan biasa-biasa saja.”

Saya tidak bisa menyalahkan si pelayan, tentu saja. Dia tidak mengatur menu. Dia tidak memilih untuk mengenakan seragam nan mempertontonkan sebagian besar pahanya setiap kali dia membersihkan piring dari atas meja. Saya tersenyum kepadanya dan memesan hamburger steak Hawaiian-style. Sebagaimana saran si pelayan, saya hanya kudu menyisihkan irisan nanas ketika memakannya.

Komplikasi:

Aku telah melakukan pekerjaan paruh-waktu ini nyaris selama satu tahun. Usiaku dua puluh dua pada saat itu.

Aku menerima tiga puluh alias lebih surat seperti ini setiap bulan, dengan penghasilan dua ribu yen, saya bekerja untuk sebuah perusahaan mini asing di distrik Iidabashi nan menamakan diri “Perkumpulan Pena.”

“Anda juga bisa menulis dengan menawan,” begitulah iklan perusahaan itu membual. “Anggota” baru bayar biaya pendaftaran dan iuran bulanan, dengan hadiah mereka bisa menulis surat empat kali dalam sebulan kepada Perkumpulan Pena. “Master Pena” kami bakal menjawab surat mereka dengan surat nan kami tulis sendiri, seperti nan dikutip di atas, berisi koreksi, komentar, dan pengarahan untuk perbaikan di masa mendatang. Aku datang untuk wawancara kerja setelah memandang iklan nan dipasang di ruang bagian kemahasiswaan bidang Sastra. Pada saat itu, beberapa aktivitas membuatku kudu menunda kelulusanku selama satu tahun, dan orangtuaku mengatakan bahwa mereka bakal mengurangi duit bulananku karenanya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, saya dihadapkan pada situasi di mana saya kudu mencari nafkah sendiri. Selain wawancara, saya diminta untuk menulis suatu karangan, dan seminggu kemudian saya dipekerjakan. Selama seminggu kemudian saya mengikuti training gimana melakukan koreksi, menawarkan bimbingan, dan beberapa keterampilan, tak ada nan betul-betul menyulitkan.

Semua personil Perkumpulan dibimbing oleh para Master Pena dari musuh jenisnya. Aku mempunyai total dua puluh empat anggota, berumur antara empat belas hingga lima puluh tiga tahun, kebanyakan berumur dua puluh lima hingga tiga puluh lima tahun. Bisa dibilang, sebagian besar mereka lebih tua dariku. Bulan pertama, saya begitu panik: Para wanita itu rupanya menulis jauh lebih baik dariku, dan mereka mempunyai lebih banyak pengalaman sebagai koresponden. Terlebih, saya nyaris tidak pernah menulis surat nan serius selama hidupku. Aku tidak percaya bakal sukses melewati semua itu pada bulan pertama. Aku berkeringat dingin terus-menerus, percaya bahwa sebagian besar personil nan menjadi tanggung jawabku bakal menuntut si Master Pena awam ini—hak spesial untuk perihal ini sangat ditekankan di dalam patokan Perkumpulan.

Resolusi:

Satu bulan pun berlalu, dan tak satu pun personil melayangkan keluhan tentang tulisanku. Sebaliknya, jauh dari perihal itu. Pemilik perusahaan mengatakan bahwa saya begitu populer. Dua bulan lagi berlalu, dan apalagi kelihatannya penghasilanku mulai membaik berkah “bimbingan” nan kulakukan. Ini agak aneh. Wanita-wanita itu memandangku sebagai pembimbing mereka dengan kepercayaan penuh. Ketika menyadari keadaan ini, perihal itu memungkinkanku untuk menulis kritik kepada mereka dengan upaya nan jauh lebih sedikit serta tidak terlalu merasa resah karenanya.

Aku tidak menyadarinya saat itu, bahwa wanita-wanita itu kesenyapan (sebagaimana juga personil laki-laki di Perkumpulan). Mereka mau menulis surat tetapi tak ada seorang pun nan dapat mereka kirimi surat. Mereka bukan jenis nan mengirim surat fans kepada seorang penyiar. Mereka mau sesuatu nan lebih pribadi—bahkan jika perihal itu kudu datang dalam corak koreksi dan kritikan.

Dan begitulah perihal itu terjadi, saya menghabiskan sebagian usia awal dua puluhanku seperti ikan duyung abnormal dalam sebuah harem nan panas dipenuhi surat-surat.

Yang luar biasa adalah surat-surat mereka nan bervariasi! Surat nan membosankan, surat nan menyenangkan, surat nan menyedihkan. Sayangnya, saya tidak boleh menyimpan salah satu dari surat-surat itu (peraturan mengharuskan kami mengembalikan semua surat kepada perusahaan), dan semua itu telah cukup lama terjadi hingga saya tidak ingat lagi secara rinci, tetapi saya mengingat mereka sebagai sesuatu nan memenuhi kehidupanku dengan segala macam aspeknya, mulai dari pertanyaan-pertanyaan besar hingga hal-hal mini nan remeh-temeh. Dan pesan nan mereka kirimkan kepadaku kelihatannya sama—bagiku, seorang mahasiswa perguruan tinggi berumur dua puluh dua tahun—yang secara asing terpisah dari kenyataan, tampak pada saat nan berbarengan sebagai sesuatu nan betul-betul tak berarti. Hal ini juga bukan semata-mata lantaran kurangnya pengalaman hidupku sendiri. Sekarang saya menyadari bahwa realita dari hal-ihwal itu sendiri bukanlah sesuatu nan kau sampaikan kepada orang-orang, melainkan sesuatu nan kau perbuat bagi mereka. Inilah nan pada gilirannya menjadi bermakna. Aku tidak tahu perihal itu bakal berkembang menjadi apa selanjutnya, tentu saja, begitu pula dengan wanita-wanita itu. Pasti perihal inilah salah satu argumen kenapa segala sesuatu di dalam surat mereka secara dua-dimensi terasa asing bagiku.

Ketika tiba saatnya bagiku untuk meninggalkan pekerjaan itu, semua personil nan kubimbing menyatakan penyesalan mereka. Meski begitu, terus terang, ketika saya mulai merasa bahwa sudah cukup bagiku melakukan pekerjaan tak berujung menulis surat-surat seperti itu, saya merasa menyesal juga, dengan caraku sendiri. Aku tahu saya tidak bakal pernah lagi mempunyai begitu banyak orang nan membuka diri mereka kepadaku dengan kejujuran nan sederhana seperti itu.

23. Cerpen berjudul Tarom

Tarom

Oleh: Budi Darma

Orientasi:

Agen saya tahu, setiap kali saya pergi ke Frankfurt, Jerman, saya tidak mau transit di airport mana pun, selain airport Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Ada dua kawan di airport ini, ialah Manfred pemilik restoran dan Gertrude, pramugari darat.

Pada waktu saya berjamu ke restoran Manfred untuk pertama kali beberapa tahun lalu, dia membujuk saya bersalaman erat, lampau berbisik: ”Ibu Anda pasti orang Jerman. Ayah Anda pasti orang Asia Tenggara.”

Laki-laki anak ibu Jerman dan ayah Asia Tenggara pasti mirip ibunya, sedangkan anak wanita pasti mirip ayahnya. Dan memang, kulit saya putih, mata saya biru, dan setiap kali saya ke Jerman, kebanyakan orang menganggap saya orang Jerman.

Karena saya tidak membantah, maka setiap kali saya singgah di restorannya, pasti dia memberi sauerkraut, salad unik Jerman, gratis. Setelah mengetahui nama saya Tarom Wibowo, wajahnya berbinar-binar, lampau membujuk saya masuk ke ruang mini di bagian belakang restoran.

”Lihat, Tarom, saya punya kitab kamu.”

Dia mengambil buku New Paradigm of Psycho-Hatred, kitab saya mengenai lika-liku psikologis tokoh-tokoh besar, dengan info dari beragam negara, termasuk Jerman.

”Buku hebat,” katanya. ”Maaf, saya belum pernah membaca novel kamu.”

Rangkaian Peristiwa:

Setelah mengobrol sebentar, dia berbisik: ”Di sini ada gadis Jerman, Gertrude namanya. Pramugari darat. Kalau mau dia bisa menjadi pramugari udara. Terbang ke mana-mana. Seperti saya, dia malu jadi orang Jerman.”

Dia berbisik lagi: ”Kamu pasti suka Gertrude. Cantik. Dan ingat, dia pengagum penulis dahsyat berjulukan Tarom Wibowo. Dia tahu Anda bukan psikolog. Tapi, hatikecil psikologimu betul-betul hebat.”

Begitu dipertemukan dengan Gertrude, saya agak gemetar, agak bingung, lantaran itu memilih untuk diam, dan tampaknya emosi Gertrude sama. Kami bersalaman sampai lama, telapak tangan dia dan telapak tangan saya sama-sama berkeringat dan sama-sama malas untuk saling melepaskan pegangan. Tapi, emosi asing merambat perlahan-lahan dari tangan dia, menyusupi tangan saya. Hawa panas bercampur hawa dingin. Dan begitu saya menatap wajahnya, saya agak merinding, lampau dia menunduk, tampak malu.

Perasaan saya tidak enak, dan saya putuskan untuk tidak berjumpa dengan dia lagi. Ternyata, begitu saya masuk ke ruang tunggu penumpang, pesan dia melalui WA masuk. Begitu membuka telepon genggam setelah saya mendarat di Frankfurt, pesan dia masuk lagi, bukan hanya satu, tapi beberapa. Selama beberapa hari saya di Frankfurt untuk mengurus jual beli kewenangan cipta sekian banyak pengarang dari beragam negara, pesan Gertrude datang ibaratkan banjir.

Dan ketika pesawat saya transit lagi di Abu Dhabi untuk kemudian disambung penerbangan ke Surabaya, Gertrude sudah menunggu, lampau membujuk saya ke ruang tunggu khusus.Perhatian dia lebih tertarik pada Berlin sebagaimana nan saya gambarkan dalam beberapa kitab saya dibanding dengan cerita saya mengenai Frankfurt.

”Kalau Anda ke Berlin, ajaklah saya. Tunjukkanlah tempat-tempat nan Anda tulis dalam buku-buku kamu. Dan jika Anda pulang, saya ikut ke Surabaya.”

Selanjutnya pesan demi pesan berdatangan terus, disertai quote lirik lagu ”Imagine” The Beatles, ”You may say I’m a dreamer, but I’m not the only one.”

Komplikasi:

Seperti biasa, ketika bakal ke Frankfurt lagi, pemasok saya tidak pernah bertanya saya mau naik pesawat maskapai apa asalkan singgah di Abu Dhabi.

Agen saya memilih Angel Air, sebuah maskapai penerbangan baru, berdiri sekitar tiga tahun lalu. Semua orang krusial di Angel Air perempuan, sisanya, pekerjaan kasar, diserahkan kepada laki-laki. Mungkin Angel Air percaya, wanita punya otak dan modal laki-laki hanyalah otot.

Nama pilot dan kopilot sudah beberapa kali saya simak melalui beragam media. Saya belum pernah berjumpa mereka, tapi andaikata bertemu, pasti saya mengenal mereka. Pilot berjulukan Awilia, ayahnya master umum dan ibunya master mata terkenal, kopilot berjulukan Azanil, ayahnya master umum dan ibunya master jantung terkenal. Sejak era mahasiswa, empat calon master ini sudah bersahabat, dan ketika sudah menjadi master mereka bekerja di rumah sakit nan sama.

Awilia lahir jam 10:15, Azanil lahir pada hari dan tanggal sama, jam 10:18, di rumah sakit nan sama pula. Umur mereka terpaut tiga menit, dan setelah besar Awilia memperlakukan Azanil sebagai sahabat muda, dan Azanil selalu mau dijadikan nomor dua. Sejak TK sampai dengan SMA mereka selalu bersama-sama, dan setelah lulus SMA mereka sama-sama menentang kemauan orangtua mereka untuk menjadi dokter. Alasan mereka sama: pada era dulu kala, terceritalah ada dua sahabat karib, nan laki-laki brilian tapi homo berjulukan Leonardo da Vinci, dan nan wanita luar biasa cantik, Monalisa namanya. Sambil memandang burung-burung beterbangan, berkatalah Leonardo: ”Monalisa, lihatlah burung-burung itu. Pada suatu saat, manusia pasti bisa terbang seperti burung.” Monalisa tidak percaya, tersenyum, tanpa berbicara apa-apa.

Awilia dan Azanil sama-sama mengirim lamaran ke Akademi Penerbangan Airbus di Toulouse, Perancis, sama-sama diterima, dan lulus juga bersama-sama, masing-masing dengan nilai tinggi. Setiap terbang mereka tidak mau dipisah, dan meskipun Awilia mau gantian menjadi kopilot, Azanil selalu menolak. ”Yang muda kudu menghargai nan tua,” katanya bergurau.

Setelah pesawat mencapai 15.000 kaki, seorang pramugari memberi saya kertas kecil.

”Selamat terbang berbareng kami pengarang Tarom Wibowo. Kita kelak berjumpa di Abu Dhabi.”

Saya tidak tahan menahan kantuk. Ada banyak perjanjian dan jual beli kewenangan cipta dari sekian banyak pengarang dan penerbit nan kudu saya urus di Frankfurt nanti, dan ada banyak pula kitab nan kudu saya baca, khususnya kitab Rochus Misch, jejak pengawal pribadi Hitler, mengenai kematian Hitler. Saya tertidur.

Buah tidur adalah mimpi: ibu saya bercerita mengenai bangsa Jerman dan bangsa Jepang, dua bangsa besar dan sama-sama tololnya. Bangsa Jerman sangat setia kepada manusia berjulukan Hitler, dan bangsa Jepang sangat alim pada keturunan Dewi Matahari, ialah Kaisar Hirohito. Karena ketololannya, atas hasutan Hitler, bangsa Jerman dengan penuh semangat merusak dunia, demikian pula bangsa Jepang, bukan oleh hasutan manusia.

Ingat, kata ibu saya, dalam PD I Jerman dikalahkan oleh Jepang, dan semua tawanan perang Jerman diperlakukan dengan sangat baik oleh Jepang, apalagi lebih baik daripada serdadu Jepang sendiri.

Perang antara Jerman dan Jepang dalam PD I mirip dengan perang antara Indonesia dan Malaysia di perbatasan dua negara di Kalimantan setelah Bung Karno menyatakan perang melawan Malaysia dengan semboyan ”Ganyang Malaysia”. Serdadu Indonesia dan serdadu Malaysia pura-pura saling tembak, kemudian lari-lari menuju musuh, berangkulan erat, berganti rokok, kemudian bergurau. Karena hanya pura-pura, perang ini dengan mudah diakhiri dengan perdamaian. Jepang dan Jerman pura-pura bertempur, tidak lain lantaran mereka bersiap-siap berkawan untuk menghancurkan bumi dalam PD II.

Karena bangsa Jerman setia kepada manusia dan bangsa Jepang setia bukan kepada manusia, kesetiaan mereka berbeda. Dalam mimpi ini pula ibu saya membanggakan kesetiaannya kepada keluarganya, lampau meminta saya membaca majalah Femina tahun 1980-an, mengenai kesetiaan istri Jepang terhadap suami orang Indonesia. Istri Jepang sangat setia kepada suami, dan begitu anak dia sudah bisa dibawa lari, dia bakal lari berbareng anaknya, kembali ke Jepang, disembunyikan oleh keluarganya di Jepang. Ibu saya berbincang mengenai dua bangsa ini lantaran dia tahu saya pernah jatuh cinta kepada gadis Jepang dan sekarang mungkin kepada gadis Jerman.

Setelah terbangun, saya ingat cerita ibu saya mengenai pertemuan antara orangtua saya sebelum menikah. Hati ibu saya berkata, ayah saya mempunyai keahlian terpendam, dan rupanya benar: begitu tahu ada pabrik bakal bangkrut, ayah saya membelinya, memperbaikinya, kemudian menjualnya. Terakhir dia membeli pabrik smelting yang nyaris ambruk di Gresik, selama satu tahun memperbaikinya, kemudian menjualnya kepada orang India.

Sebelum menikah, ayah saya juga yakin, ibu saya mempunyai kekuatan terpendam: lidahnya tajam, begitu ada makanan masuk ke mulutnya, dia tahu rahasia pembuatannya. Buku masakan ibu saya diterjemahkan ke dalam beragam bahasa, dan dia sering diundang ke mana-mana, termasuk luar negeri, untuk berbincang mengenai masakan.

Ketika usil mengambil majalah, saya terkejut: foto Gertrude terpampang di kulit sebuah majalah, dan di beragam laman di majalah-majalah lain. Dia dinobatkan sebagai pramugari darat terbaik di Negara-negara Teluk setelah juri dari beragam negara menyimak airport di Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, dan Qatar. Gertrude pemalu, pemilihan pramugari terbaik dan pemasangan fotonya pasti di luar kemauan dia.

Resolusi:

Setelah menyimak fotonya, hati saya berkata, Gertrude pasti mempunyai rahasia terpendam, dan ada kesamaan antara Mandred dan Gertude. Menurut Gertude, Manfred keturunan serdadu Jerman nan suka menyiksa, merampok, dan memerkosa di negara-negara jajahan Hitler selama PD II. Dia malu menjadi orang Jerman, tapi kadang-kadang kudu kembali ke Jerman lantaran ibunya di Jerman sering sakit.

Begitu turun dari pesawat, Amilia dan Azanil menemui saya, minta tanda tangan buku-buku saya, kitab yang, kata mereka, menemani mereka dari airport satu ke airport lain. Dengan membaca novel-novel saya, terasa mereka bisa mengamat-amati lika-liku jiwa mereka sendiri.

Mereka membujuk saya ke ruang tunggu khusus, dan di sana Gertrude sudah menunggu. Dengan nada berbual mereka mengatakan, sebagai pengarang hebat, pasti saya bisa mengangkat gejolak jiwa Gertrude dalam novel.

Setelah mereka pergi, dengan sangat hati-hati saya berbicara kepada Gertrude mengenai kisah kematian Hitler. Setelah Hitler percaya kalah, dia dan banyak pengikut setianya berkeinginan bunuh diri berbareng Hitler. Pada saat itulah, salah satu arsitek holocaust yang sangat biadab dan semestinya ikut bunuh diri berbareng keluarganya melarikan diri.

Gertrude menunduk, lampau berkata: ”Saya tahu siapa dia. Martin Bormann namanya. Darah saya kotor. Saya keturunan Bormann.”

Pikiran saya melayang ke ibu saya. ***

Baca Juga: Bagaimana Cara Membedakan Fakta dan Opini dalam Teks Iklan? | Bahasa Indonesia Kelas 9

24. Cerpen berjudul Semangkuk Perpisahan di Meja Makan

Semangkuk Perpisahan di Meja Makan

Oleh: Miranda Seftiana

Orientasi:

Ibu saya bilang wanita kudu bisa memasak. Setidaknya satu menu sepanjang hidupnya. Saya merasa tidak setuju, terlebih ketika hidup sudah nyaris-nyaris mirip di surga urusan lapar dan makan.

Betul. Semasa kecil, saya sering didongengi ibu. Katanya hidup di surga itu nyaman sekali, tinggal tunjuk langsung jadi. Mau anggur bakal diantar ke hadapan. Mau minum dan makan juga demikian. Bukankah sekarang era juga sudah begini? Haus dan lapar tinggal buka ponsel. Hanya perlu satu jari untuk mcmbuatnya ada di depan mata. Lalu, kenapa kudu susah payah memasak segala?

Rangkaian Peristiwa:

Bukan. Bukan saya tidak pernah memasak sama sekali. Saya pernah merebus mi instan, menggoreng telur, alias beberapa perihal lain untuk memperkuat hidup. Lebih-lebih ketika tetap mahasiswa dulu. Tapi ini berbeda. Memasak nan dimaksud ibu saya bukan sekadar bisa, melainkan memang lihai karena bakal memengaruhi rasa.

Sekali lidah kudu langsung lezat terasa sehingga sampai sajian tandas di piring kenangan oke nan terbawa. Maka, demi memenuhi khayalan punya anak wanita nan bisa menyajikan penganan lezat itu, ibu kemudian mendesak saya datang ke rumahnya.

“Ambil libur dua hari apa tidak bisa sama sekali?” desaknya di ujung telepon.

Saya menjepit ponsel di antara kepala dan bahu sementara sepasang tangan tetap berupaya melepaskan sarung karet berwarna pucat. Saya memang baru keluar dari ruang operasi ketika ibu menelepon lagi untuk kesekian kali.

“Susah, Ibu. Saya punya agenda bedah sesar setidaknya sampai akhir tahun ini. Apalagi menjelang hari raya, selain musim hujan, juga musim orang melahirkan.”

Saya dapat mendengar embusan napas ibu di sana. Suaranya terlalu kentara untuk ruang operasi nan hening dan sepi.

“Apa nan bisa memastikan nyawa anak manusia sampai dengan baik ke bumi hanya kamu?” sindir Ibu terkesan tajam.

“Ya tidak,” jawab saya sembari membuka penutup sampah dan melempar sarung tangan karet itu ke dalamnya.

“Berapa master kandungan di rumah sakitmu?”

“Tiga.”

“Kalau begitu tukar jaga kan bisa, selain memang Anda tidak menginginkannya!” sentak Ibu sebelum mengakhiri panggilan.

Saya mengusap wajah dengan sebelah tangan. Tidak mengerti dengan sikap ibu barusan. Seolah-olah jika saya tidak bisa memasak, maka bakal berbuah kiamat. Padahal, suami saya saja mengerti. Kami sudah sering memesan makanan nan diinginkan dari beragam penyedia jasa katering rumahan.

Dari nan lezat sampai nan sehat. Dari nan dikelola ibu rumah tangga sampai mahir gizi juga ada. Anak-anak juga tidak jauh berbeda. Pagi terbiasa sarapan roti alias sereal dengan susu. Siang makan katering sekolah, malam bisa pesan dari aplikasi ponsel. Begitu mudah hidup sekarang, kenapa kudu kembali mengakrabi wajan dan api?

***

Setelah berbincang dengan suami dan membujuk rekan berganti jaga, di sinilah saya sekarang, rumah ibu nan rindang. Halaman rumahnya dihiasi hamparan rumput dengan tembok dirambati kembang putih berdaun lebar. Ibu tetap senang selera lama. Tanamannya adalah bugenvil jenis warna, telinga gajah, dan lidah mertua.

Begitu membuka pintu, dia segera memeluk dengan erat.

“Saya hanya bisa sampai besok di sini.”

“Tidak bisa diperpanjang?”

Saya menggeleng. Ibu mendesah. Andai ibu tahu untuk dua hari ini saja saya kudu dinas dari pagi berjumpa pagi. Merapel agenda hingga membikin dengkul rasanya susah berdiri.

“Ya sudah, kau rehat dulu. Esok subuh kita shopping bahan membikin gangan ke pasar.”

***

Lantai dapur mendadak penuh oleh jagung, ubi kayu, kacang panjang, waluh, jenis bumbu, dan umbut kelapa. Bahan terakhir ini nan paling mahal di antara lainnya. Mungkin lantaran demi mendapatkannya kudu menumbangkan sebatang kepala. Merelakan mayang tak berkembang menjadi puluhan buah.

Sementara ibu mempersiapkan sayuran, saya dimintanya mengolah bumbu. Namun, belum apa-apa sudah terdengar suaranya menyela.

“Bukan begitu langkah memecah kemiri, kelak hancur!”

“Memang apa bedanya, Bu? Toh, sama-sama bakal dihaluskan juga.” Saya menyanggah. Ibu menggeleng.

“Kau tahu setiap manusia ini akhirnya bakal meninggal dan hancur dalam tanah kan?”

Saya mengangguk lantas berucap, “Lalu, apa hubungannya dengan langkah memecah kemiri?”

“Kalau sudah tahu bakal meninggal dan hancur, apa sembarangan juga perlakuanmu saat mengeluarkan bayi dari perut ibunya?”

Saya diam. Tanpa menyanggah saya saksikan ibu memecah kemiri. Gerakannya hati-hati sekali. Persis seperti menolong bayi memecah gelap rahim menuju bumi. Mula-mula ibu menjepit kemiri dengan telunjuk dan jempol, lampau ulekan dia ketukkan sehingga terdengar bunyi kulit keras nan rekah. Ibu kemudian melebarkan rekahan dengan ujung pisau hingga terpisah.

Hasilnya sebiji kemiri nan utuh dan bersih. Saya menerimanya dari tangan ibu dengan takjub. Bagai sekolah lagi, saya dituntun melalui satu per satu proses memasak sayur ini. Proses mengolah ramuan menjadi terpenting menurut ibu, terlihat dari caranya menerangkan satu demi satu.

“Kalau membikin gangan bersantan, bawang merahnya mesti lebih banyak,” beri tahu Ibu seusai merajang bawang di atas ulekan langsung.

“Kenapa begitu?”

“Entahlah. Nenekmu nan mengajari Ibu. Mungkin agar lebih gurih.”

Saya tersenyum kecil. Sebuah penjelasan asal ada. Berbeda semasa kuliah dulu. Segalanya dituntut sumber, dikutip dari penelitian mana, juga tahunnya berapa. Tidak terkecuali urusan bawang-bawangan. Seperti nan pernah tidak sengaja saya baca saat mencari sumber referensi tentang antibiotik alami. Konon bawang merah dan bawang putih bisa digunakan sebagai antibiotik, antiperadangan, apalagi melawan kanker.

Itu sebabnya dulu saya sempat mengira urusan domestik rumah tangga tidak lebih susah daripada mengeluarkan diri dengan kepala tegak dari fakultas kedokteran. Tidak lebih susah dari berjuang lulus dari semua ujian dengan nilai memuaskan. Karena dulu teman-teman saya sering berbicara mau nikah saja jika diterpa ujian macam-macam ditambah tugas beragam. Nyatanya tidak sepenuhnya betul juga. Banyak perihal nan saya tak tahu, termasuk urusan bumbu.

“Haluskanlah,” ujar Ibu setelah selesai meletakkan dan merajang bawang, kunyit, jahe, kencur. lengkuas, juga lainnya di cobek. “Setelah itu kau tumis bumbunya dengan sedikit minyak dan api kecil.”

Ibu kemudian beranjak menuju panci. Ia tampak mengaduk sebentar, mengangkat bergantian potongan ubi kayu, waluh, jagung. Setelah dipastikan agak lunak, ibu kemudian memasukkan potongan kacang panjang. Saya sendiri baru saja selesai mengulek ramuan dan bersiap menumisnya di tungku sebelah kiri ibu.

“Kalau sayurnya sudah lunak. kau masukkan dulu santan encer.”

Saya memperhatikan petunjuk ibu dengan saksama. Memberi catatan mini di kitab nan saya bawa. Sekarang tulisan saya lebih parah dari ceker ayam. Ibu banyak memberi petunjuk dan sigap sekali. Tidak bakal ada salinan materi dari file presentasi. Semua mesti disimak dan dicatat bersamaan.

Setelah letupan pertama, ibu kemudian memasukkan potongan garih, ikan gabus asin nan biasa dijadikan lauk makan. Disusul ramuan nan telah saya tumis tadi.

Komplikasi:

“Kau mesti tahu, Hen, wanita itu seperti sekotak ramuan dapur. Dia nan menentukan seperti apa rasa sajian, rasa kehidupan. Manis, asin, asam, pedas. Kalau dia pandai menakar, setiap rasa bakal seimbang, hasilnya gurih dan terkenang,” ujar Ibu sembari menambahkan gula dan garam.

Aku kemudian dimintanya mengaduk dan menambahkan santan kental. Perlahan- lahan gangan berubah warna dari nan kuning pekat menjadi sedikit lebih terang. Menjelang api dimatikan, ibu menabur rajangan cabe merah besar.

“Ambil mangkuk di rak. Hen.”

***

“Ibu menanak beras usang ya?” Saya mengernyitkan dahi begitu menyendok nasi. Beras usang itu beras lama. Nasinya lebih pera.

“Iya,” jawabnya singkat.

“Kok nan usang, Bu? Kita kan tidak sedang hajatan.”

“Kau tahu kenapa orang acara pantang memakai beras baru?”

“Karena condong lebih lembek. Kalau dimasak jadinya sedikit, bisa-bisa tidak mencukupi jamuan tamu nan datang.”

“Begitulah prinsip orang nan lebih tua. Dia mesti seperti beras usang, mencukupi banyak orang. Ibu berambisi kau juga bisa begitu. Kalau Ibu sudah tidak ada, kaulah nan tertua di family kita, cukupilah siapa-siapa nan perlu dibantu.”

“Bu,” rajuk saya lirih. Sejak Bapak wafat, percakapan tentang kematian memang membikin saya tak nyaman. “Bicara apa Ibu ini. Ibu tetap sehat, pasti panjang umur.”

Ibu mengulas senyum tipis. “Nak, manusia itu seperti sayur dalam semangkuk gangan umbut. Usia nan paling tua serupa ubi kayu, keras, hambar. Usia sepertimu mirip dengan potongan waluh. Tidak terlalu keras dengan sedikit rasa manis. Paling muda ya tidak ubahnya umbut. Lembut dan manis. Semua sama bakal lunak juga setelah dimasak. tidak peduli dia nan paling keras alias lembut. Kita pun sama, bakal wafat juga. Tidak peduli sudah baya alias tetap muda.”

Melihat raut wajah putrinya nan berubah muram, lekas-lekas ibu menyendokkan gangan ke piring saya seraya berujar, “Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Mari kita makan.”

***

Resolusi:

Selepas Subuh saya beriktikad pamit pulang pada Ibu. Libur telah usai dan saya kudu kembali ke rumah sakit segera. Satu kali ketuk, ibu tidak menyahut. Juga ketukan-ketukan berikutnya. Mungkin ibu tertidur selepas berzikir pikir saya.

Namun, perkiraan saya meleset saat mendapati ibu lunglai menyandar di pintu lemari. Tubuhnya tetap terbalut mukena dengan tasbih di tangan. Lekas-lekas saya raba pergelangan tangan dan lehernya. Nihil, ibu telah tiada sebelum saya sempat berpamitan padanya.

Suami dan anak-anak saya menyusul pagi harinya. Pengeras bunyi di masjid lantang mengabarkan kepergian ibu pada orang-orang. Sanak kerabat dan handai taulan kami berdatangan. Proses pemakaman dipersiapkan. Tidak terkecuali sajian pada prosesi turun tanah; hari pertama kematian dimulai sejak jenazah turun dari rumah dan dibawa menuju liang lahat.

“Kau percaya tidak mau pesan jamuan dari katering saja?” Suami saya memandang ragu.

Saya melepas napas. “Saya hanya mau Ibu senang lantaran putrinya bisa memasak. Walaupun hanya satu, itu juga sajian untuk kematiannya.” ***

25. Cerpen berjudul Sesuatu Telah Pecah di Senja Itu

Sesuatu Telah Pecah di Senja Itu

Oleh: Puthut E.A.

Contoh Cerpen

Orientasi:

Mendadak semuanya menjadi begitu penting. Caranya menyingkirkan dengan sabar duri-duri ikan di piringku, suaranya ketika melantunkan doa, wajahnya ketika tak bersuara memikirkan sesuatu. Ah, dia selalu seperti itu. Sama dalam perihal berpikir alias marah: diam. Dengan arah mata ke bawah tertuju pada pucuk hidungnya dan kedua tangannya berjumpa di mulut, seperti tengah membungkam suara. Suatu saat ketika saya tanya mengapa, jawabnya, “Keduanya sama, jangan tergesa-gesa agar tidak ada nan terluka.”

Mendadak semuanya menjadi tidak sederhana. Ia menyetrika sendiri pakaiannya, dia juga sering memasak makanan untuk kami: dirinya, aku, dan Ratri, anak kami nan tetap bayi. Seingatku, dia tidak pernah marah dan apalagi bersuara keras padaku. Ia selalu bisa menunda, dan membicarakannya dengan nada sareh di lain waktu. Suatu saat ketika saya tanya mengapa, jawabnya, “Kanjeng Nabi tidak pernah bersuara keras pada istrinya.”

Rangkaian Peristiwa:

Aku bisa mengingat dengan jelas bahkan, ketika kami berdua baru melangsungkan pernikahan nan sederhana, waktu itu saya sedang haid. Sambil menunggu saya selesai dari rutinitas wanita itu, dia menemaniku dengan langkah mutih, hanya makan nasi dan minum air putih. Hingga tiba saat kami melakukan hubungan saresmi, laku seksual suami-istri, dia mengajakku menundukkan kepala, berdoa. Ketika saya sudah mulai menampakkan tanda-tanda kehamilan, semenjak itu dia melakukan puasa Daud, sehari puasa, sehari tidak puasa, sampai Ratri lahir. Hampir sembilan bulan dia melakukannya. Saat saya tanya mengapa, jawabnya, “Hanya ini nan bisa kulakukan sebagai seorang calon bapak.”

Tapi tidak tepat betul kalimat itu. Ketika saya nyidham, saya menginginkan ikan kali hasil pancingannya. Waktu itu, malam menjelang pagi, dia dengan semangat berangkat berbekal senter, golok, dan garan pancing. Pagi ketika saya bangun, dia sudah ada di dapur memasak ikan hasil pancingannya, menghidangkannya untukku, dan sebagaimana biasa, menyisihkan duri-duri ikan di piringku agar saya tidak kesulitan memakannya. Ketika kandunganku mulai membesar, dia sering mengusap kandunganku sembari nembang lagu-lagu tentang kebajikan. Ketika saya tanya mengapa, jawabnya, “Ia sudah bernyawa dan bisa merasa.”

Dan saya tidak bakal melupakan peristiwa nan ini. Waktu itu kandunganku sudah sangat tua. Soekarno datang ke wilayah kami untuk kembali meneguhkan perlunya mengganyang Malaysia. Aku dan suamiku nan merasa sebagai anak kandung revolusi datang juga. Sebagai seorang aktivis politik nan disegani di wilayahku, semestinya suamiku ada di jejeran bangku depan. Tapi dia menolak. Kalau tidak lantaran saya mengandung tua, tentu dia sudah memilih untuk berdiri di tanah lapang berbareng ribuan orang nan lain. Akhirnya kami duduk di bangku deretan belakang. Ketika aktivitas bubar, dan kami hendak beranjak pulang, seseorang menghampiri suamiku, dia bertanya kenapa saya dan suamiku tidak meminta nama untuk calon bayiku pada Bung Karno? Dengan pandangan mata berbinar ke arahku, suamiku menjawab, “Istriku nan lebih berkuasa memberi nama anak kami. Ia nan merasakan penderitaan orang mengandung.”

Aku memberi nama anakku Wangi Ratri. Malam di saat saya melahirkan, dalam impitan pedih, dalam samar-samar wajah suamiku nan mencoba ikut menguatkanku, saya mencium aroma wangi. Sangat wangi.

Komplikasi:

Aku hanya punya satu malam dalam hidupku. Malam penuh hujan di akhir tahun. Suamiku, dengan linang air mata, memeluk erat. Ia tidak bisa mengatakan sepatah kata pun. Tapi gigil tubuhnya dan kabar-kabar di luar memberiku isyarat kuat. Hujan turun di malam kepergian suamiku. Dengan tetap membopong Ratri saya menutup pintu. Hujan turun menderas di dadaku. Tapi tidak di mataku. Tidak bakal kubiarkan air mataku jatuh di wajah bayiku. Aku tidak mau menularkan kecengengan pada kuncup kehidupan.

Semenjak kepergian suamiku, hari-hariku adalah hari-hari penuh waswas dan ketakutan. Di mana-mana saya mendengar berita dan desas-desus nan membikin merinding. Rumah-rumah dibakar, penculikan, pembunuhan nan dilakukan ramai-ramai. Pada pagi buta kuputuskan pergi pulang ke rumah orangtuaku. Di sana kekhawatiran bukannya mereda. Semakin banyak orang nan meninggal dan semakin banyak kudengar nama-nama orang nan kukenal mati. Aku tetap menahan semuanya, dan berambisi tidak mendengar nama suamiku disebut dalam kabar-kabar jelek itu.

Hingga kemudian di pagi buta, saya dibangunkan oleh bapakku. Dengan segera kubopong Ratri menuju ruang tamu. Aku berpikir, jikalau toh saya kudu mati, saya mau meninggal di depan bayiku. Kalaupun toh saya kudu ’diambil’, saya mau anakku bisa menyaksikan dengan mata timurnya, aku, ibunya, tidak pergi dengan tetesan air mata.

Di ruang tengah saya hanya memandang ibuku, pamanku, dan seseorang nan datang adalah Pono, kawan dekat suamiku. Di depanku dan di depan orangtuaku, dengan bunyi pelan, Pono mengatakan pesan suamiku. Melalui Pono, dapat kutangkap dengan gamblang pesan itu. Suamiku berpesan agar saya tidak berambisi dia pulang, dan dia meminta agar saya bisa menyelamatkan hidupku dan hidup anakku. Suamiku apalagi menyarankan agar saya menikah kembali dengan seorang sahabatnya untuk memperkuat dari situasi nan sangat sulit. Sebelum Pono pergi, saya tetap sempat menghentikan langkahnya di depan pintu, saya menanyakan kejujurannya tentang nasib suamiku, apakah dia tidak bakal selamat? Pono menggeleng kemudian bergegas pergi, menghilang. Aku merasa hidupku ambruk saat itu, tapi air mataku tidak jatuh.

Aku dan suamiku adalah orang biasa. Bagian dari masyarakat nan saat itu dibakar oleh semangat revolusi nan belum selesai. Suamiku hanya seorang pembimbing nan sederhana dan dikenal baik oleh masyarakat. Ia berkawan dan berkawan dengan banyak orang nan apalagi berbeda pemikiran. Rumah kami, nyaris tiap malam, menjadi tempat pertemuan baik untuk kepentingan organisasi nan diikuti oleh suamiku, maupun untuk pertemuan dengan teman-temannya nan lain. Di rumah kami nan sederhana, sering datang seorang mantri suntik nan sangat baik dan seorang seniman nan juga sangat baik serta lembut budi bahasanya. Mereka berdua adalah orang-orang nan satu organisasi dengan suamiku. Pak Mawardi, mantri suntik itu, kudengar meninggal dibakar massa di rumahnya, rumah nan sering dipakai untuk menolong orang sakit tanpa pamrih. Sedangkan Sunardi, seniman nan pandai menari, nan wajahnya sangat ayu dengan kebaikan dan kehalusan hatinya, konon ditemukan tanpa kepala di sebuah parit tidak jauh dari rumah kami dulu.

Aku sungguh tidak tahu kenapa ada pembunuhan demi pembunuhan. Ketakutan ada di mana-mana. Semua orang seperti punya taring, semua udara seperti bertelinga. Banyak orang lenyap tanpa sebab. Desas-desus terus membadai. Malam-malam semakin terasa mengeras. Aku mulai mendengar desas-desus tentang kematian banyak perempuan. Aku mulai mendengar banyak wanita nan diambil menyusul suaminya. Cerita-cerita itu, duh….juga dilengkapi dengan perlakuan-perlakuan keji. Bu Marni boleh mengirim makanan untuk suaminya setelah ’digilir’ para petugas. Seminggu kemudian suaminya meninggal lantaran kelaparan dan siksaan di penjara. Mbak Rukmi menjual semua hartanya untuk ’membayar’ agar suaminya keluar. Uang diterima petugas. Beberapa hari kemudian, dia baru tahu suaminya sudah lenyap dari penjara itu.

Aku semakin waswas dengan keadaan diriku, terutama Ratri. Di masa-masa seperti itu, nyawa begitu tidak berguna. Kehidupan sudah bukan lagi sesuatu nan patut dihormati dan dihayati. Setiap orang bisa lenyap dan meninggal kapan saja. Ia bisa meninggal hanya lantaran pernah datang di suatu rapat. Ia bisa meninggal hanya lantaran pernah berbaur dengan orang nan dianggap berbahaya. Ia apalagi bisa meninggal hanya lantaran sebuah bunyi dan telunjuk nan secara ngawur diarahkan padanya, entah dari perspektif gelap nan mana. Berbulan-bulan saya menanggungnya. Pada malam-malam itu saya selalu menunggu dan berambisi semoga malam itu bukan malam terakhirku.

Hingga kemudian Rahmat datang. Ia datang dengan wajah serba salah dan masygul. Rahmat adalah sahabat suamiku dan sahabat Pono. Mereka bertiga berbeda organisasi politik, tetapi menjalin persahabatan dengan baik. Rahmat anak seorang ustad nan cukup ternama di kecamatan lain. Orangtuanya adalah kenalan baik suamiku dan kawan baik bapakku.

Dengan ditemani kedua orangtuaku, saya menemui Rahmat. Dengan bunyi pelan, Rahmat menceritakan pertemuannya dengan Pono beberapa bulan nan lalu. Pono membawa petunjuk dari mendiang suamiku agar Rahmat bersedia menikahiku. “Saya tidak tahu kudu gimana Mbakyu. Tapi apa pun keputusan Mbakyu, saya manut.” Dan saya memandang air mata Rahmat menggenangi kedua matanya. Mata sahabat suamiku nan santun dan saleh.

Sebelum itu semua terjadi, saya sudah memikirkannya. Mencoba memikirkan dengan jernih. Situasi tidak kunjung membaik. Aku hidup tanpa suami dan dalam kondisi nan memprihatinkan. Aku butuh suatu pegangan, setidaknya lepas dari impitan ketakutan, rasa waswas, dan nasib nan tidak menentu. Aku juga memikirkan Ratri.

Tetapi ketika saya hendak memutuskan, semuanya kembali sebagai sesuatu nan sangat sulit. Duh, Gusti, kenapa pisau uji-Mu begitu landhep, begitu tajam memangkas dan memotong seluruh kehidupanku. “Wuk Cah Ayu, kadang kala banyak jalan hidup nan tidak bisa kita pahami. Hidup ini bukanlah sesuatu nan bisa kita pilih. Ini bukan masalah senang dan tidak senang. Tapi putuskanlah. Sebab hidup ini adalah sebuah keputusan. Juga mungkin nan berasosiasi dengan katresnan. Kamu tidak sedang berhadapan dengan kehidupan nan sewajarnya. Kamu berhadapan dengan bumi binatang.” Bapakku dengan bunyi groyok, seperti menahan tangis, mencoba memberi saran.

Aku mengangguk. Demi hidup ini sendiri. Demi Ratri.

Resolusi:

Tahun-tahun awal pernikahanku dengan Rahmat adalah tahun-tahun nan paling susah kupahami. Semua serba canggung, di antara segala pernik kehidupan sehari-hari, dan kesedihan nan sering menyelinap berkali-kali. Seluruh hal-hal mini nan dulu kuanggap biasa tiba-tiba menjadi penting. Satu kejadian mini tiba-tiba seperti membuka kotak ingatanku. Langkah kaki, bunyi orang bercakap-cakap, derit pintu, terutama jika hujan turun.

Bertahun-tahun saya hanya bisa tak bersuara dengan hati nan sering teriris hanya lantaran ada ikan kali di meja makan. Rahmat bertindak dengan bijak, dia tidak pernah mengail ikan dan tidak pernah makan ikan kali. Bertahun-tahun saya tidak bisa menyangkal suara-suara nan keluar dari mulut Ratri, bunyi anak mini nan renyah tiba-tiba bisa menggaungkan banyak kalimat nan diucapkan oleh jejak suamiku. Dan bertahun-tahun itu pula, Rahmat tidak pernah menagih untuk melakukan hubungan suami-istri. Ia sabar, banyak melayaniku, dan mungkin jauh di perasaannya, saya tetap istri sahabat nan dihormatinya.

Berkali-kali pula saya meminta maaf pada Rahmat, mengaku berdosa karena saya merasa sedang tidak melakukan adil. Tapi dia tetap dengan kesabarannya nan khas, merasa sangat mengerti apa nan saya rasakan. Menurutnya, lebih baik saya tidak berupaya melupakan semua itu. Aku kudu menerimanya, menerima seluruh perihal termasuk kenangan-kenangan nan susah dilupakan. Sebab tanpa itu semua, saya tidak pernah sampai pada kehidupanku nan sekarang ini. Aku tumbuh berbareng seluruh peristiwa dan kenangan. Semua itu sah sebagai bagian dalam hidupku.

Dan saya mencoba menerimanya. Menerima keadaanku, menyadari bahwa semua itu pernah kulalui, dan itu krusial dalam hidupku. Aku mulai menerima bahwa mendiang suamiku sudah tidak ada lagi. Aku kudu menjalani kehidupanku selanjutnya. Dan saya tak hendak membuang seluruh peristiwa berbareng mendiang suamiku dari kenanganku. Tapi tentu saya tidak bakal melupakan kenapa peristiwa sedih itu menimpaku. Aku tidak tahu dosa dan kesalahanku, saya tidak tahu dosa dan kesalahan mendiang suamiku. Seluruh peristiwa nan membuatnya pergi dariku tidak bakal kulupakan dan tidak bakal kumaafkan. Aku bukan memendam dendam, saya hanya tidak memaafkan.

Apa kesalahannya? Bukankah dia hanya seorang pembimbing nan sederhana? Bukankah dia bermasyarakat dengan baik? Ia tidak pernah melakukan kejahatan. Ia bukan pencuri, bukan perampok. Hampir di seluruh hidupnya apalagi digunakan buat kebaikan dan memikirkan orang lain. Apa nan salah dari mendiang suamiku, juga Mantri Mawardi, dan Sunardi?

Setiap kali rasa marah itu memuncak, Rahmat selalu berupaya menenangkanku. Ia mencoba menuntunku untuk berbaikan dengan masa lalu. “Percaya saja balasan itu bakal datang, entah kapan dan datang dari mana. Tapi jika Anda tidak mencoba berbaikan dengan masa lalumu, Anda bakal rugi. Semua itu hanya bakal membikin mereka terus berteriak menyoraki kehidupanmu. Untuk nan seperti itu, saya tidak bakal merelakannya.” Sambil berbicara seperti itu, Rahmat menatap tajam pada mataku. Saat itu. Untuk kali pertama, saya memeluknya, erat. Sangat erat.

Pada akhirnya, saya bisa menerima itu semua. Bukan hanya tentang mendiang suamiku. Tapi saya menerima Rahmat sebagai seseorang nan kupunyai dan kucintai. Jika hidup itu sendiri adalah sebuah keputusan: diterima alias tidak, dilanjukan alias diakhiri. Cinta tidak lebih dari itu semua. Mencintai pada akhirnya adalah sebuah keputusan. Dan lantaran sebuah keputusan, maka beragam pertimbangan sah menjadi landasannya. Pada akhirnya, toh cinta, sebagaimana banyak perihal nan lain: tidak turun dari langit nan gaib. Ia, cinta, hanya bisa diputuskan dan dikerjakan.

Anak keduaku lahir. Seorang wanita cantik, namanya Laila. Ia juga lahir di malam hari. Kelahirannya membuatku semakin percaya dengan jalan hidup nan kutempuh. Kini ada semakin banyak anak-anak angan nan bisa kukerjakan. Kami bahagia.

Lalu datang senja itu. Beberapa hari sebelumnya, saya merasa ada nan asing dengan diriku. Aku sering merasa tiba-tiba ada nan mengagetkanku. Aku merasa tiba-tiba ada mendiang suamiku di dekatku. Aku merasa tiba-tiba sering kosong, mengerjakan sesuatu tanpa kesadaran.

Hingga betul-betul datang senja itu. Awalnya, Laila nan baru saja pulang dari sekolah sore, memanggilku di dapur, katanya ada tamu. Aku bergegas ke depan, tapi saya tidak mendapati apa-apa. Laila juga bingung. Aku nratab, deg-degan tak karuan, entah kenapa. Lalu saya kembali masuk ke dalam, mencoba mempersiapkan masakan di meja makan dengan emosi tidak menentu. Laila lampau masuk lagi ke dapur untuk mengabarkan bahwa ada tamu, tamu nan tadi. Dengan sigap saya keluar. Kali ini, saya betul-betul kaget.

Duh Gusti, Pono! Ia berdiri mematung di depan pintu. Sejenak menatapku, lampau menundukkan kepala. Aku segera menggandengnya untuk masuk ke dalam. Aku membuatkannya teh hangat, tapi perasaanku semakin tidak karuan. Sehabis mempersilakannya minum, pandangku kembali terhenti di depan sosok nan sudah belasan tahun tidak datang dalam hidupku. Ia jauh lebih tua dari usia seharusnya. Tapi saya memakluminya. Hidup nan sadis tentu telah dilaluinya. Ia lebih banyak diam. Setiap kali saya bertanya tentang kabarnya, dia hanya menjawab singkat dengan kata-kata nan tidak jelas. Dan saya mencoba memakluminya. Hidup nan sadis membuatnya tidak mudah mengeluarkan kata-kata. Ia lebih banyak memandang ruang tamu, perkakas nan ada di sana, potret-potret di dinding. Ia seperti mau menanyakan sesuatu, saya menangkapnya sebagai pertanyaan terhadap Laila. “Ia anak keduaku dengan Rahmat. Namanya Laila. Ratri, kakak Laila, sedang pergi dengan suamiku ke rumah neneknya. Tapi dia pasti pulang malam ini. Kamu kudu menunggu mereka.”

Pono diam. Tiba-tiba dia menggeleng cepat. “Tidak, saya kudu sigap pulang.”

Aku agak terkejut dengan jawabannya. Aku merasa ada sesuatu nan hendak dikatakan padaku. Jangan-jangan…..Ah, tapi tidak. Mendiang suamiku sudah pergi. Semoga arwahnya tenang di sisi Gusti Allah.

Pono bangkit. Dan saya tidak tahu apa nan kudu kulakukan. Aku hanya bisa mengantarnya sampai pintu. Beberapa langkah dari pintu, Pono kembali menengok. Ia seperti mau mengatakan sesuatu. Tapi kemudian tetap urung. Ia kembali melangkah pergi. Tanpa kata-kata. Ketika sampai di luar pagar rumah, Pono kembali menengok ke belakang, ke arahku. Benar. Aku sangat percaya ada sesuatu nan mau dikatakannya. Agak lama dia terdiam. Dan dia betul-betul melangkah pergi. Senja membuatnya menjadi bayang-bayang, mengabur, lampau lenyap.

Sebuah kepastian menyergapku kuat. Mendiang suamiku belum meninggal dunia! Dalam ragu, dan rasa tak tentu, saya melangkah keluar pintu rumah. Sampai di pelataran rumah, saya terhenti. Ada sesuatu nan membuatku berakhir mengejar Pono. Aku seperti berada pada satu perbatasan. Batas nan sangat rumit. Dadaku sesak. Senja menggelap di pelataran. Aku terguncang. Tangisku pecah di pelataran. ***

26. Cerpen berjudul Musyawarah Ngengat

Musyawarah Ngengat

Oleh: Geger Riyanto

Orientasi:

Banyak perihal nan tak diketahui manusia dari kami.Yang terutama, manusia tak tahu bahwa kami mewariskan ingatan ke anak-anak kami.Bukan sekadar memaktubkan ingatan badani tentang gimana menggunakan senjatasenjata nan tersedia di tubuh kami,tapi adalah ingatan tentang pengalaman hidup kami.

Ingatan bakal sungguh kami membenci manusia. Hanya lantaran anak-anak kami menggerogoti setitik–dua titik kain nan dikenakannya—karena kodratnya untuk memperkuat hidup—mereka membantai jutaan dari kami dengan cara-cara nan mengenaskan.

Rangkaian Peristiwa:

Pernah saya lolos dari maut hanya untuk memandang gimana kawan-kawanku terbujur kaku dengan wajah nan membiru. Maut nan berbentuk gumpalan awan—yang anehnya terbang jauh lebih rendah dari ketinggian langit itu—ternyata berasal dari tongkat ajaib nan dipegang seorang manusia.

Namun, di antara kawan-kawanku nan berceceran bagai dedaunan nan bakal menyerah kepada terpaan angin, kekasihku—kekasih pertamaku itu—mengangkat kepalanya melawan kematian.Kemudian, sayapnya berangsur meninggi dan bergerakgerak, berupaya mengepak.

Jikalau kau ada di situ, menyandarkan daun telingamu ke keheningan nan mengikuti rombongan kematian itu, kau bakal mendengar jantungku kembali berderap segiat kepak sayap di saatsaat saya menjalin kasih dengannya: saya gembira. Hatiku nan remuk kembali utuh.

Namun, saat dia hendak mendongak, sepertinya untuk membalas tatapanku— dan tentunya menyempurnakan kebahagiaanku—seorang manusia merenggutnya. Dan dengan wajah nan sediam batang pohon, dia merobek kekasihku seperti merobek daun, seperti merobek jantungku di saat nan sama.

Lalu dilepasnya kekasihku ke rengkuhan angin nan menerpa. Kekasihku, dalam kepingankepingan, hanyut ke samudra kematian untuk selamanya. Seandainya saya bisa memilih, saya tak mau mewariskan ingatan getir ini kepada anak-anakku.Namun,aku tak bisa menentang ketetapan Sang Pemberi, entah apa maksudnya,namun kurasa baik.

Lagi pula, ingatan ini bakal mengajar anak-anakku kewaspadaan bakal sungguh bengisnya manusia. Maka, suatu hari kami semua bermusyawarah, merundingkan gimana caranya membalas manusia, mamalia pemegang gelar pembantai terbesar selama abad-abad nan berjalan.

”Apakah kita kudu menyerang mereka secara berdompol seperti nan dilakukan para belalang dahulu, waktu diperintahkan oleh Tuhan untuk menelanjangi kebobrokan Firaun?” usul salah seekor kerabat kami. ”Tidak, saudaraku. Senjata nan manusia gunakan sudah berbeda dengan era Firaun.

Seandainya pun belalang-belalang itu menyerbu Firaun hari ini, mereka bakal segera dilumat dengan awan maut manusia,” jawab tetua kami. ”Tapi,bukankah ada Tuhan?”

”Percuma saja tanpa manusia nabi. Sebab,bila Tuhan datang sendiri tanpa melalui perantaraan manusia nabi, bumi nan terbatas ini dapat luluh lantak dalam sekejap.”

”Lantas,mengapa tak ada ngengat nabi,tetua?” ”Sudahlah.

Sudah sepanjang sejarah, bangsa ngengat merenungkan pertanyaan itu.Tentu musyawarah nan bagai setitik embun dalam sejarah bangsa ngengat ini tak muat untuk merenungkan pertanyaan tersebut.” ”Baik, tetua. Lagi pula,kita sedang mau bertindak,bukan mengeluh.”

Tiba-tiba saya ingat, suatu waktu saya pernah memandang seorang manusia dewasa meronta-ronta, meraungraung selayaknya manusia anak, dan menampar manusia-manusia dewasa lainnya yang, entah mengapa, tertunduk tak bersuara di hadapannya. Lantas, dengan tangannya nan gemulai dia menunjuk-nunjuk ke lubang di bahu baju nan dipakaikan pada sesosok patung manusia.

Komplikasi:

Mengapa sebegitu gegarnya? Kutelusuri dengan waspada busana itu,namun tak kutemukan sesuatu nan berbeda selain di bagian leher busana itu tertempel tulisan ”Guess”. Mengapa manusia dapat kembali menjadi monyet hanya lantaran itu? Sama sekali saya tak bisa mencernanya.

Namun, menyenangkan sekali memandang manusia derajatnya merosot jauh, apalagi di bawah bangsa lintah nan berbesar hati meski menyeret perangkat reproduksinya di atas lumpur. Saling menyakiti satu sama lain hanya lantaran sepotong barang tak bernyawa— nan apalagi tak bisa meruang dalam perut nan lapar.

Dan menurut ingatan nenek moyangku, hanya lantaran itu pun mereka tega saling mencincang dan mengeluarkan isi perut sesamanya. Kalau begini, nampaknya kami para ngengat pun bisa memicu perang bumi manusia ketiga. ”Kurasa saya tahu apa nan bisa kita lakukan, saudara-saudariku,” ujarku dengan tenang.

Akhirnya kami semua menetapkan bahwa siapa pun nan dapat mendaratkan telurnya di busana manusia nan berbubuh tulisan ”Guess”, ”Gucci”, ”Etienne Aigner”,”Marks & Spencer”, ”Boss”, ”Giorgio Armani”, dan lain-lain nan sejenisnya, bakal kami angkat sebagai seekor pahlawan dalam ingatan kami.

Itu adalah penghargaan tertinggi nan bisa diterima seekor ngengat. Kata manusia, hidup kami sangat Shakespearian lantaran kudu memilih antara bercinta alias memperkuat hidup. Benar bahwa laki-laki kami meninggal setelah bercinta dan wanita kami meninggalkan hidup setelah mendaratkan telur.

Tapi mereka,manusia, sungguh tolol dalam mengartikannya.Apakah nan ada di akal mereka hanya bercinta? Kendati pun tak bercinta, darah dan daging kami hanya seusia sekali pergantian musim.Namun, dalam almari kelabu kepala anak-anak kami— manusia menyebutnya otak, tak berselera sekali?—kami menjadi abadi.

Dan dia, nan diangkat sebagai pahlawan dalam ingatan kami,akan terus hidup dalam palungan ingatan semua ngengat sepanjang jutaan tahun nan melintang.Kendati tongkat kekuasaan bumi telah berpindah-pindah tangan.

***

Ingatan nan diwariskan oleh seluruh nenek moyang kami menyatakan diri secara sekaligus dalam akal kami seperti pasar. Dalam lorong ingatan nan berjejalan itu, kami menyaksikan masa-masa surga bagi para ngengat nan datang setelah dinosaurus tiba-tiba punah dari muka bumi.

Dunia betul-betul menjadi milik para ngengat seutuhnya. Betapa indahnya kehidupan saat itu. Namun,masa-masa surga itu dalam sekejap pula musnah lantaran mamalia tiba-tiba muncul dan tak lama kemudian menjadi penguasa dunia. Dalam sekejap berikutnya, ingatan kami tersambung ke ingatan terakhir nan diwariskan kepada kami: gimana ibu kami meninggal.

Ia dilumat dengan sapu oleh mamalia nan menjadi penguasa bumi hari ini. Untunglah, sekilas, sebelum dipukul oleh makhluk nan lebih dingin dari era es itu,ibu sukses mendaratkan kami sebagai telur-telur di atas busana nan membungkus rapat tubuh patung manusia dan bertuliskan ”Marks & Spencer” di lehernya.

Saat itu kami langsung tahu bahwa ibu kami menjadi pahlawan bagi para ngengat. Ingatan-ingatan nenek moyang kami terus berjejalan, membikin emosi kami terbuai di satu waktu, namun terbanting hingga remuk di detik berikut nan menjalin ingatan getir.Kami mau bisa mengendalikannya, tapi tak bisa, karena kami sendiri tak mempunyai ingatan.

Di antara litani ingatan nenek moyang nan riuh menyesaki akal kami, kami tak mempunyai ingatan nan berasal dari pengalaman kami sendiri. Sejak kami menetas dari telur, kami tak menyapa apa pun, selain kegelapan. Tapi, di sekeliling kami tersedia banyak sekali makanan dan semuanya melelehkan wewangian bumi dalam mulut kami: wol, katun, sutra, kasmir, apalagi bulu beruang.

Maka, kerja kami hanyalah makan alias mendengarkan bunyi kami sendiri mengunyah dan mencerna, memecah kesunyian sepanjang kehidupan ini. Kesenangan mini itu kudu berakhir, karena mulut kami dengan sendirinya tiba-tiba memuncratkan berhelai- helai serabut nan memintal tubuh kami,lalu membungkusnya rapatrapat.

Rupanya kami masuk ke masa kepompong, masa nan membunuh kami dengan kebosanan. Dan jika bukan kebosanan nan menambatkan belenggunya di pikiran kami,tentu tak lain adalah ingatan nenek moyang nan merobek-robek hati kami, namun kemudian menjahitnya kembali, namun lantas merobeknya lagi.

Namun, bakal tiba saatnya untuk mengakhiri semua ini. Saat di mana sayap kami tumbuh,membelah udara hening nan sedari awal menyelimuti punggung kami.Saat bagi kami untuk melawan style tarik bumi nan menindih kami dalam ketidakberdayaan, dan kemudian terbang membelah kesunyian. Menerabas kegelapan ini. Merayakan keabadian ibu kami berbareng saudara-saudari ngengat nan menanti kami di luar kegelapan ini. ***

Resolusi:

Seandainya usia ngengat-ngengat itu mencapai satu tahun, barulah mereka bakal menyapa cahaya, kebisingan, dan bumi luar—barulah mereka bakal mengalami hidupnya sendiri sebagaimana nan mereka impi-impikan sepanjang hayat. Namun tidak. Ngengat terakhir meninggal pada hari keseratus sepuluh.

Menyisakan sekitar dua ratus empat puluhan hari lagi sebelum Natal selanjutnya, sebelum lemari kayu oak nan kokoh dan bergaya unik Yunani itu dibuka untuk menyimpan gaun-gaun baru bertuliskan ”Gucci”dan ”Giorgio Armani”. Dan sinar nan akhirnya menyelisik masuk ke lemari nan rapat itu, menyapa ngengat-ngengat nan sudah berceceran ibaratkan daun.

Menyapa busana-busana bergengsi nan sudah berlubang dan compangcamping tak karuan ibaratkan medan perang. Menyapa kesunyian nan sejenak pernah diisi oleh kepak sayap para ngengat nan berselera membelah kegelapan, tapi tak bisa: apa daya makhluk setipis daun dan tiga senti melawan kayu oak raksasa nan kokoh?

Namun, apa nan direncanakan dalam musyawarah ngengat tak pernah berhasil—kendati martir telah berguguran.Sebab sang nyonya besar melemparkan busana barunya ke dalam almarinya dan langsung menutupnya, tanpa sepintas pun menoleh ke gaungaun lamanya nan sudah dibabat oleh sepasukan ngengat muda nan semusim lampau menetas di atasnya.

Lantas,ia melanjutkan hidupnya nan ganjil, tanpa kekurangan sesuatu apa pun. Para ngengat nan bekerja mematamatai istana sang nyonya besar kian tidak bisa memahami perilaku makhluk berjulukan manusia ini. Mereka pun berpikir, siapa pula ngengat nan mampu.

Maka, peristiwa ini sepatutnya menjadi persoalan baru untuk dipecahkan dalam musyawarah besar ngengat selanjutnya. Dan mungkin ngengat nan dapat betul-betul memecahkannya kali ini patut diganjar Nobel Perdamaian Ngengat. ***

Baca Juga: Belajar Menyunting Karangan Sebelum Dipublikasikan | Bahasa Indonesia Kelas 9

27. Cerpen berjudul Reinkarnasi Ibu

Reinkarnasi Ibu

Oleh: Dian Hartati

Orientasi:

Akhirnya mobil itu meninggalkan lapangan parkir nan basah. Hujan sedari pagi membasahi jalan-jalan kota nan dipenuhi guguran daun. Di dalam mobil terlihat seorang wanita menangis dengan hening. Tak ada nan ditatapnya selain jalanan nan sepi. Tangannya sibuk di belakang kemudi. Sesekali dia mengusap air mata. Tak ada nan abadi, pikirnya. Tak ada nan kekal selain perubahan.

Rangkaian Peristiwa:

Dia ingat ketika tiba-tiba saja ayahnya mengabarkan kematian seorang ibu. Kenangan nan berloncatan muncul di tidur malamnya. Ibu nan disayangi kudu pergi tanpa dimengerti. Perempuan itu bertambah dewasa dan selalu riuh dengan keseharian. Akhirnya dia berupaya melupakan siapa ibunya, gimana rupa wajah, dan berupaya melupakan siapa nan melahirkannya. Waktu telah mengubah dia dengan segala fisiknya.

Tapi, pagi ini wanita muda itu menemukan kembali gambaran ibu kandungnya. Di tempat dia bekerja: sebagai tukang sapu. Kenyataan tak diterima wanita itu, ibu nan dia lupakan datang kembali dengan status nan lebih rendah.

Kelebat waktu nan berloncatan menimbulkan lelatu pada gambaran masa lalu. Ditemuinya tukang sapu nan sedang sibuk mengelap kaca-kaca jendela di dalam ruangan ber-AC itu, ditatapnya lekat-lekat. Mulutnya tiba-tiba saja kaku tak dapat berbicara apa pun. Kata-kata nan sudah diaturnya tiba-tiba saja tertahan di pita suara. Perhatiannya tak lepas dari wajah nan mulai memunculkan keriput-keriput. Ira tak mau kalah seperti kemarin nan langsung pulang untuk menghilangkan ketidakpercayaan. Jalinan masa lampau membawa Ira pada ibu di tahun 80-an. Pada penderitaan sebuah hati nan kudu pergi berbareng waktu untuk berubah.

***

Komplikasi:

Tapi mencapai reinkarnasi itu memerlukan waktu ratusan tahun di alam sana. Perputaran lahir dan meninggal bukan waktu nan sekejap. Ada proses nan rumit, dan saya sendiri tak mengerti. Tak semudah membalikkan keadaan. Sekarang ini baru beberapa tahun berlalu. Dia muncul dengan keadaan nan begitu spesial di instansi ini. Tukang sapu! Sosok nan asing muncul setelah proses nan rumit. Aku pikir bakal datang seorang sosok nan lebih baik. Ternyata…. Tak kubayangkan dia kudu menjadi ibu kedua dalam hidupku. Ibu nan tak pernah saya sangka dan pernah saya lupa. Kubayangkan ibu baruku seorang tathagata, tapi bukan. Dia hanya seorang nan mungkin kusesali kehadirannya.

Begitu saja lelatu itu menyulut kerinduan bakal sosok ibu nan tak pernah saya ungkit selama ini. Di mana duniaku berasosiasi berbareng keriuhan kota nan menjelma menjadi kesibukan-kesibukan. Ah… kusingkirkan sosok itu, tak kubiarkan pusat perhatian beranjak pada wanita nan belum kukenal. Entah siapa dia, dan dari mana datangnya saya tidak tahu. Kembali saya sibuk, membiarkan wanita itu bekerja sampai meninggalkan ruang kerjaku.

Pada titik-titik kejenuhanku, muncul kemauan untuk mengenang masa lalu. Kembali ke desa sejenak, mengunjungi family ayah di sana. Tapi kuhentikan keanehan ini, mungkin ini timbul lantaran hadirnya wanita itu. Tak asing jika itu nan  terjadi, lantaran selalu saja tanpa diperintah tukang sapu itu selalu mencuri perhatianku. Seolah tahu bahwa saya pernah mempunyai seorang ibu nan mirip dengan dia.

Kuangkat telepon dan terdengar seorang nan berupaya meyakinkan saya bahwa tukang sapu itu ibuku nan kembali setelah bereinkarnasi. Kutanyakan siapa penelepon itu tapi seseorang di sana tak menjawab dan menutup sambungan telepon. Aku tak memedulikan semua itu, saya kembali sibuk dengan pekerjaanku.

Satu sore ketika hendak meninggalkan kantor, saya dan tukang sapu itu berada dalam satu lift. Turun lampau menuju luar gedung. Aku tunjukkan sikap sebagai ketua tapi apa nan terjadi tukang sapu itu sengaja mendendangkan sebuah lagu. Lagu nan tak asing lagi bagiku, lagu nan sering mengantarkan saya ke bumi mimpi. Ya, lagu nan saya hafal bahwa itu adalah lagu nan Ibu buat untukku lantaran saya susah tidur ketika kecil.

Setelah memandang gugusan bintang dan sabit malam, saya segera mendorong Ibu ke kamarku untuk menunggui saya tidur. Karena juga tak terlelap, Ibu menyanyikan lagu pengantar tidur untukku. Lagu nan menceritakan hujan, angkasa, bidadari, dan istana langit. Mendengar lagu Ibu, saya semakin tak dapat tidur. Aku meminta Ibu bercerita tentang hujan, angkasa, bidadari, dan istana langit. Aku mau ke sana ke istana langit, tempat kakek dan nenek nan tak pernah saya jumpai dan selalu mendoakan saya nan ada di bumi. Tapi Ibu berbicara bahwa nan bakal berbareng kakek adalah Ibu terlebih dulu dan kemudian Ayah. Aku hanya merengut tanpa mengerti apa nan Ibu maksud dengan kata-katanya. Aku pun terlelap setelah capek mendengar dongeng Ibu.

Lagu nan saat ini digumamkan oleh tukang sapu itu adalah lagu pengantar tidurku. Aku tak mengerti kenapa dia tahu tentang lagu itu. Aku tak jadi bersikap pongah terhadap tukang sapu itu. Tapi saya tak mau dia masuk ke dalam kehidupanku sebagai ibu nan sekian lama saya tunggu kehadirannya.

Memang setelah kepergian Ibu, beberapa tahun kemudian Ayah turut menyusulnya. Aku dititipkan pada salah satu family di Jakarta, sampai akhirnya Jakarta menjadi tempat hidupku sampai kini. Kejadian nan Ibu pesankan lewat lagu pengantar tidur itu baru saja saya sadari setelah keberadaan tukang sapu dalam lift tadi sore.

Resolusi:

Kembali saya ke instansi pagi hari. Aku temukan surat tak bernama.

Ira, saya ibumu nan telah kembali
Mengapa tak kau akui saya sebagai ibumu
Ira, Ibu tahu kau selalu kangen bakal sebuah kasih sayang

Bersama surat tak berjulukan itu, saya temukan setangkai kembang sedap malam. Sedap malam nan tetap kuncup hijau. Sedap malam nan kemudian saya hirup wanginya dalam-dalam. Belum begitu harum, tapi saya suka sedap malam nan tak mekar dan nan mengetahui ini hanyalah Ibu. Aku cari tukang sapu itu, tapi saya mendengar dia tak masuk kerja hari ini dan tak ada nan melihatnya sejak pagi. Jadi, siapa nan membawa bingkisan masa lampau berbareng surat tak berjulukan itu?

Telepon berdering dan saya mendengar seseorang berkata. Aku kenal bunyi itu, bunyi Ibu tengah menyuapi saya waktu pulang bermain.
Ira kau suka ini, Sayang. Bacem tempe masam manis, kau suka, bukan? Ayo makan nan banyak, kelak main lagi. Cepatlah Ira, Ibu sedang menunggu kehadiran Ayah siang ini.

Siapa? Aku tanya dan telepon langsung diputus. Setelah itu saya tak pernah menjumpai tukang sapu itu. Dia pergi seperti lelatu nan lenyap terkena oksigen. Aku pastikan dia bukan ibuku, tapi apa nan dikatakan hatiku bukan itu. Apalagi saya mulai merindukan kehadiran tukang sapu itu.

***

Ibu tahu kau bakal merindukan kasih sayang, Ira

Kau tak boleh merendahkan saya sebagai tukang sapu

Ira, saya ibumu tapi kau tak mau mengerti

Ibu mau kau menghargai waktu, tukang sapu, dan perubahan

Secarik kertas kembali saya temukan di meja kerja. Bersama kuncup sedap malam nan cantik. Kini saya tahu bahwa tukang sapu itu ibuku, tapi semuanya terlambat.

“Ibu, saya belum siap engkau bereinkarnasi lagi!”

***

Sebuah mobil mewah meninggalkan lapangan parkir nan basah. Di dalamnya seorang wanita menangis memanggil sebuah nama.

“Ira, Ibu takkan bereinkarnasi lagi!”***

28. Cerpen berjudul Ziarah

Ziarah

Oleh: Dewi Kharisma Michellia

Orientasi:

21 APRIL 1978.

Begitu tertera pada dua kayu nisan nan tertancap di puncak bukit pagi itu. Dengan cuaca nan sama, dua puluh tahun lalu, saya ingat betul, saya nyaris tak mengenali separuh orang nan berdiri mengelilingiku di bawah payung-payung gelap mereka.

Melintasi sepanjang jalan setapak kembali ke rumah, saya ingat gimana saya dibawa pergi oleh mobil-mobil panjang besar, oleh orang-orang nan belum genap sehari kukenal. Tengah malam di waktu sebelumnya, family tante nan tinggal di sebelah rumah—satu-satunya tetangga nan ketika itu dekat dengan keluargaku—mengantarkan mereka kepadaku. Masih separuh terjaga di sebelah peti meninggal kedua orang tuaku, saya mendengar percakapan mereka, namun tidak kuteruskan.

Mereka menghampiriku dan memperkenalkan diri sebagai kerabat dari pihak ayah, tempatku berlindung setelah segala prosesi pemakaman orangtuaku berakhir. Saat itu saya sungguh takut.

Rangkaian Peristiwa:

Masih kuingat betul apa nan menyebabkan kedua orangtuaku berpulang. Saat mendapat kabar, sepulang dari berburu kelinci berbareng teman-teman sebaya, saya berlari menyusuri jalan setapak berkilo-kilometer jauhnya, hanya untuk memastikan saya tetap bisa menyelamatkan kedua orangtuaku.

Saat saya datang, api telah melahap penyimpanan tempat ayahku biasa bekerja. Aku berkeliling ke dalam rumah, mencari ibu. Kudapati, para tetanggaku berupaya memadamkan api dengan baskom-baskom kayu berisi air. Beberapa dari mereka bilang ibuku juga terperangkap di dalam rumah.

Segala upayaku untuk dapat mencapai penyimpanan digagalkan. Mereka beramai-ramai memelukku dan menghentikan niatku menerobos api. Mereka menghentikan segala teriakanku dan mendekapku seerat mungkin.

Komplikasi:

Api akhirnya padam berjam-jam kemudian, dan nan kudapati sesudahnya hanyalah tengkorak ayah dan ibuku dengan sedikit sisa daging dan kulit nan terbakar, mereka terikat saling memunggungi pada tiang besi nan sebelumnya tak pernah kulihat. Satu nan kutahu. Pastilah Tuhan tidak dengan sengaja meletakkan besi di sana dan memanggang kedua orang tuaku di penyimpanan itu. Pasti ada orang lain nan melakukannya.

Kurasa pekerjaan ayahkulah nan menyebabkan perihal itu terjadi. Hingga kini, saya tak mengerti apa nan dilakukan ayah di ruang kerjanya, padahal dulu ibu pernah bilang suatu saat saya bakal tahu.

Hari ini, memasuki ruang tengah, sepenjuru rumah kayu itu telah dipenuhi tumbuhan merambat. Padahal dulu di sana saya pernah duduk, menantang dengan dada membusung, berhadapan dengan orang-orang nan tak kukenali siapa.

“Kami bakal mengajakmu kembali.” Masih kuingat seorang laki-laki jangkung berkulit bersih dengan kacamata bergagang bulat duduk di tengah-tengah, berhadap-hadapan denganku. “Di sana kakek dan nenekmu menunggu. Keluarga besar bakal menghidupimu.”

Aku tak pernah tahu kakek-nenekku tetap hidup. Ayah dan ibu tidak pernah menceritakan apa pun tentang masa lampau mereka, selama belasan tahun di awal hidupku, saya menerima realita itu begitu saja; seolah orangtuaku betul terlahir dari batu.

“Saya adik ayahmu.”

“Saya tidak percaya.”

“Kami tahu Anda perlu bukti. Ayahmu dan istrinya mengasingkan diri mereka kemari segera setelah ayahmu menamatkan kuliah di Belanda. Dalam arsip ini Anda bisa menemukan segala perihal tentangnya.”

Saat itu dia menjetikkan jari dan beberapa orang pesuruh masuk ke dalam ruangan dengan mengangkat peti-peti besi di pundak mereka. Semuanya kemudian diletakkan di hadapanku.

Pria itu sedikit memundurkan badannya dan membukakan gembok nan mengunci peti dengan kunci mini dari dalam sakunya, menunjukkan semua arsip tentang kehidupan ayahku.

Aku terkesima. Ayahku bukan orang biasa.

Aku membaca beberapa potongan kliping surat kabar nan bercampur dengan arsip pribadi ayahku, saya membaca pemberitaan mengenai orang tuaku. Tentang hilangnya dua tokoh krusial dalam sejarah kemerdekaan. Mereka. Mereka mengasingkan diri ke tengah rimba segera setelah peristiwa gestapo terjadi. Dua tahun setelahnya, saya lahir. Bahkan ketika itu saya bisa mengerti, mulai bertanya-tanya tentang apa nan sebenarnya dikerjakan ayah? Ibu seperti apa nan melahirkanku dari rahimnya? Mereka melakukan…. Hal-hal yang, saya tak tahu apa dasarnya.

Segalanya seolah betul-betul menjadi mimpi ketika laki-laki itu berkata, “Kami rasa Anda tidak bakal punya pilihan lain, selain ikut berbareng kami.”

***

Resolusi:

Mulailah aku didandani selayaknya wanita pada umumnya. Gaun berpita, sepatu balet warna hitam, dan kalung mutiara. Rambutku nan biasanya kugelung lantas disisir dan diikat pita. Aku dibedaki dan bibirku diberi gincu, pipiku merona merah akibat sapuan pewarna pipi, dan alisku dibentuk.

Setiap hari saya mendapatkan materi tambahan di rumah. Diajari langkah memanah, bertata krama, dan ekonomi serta politik negara. Terkadang, saya juga bermain-main dengan tabung dan botol-botol berisi unsur kimia. Sesuatu nan orang-orang pikir pastilah dapat saja menurun dari kedua orang tuaku. Baru kutahu, kedua orang tuaku adalah Kimiawan. Senyatanya, hingga berminggu-minggu setelah mereka memberikan pendidikan itu padaku, saya tetap tak menunjukkan talenta apa pun.

Selain pendidikan nan diberikan di rumah, saya tidak lagi berguru di HIS, di mana para bumiputera biasa duduk belajar berbareng keturunan Belanda, kali ini saya pergi ke ELS, tempat di mana peranakan Cina sepertiku, menurut keluargaku—aku tak lagi asing terhadap mereka, patut pergi menapasi ilmu. Di depan cermin kuamini pernyataan mereka, kulitku memang kuning langsat dan mataku sipit, baru kusadari setelah saya tinggal berbareng mereka.***

29. Cerpen berjudul Kelelawar di Atas Kepala Mama

Kelelawar di Atas Kepala Mama

Oleh: Erna Surya

Kelelawar di Atas Kepala Mama

Orientasi:

Mama tak pernah marah padaku. Ia selalu muncul sebagai peri nan cantik. Rambut panjang ibu tergerai indah, itu nan selalu kulihat. Selebihnya, bunyi lembut nan kudengar jika dia dekat-dekat denganku. Mama tak pernah meninggalkanku di malam hari. Pernah saya tersedak ketika tengah makan malam. Ia menepuk-nepuk punggungku seraya berkata, ’’Tak apa-apa.’’ Ah, ibu nan baik.

’’Kau sudah besar.’’

’’Belum, Ma.’’

’’Ini tinggimu sudah sebahu Mama.’’

’’Mama nan terlalu pendek.’’

Lalu kami berdekapan. Pelukan Mama menjadi sesuatu nan menenangkanku. Juga saat sekelompok kelelawar datang padaku di tengah malam. Aku bangun. Kaget. Keringat dingin mengucur. Aku bilang, saya takut Ma. Kelelawar itu banyak sekali. Awalnya mereka hanya terbang di dekat jendela. Aku diam. Lalusatu kelelawar masuk lewat lubang celahudara. Aku mulai takut. Dan akhirnya semua kelelawar itu terbang di atas kepalaku.

Rangkaian Peristiwa:

’’Mama!’’ pekikku.

Kelelawar jatuh di atas kepalaku. Tak hanya satu. Tapi segerombolan. Seekormenutupi mulutku. Lalu mataku. Lalu telingaku. Hingga seluruh kepalaku terbenam. Mama datang, kelelawar pun pergi. Wajah ibu merah. Baru sekali ini saya memandang Mama seperti itu. Biasanya wajah Mama putih bersih. Mengapa sekarang merah?

’’Jangan teriak-teriak!’’

’’Aku takut kelelawar.’’

Mama menuju ke jendela, membuka sebentar, lampau menutupnya kembali.

’’Sudah pergi semua.’’

Aku diam.

Pagi harinya, Mama tetap dengan wajah merah. Aku menunduk, tak berani tanya. Sudahlah, nan krusial Mama tak apa-apa, pikirku. Merah di pipi Mama tak lenyap juga. Padahal sudah berbulan-bulan terlewat. Aku tetap memandang semburat merah pipi Mama meski tipis. Awalnya saya takut. Namum lama-lama terbiasa juga.

Kelelawar dan merah pipi Mama sekarang tak asing lagi. Mama lebih sering menemaniku. Sebenarnya, saya tak terlalu butuh ditemani. Kelelawar tak membuatku takut lagi.

’’Mama nan butuh ditemani, Sayang,’’ katanya.

Mama jadi sering tidur di bersamaku.

***

PIPI ibu semakin memerah jika usai menelepon. Entah dengan siapa. Setidaknya itu nan kulihat.

Kriiinnggg….

Mama segera beranjak jika mendengar bunyi telepon. Ia tak jadi menyuapiku. Aku melongo saja saat memandang langkahnya menghampiri gagang telepon, dan mendengarnya tertawa cekikikan. Aku kudu makan sendiri, tak mau merepotkan Mama lagi. Maka kubiarkan Mama enak-enak dengan teleponnya, dan saya enak-enak dengan makananku.

’’Apa Papa mau pulang, Ma?’’

’’Masih lama, Sayang,’’

’’Mama tampak senang sekali.’’

’’Ya, memang. Mama sedang bahagia.’’

Lalu pipi Mama memerah lagi. Jujur, saya suka Mama nan seperti ini. Tak murung lagi. Dulu, Mama lebih sering terlihat sedih. Pipinya tak semerah ini. Aku sering melihatnya menangis di tepi kolam. Waktu itu dia duduk di tepi kolam sembari kakinya menjulur masuk ke dalam air. Aku tak berani mendekat, hanya memandang dari kejauhan saja. Meski jauh, saya dapat memandang Mama tengah mengusap pipinya, tak merah seperti ini.

Biasanya, pipi merah Mama bakal tampak setelah kepulangan Papa. Satu alias dua hari setelah Papa pergi lagi, merah pipinya luntur kembali. Papa hanya pulang sesekali saja. Ia masuk kamarku, mengecup keningku, lampau segera menuju kamarnya. Itu nan sering dia lakukan. Aku sampai tak hafal aroma keringat Papa. nan saya tahu, perut Papa gendut dan bulat. Wajahnya lucu. Hanya itu saja. Hanya satu alias dua hari saja perjumpaanku dengan Papa. Lalu dia pergi lagi.

’’Papa kerja dulu, Sayang.’’

Dan Papa pun pergi lagi sampai berminggu-minggu.

Namun sekarang merah pipi Mama tak surut juga. Padahal sudah berminggu-minggu nan lampau Papa pergi. Aneh.

Komplikasi:

’’Kita kudu pergi, Sayang. Ini darurat.’’

Aku kaget. Pagi tetap buta sekali. Dan saya tetap mau tidur.

’’Mau kunjungan ke kota tua, Ma?’’

’’Tidak.’’

Lalu Mama menggandengku, separuh paksa. Aku menuruti langkahnya. Kami menuruni tangga, menuju mobil, keluar gerbang, semua serba terburu-buru.

’’Iya sayang, saya bakal menyusulmu,’’ Mama bersuara dengan teleponnya.

Mobil dipacu Mama dengan sigap sekali. Aku sampai takut. Kami melaju di tengah kota nan tetap lengang. Mobil keluar dari perkotaan dan melewati jalanan nan sepi. Aku tak tahu kemana Mama bakal membawaku. Aku berpegangan erat pada jok mobil. Mama menyuruhku duduk di belakang, dan dia mengemudikan mobil.

Jalanan tetap lengang. Ketika saya tanya hendak ke mana, Mama malah membentakku. Aku mengangis. Lalu Mama menyuruhku diam. Aku sedikit takut. Mama tak pernah membentakku seperti ini. Bahkan ketika saya buang air di celana pun, dia tak pernah marah. Namun kenapa Mama sekarang jadi seperti ini?

Dari kaca, saya memandang wajah Mama. Cantik dan merah. Namun merahnya bukan seperti nan kemarin. Kini merah padam. Mama sekarang lebih terlihat seperti iblis. Menyeramkan.

Mobil berhenti. Aku memandang ke luar. Mama menyuruhku untuk tetap tinggal di mobil. Ia keluar lampau masuk ke dalam sebuah rumah kecil. Aku takut. Aku mau ikut, namun Mama melarang. Aku menunggu dengan cemas. Mungkin inilah kali pertama saya merasakan kekhawatiran dalam hidupku. Mama tak penah meninggalkanku sendirian seperti ini.

Aku kaget ketika pintu mobil dibuka. Mama duduk di depan. Seorang laki-laki dengan tato di lengan kiri tengah duduk di belakang kemudi. Aku takut. Badanku menggigil. Aku meraih jaket Mama, menutupkannya di wajahku. Lelaki itu tak pernah kulihat sebelumnya. Sepanjang hidup, saya hanya mengenal tiga lelaki, Papa, Pak Sopir, dan tukang kebun rumah kami.

’’Kamu bawa anak ini?’’

’’Iya. Kenapa?’’

’’Dia bakal menyusahkan.’’

’’Tapi dia anakku.’’

’’Ah, terserah kau saja. Tapi saya tak mau dipusingkan dengan anak idiot.’’

’’Jaga mulutmu.’’

Lalu semua diam. Jalanan mulai lengang. Aku tetap tak bersuara dengan wajah tertutup jaket. Hanya sesekali saya mencuri pandang lewat celah jaket nan sengaja kubuka. Mama menutup mata, entah tidur alias hanya pura-pura tidur. Tiba-tiba jalanan gelap. Aku membelalakkan mata, jaket kuletakkan, mencari seberkas cahaya. Sekawanan kelelawar menutupi mobil nan kami tumpangi. Aku semakin takut. Aku sudah terbiasa dengan puluhan ekor kelelawar. Namun mungkin ini ribuan.

’’Mama!’’ pekikku.

’’Nah kan, anak idiot ini merepotkanmu.’’

’’Diam, Sayang.’’

’’Mama, saya takut kelelawar.’’

’’Tak ada kelelawar, Sayang.’’

’’Itu,’’ saya menunjuk kepala Mama, seekor kelelawar besar berada di atasnya.

Aku memandang laki-laki itu tersenyum. Wajahnya seperti kelelawar.

’’Mama, kelelawar itu menarik rambut Mama.’’

’’Suruh anak itu diam!’’

’’Diamlah, Sayang.’’

’’Mama, saya takut.’’

’’Diaammmmm!’’

Aku menutup wajah rapat-rapat. Teriakan laki-laki itu membuatku takut. Mobil kami melaju semakin kencang. Mama berteriak-teriak. Aku tetap menutup mata. Aku takut dengan kelelawar di atas kepala Mama. Lelaki itu sepertinya memukul Mama. Aku takut. Mama menangis.

’’Brengsek Anda ternyata….’’

’’Diam!’’

’’Aku mau pulang. Kembalikan semuanya!’’

Lalu semuanya hening. Mama luka di bagian kepala. Aku membuka mata dan memandang laki-laki itu pergi.

’’Mama, kelelawarnya sudah pergi semua.’’

Aku menyeka kepala Mama. Darah menempel di jariku. Lelaki itu tak kembali juga. Aku iba dengan Mama. Namun semua gelap ketika laki-laki itu muncul dengan tiba-tiba.

’’Mama.’’

Dan semua betul-betul gelap.

***

’’Untunglah anak ini selamat.’’

’’Iya, syukurlah.’’

Aku membuka mata. Beberapa kelelawar nan menutup mataku tadi telah pergi.

’’Mama,’’ saya memanggil Mama. Apakah kelelawar di atas kepalanya telah pergi?

’’Ini ada Papa, Sayang.’’

’’Mama.’’

Aku memandang Papa dengan wajah lucunya, tak seperti kelelawar. Segera kuraih pipinya, mencari kelembutan sisa-sisa rayuan Mama di sana. Tak ada kelelawar di atas kepala Papa, tak seperti kepala Mama waktu itu.

’’Pak, ada arsip nan kudu diisi. Pihak kepolisian sudah menunggu.’’ Seseorang mengagetkan Papa.

’’Jadi siapa nama Anak ini?’’

’’Sean.’’

’’Umur?’’

’’10 tahun.’’

’’Jadi apa saja nan dirampok, Pak?’’

’’Mobil, perhiasan, dan anehnya, sertifikat tanah kok bisa ikut dibawa di mobil, itu nan sedang saya pikirkan.’’

’’Baik Pak, untuk kasus perampokan ini, kami bakal menindaklanjuti lebih jauh.’’

Aku memandang laki-laki dengan baju cokelat dan topi nan lucu. Lalu Papa berlalu bersamanya.

Resolusi:

’’Papa.’’

Papa menoleh ke arahku.

’’Ada Mama. Di situ. Dengan kelelawar,’’ saya menunjuk pojok ruangan. Mama tersenyum dengan wajah merah dan kelelawar di atasnya.

Papa tersenyum. Seseorang di sampingnya kaget.

’’Dia belum tahu bahwa mamanya sudah meninggal.’’

Lalu Papa melangkah pergi. Benar-benar pergi. Dan Mama tetap berdiri dengan wajah merah dan kelelawar di atas kepalanya.

’’Mama, kelelawar itu menarik-narik rambut Mama.’’ Namun Mama hanya tersenyum. Papa telah lenyap di kembali pintu. Dan sekarang Mama lenyap ke dalam tembok.

’’Sean, jangan bandel ya!’’ seorang wanita mendekatiku. Ia bukan Mama.

’’Ada kelelawar di atas kepala Mama. Mereka menarik-narik rambut Mama,’’ saya mengucapkannya berkali-kali.

Baca Juga: Mengenal Syair: Pengertian, Sejarah, dan Jenis | Bahasa Indonesia Kelas 9

30. Cerpen berjudul Sayup Tifa Mengepung Humia

Sayup Tifa Mengepung Humia

Oleh: Massha Guissen

Orientasi:

Kelak setelah dimiliki Bone, Waita bakal menempati humia baru. Tidak lagi berbareng Mama Aname. Waita bakal menjadi ibu baru di humia barunya, seperti seekor cendrawasih membikin sarang baru di dahang laingliu. Bone menegakkan humia dengan tiang utama dari batang bohon soang nan berbulan-bulan direndam dalam aliran sungai warsor. Deras sungai warsor bakal menguatkan batang soang. Waita bakal segera dinikahkan di depan para tetua dan dukun Hobone, kemudian menuju Soroani, dusun Bone.

Mama Aname telah menerima banyak mas kawin dan kekayaan budaya dari Bone; lima ekor wam, tiga tali ijebasik, lima buah wanggokme yang kudu diasah oleh mempelai laki-laki, dan tiga ikat ebekanem. Mas kawin dan kekayaan budaya begitu besar dirasa sepadan dengan Waita, penari hunuke paling sintal di Hobone. Betisnya sepenuh paruh kasuari, lambang kebanggaan orang-orang Hobone. Dadanya ranum, kencang, dan tidak terlalu besar. nan lebih menjadikan Waita kekayaan berbobot adalah beberapa hari sebelum Bone melamar, Waita melakukan upacara muruwal bagi wanita Hobone. Upacara pengenalan tugas perempuan, setelah darah kali pertama menetes dari selangkangan. Darah itu kelak bakal menandakan ketangguhan wanita Hobone. nan siap membahagiakan suami, memelihara babi dan kebun sagu, serta melahirkan banyak anak lelaki.

Rangkaian Peristiwa:
“Mama, apa wanita tak boleh menikah dengan laki-laki nan dicintai?” tanya Waita kepada Mama Aname nan sedang mewarnai tubuh Waita. Aroma babi bakar masuk ke dalam humia mereka.

“Tentu boleh, Waita.”

“Apa Waita bisa menolak pernikahan jika tidak suka dengan calon suami?”

Mama Aname terdiam. Tangannya nan belepotan cairan kapur dan jelaga pembakaan kayu kasuari berhenti. “Kamu sudah menjadi yomine, Waita.”

Waita diharapkan bisa meredam bentrok antara Hobone dan Soroani. Bibit permusuhan sudah lama terperam. Hanya lantaran dua dusun itu berbeda nasib. Hobone nan berada di soli, wilayah lebih tinggi dan lebih subur. Tidak pernah merasakan kelaparan, betatas dan ubi tersedia sepanjang tahun. Adapun Soroani berada lebih bawah, olobok, nan tidak sesubur Hobone.

Permusuhan itu kembali tumbuh, ketika suatu hari seorang wanita Soroani tertimpa batang sagu nan dirobohkan seorang laki-laki Hobone. Kepalanya pecah dan meninggal di tempat. Padahal sudah terpasang seiye, tanda larangan untuk melewati lahan orang Hobone lantaran sedang masa pembalakan pohon sagu. Kelalaian wanita itu membangkitkan kemarahan nan terperam di dada-dada orang Soroani. Perang tak terhindarkan. Terjadilah saling serang. Busur dan panah beracun, kapak, dan parang beterbangan di tengah rimbun. Setiap hari banyak laki-laki Hobone dan Soroani mati. Banyak nyawa terbawa ke langit, dimuliakan, meninggal di medan perang bagi laki-laki adalah kebanggaan.

“Waita, Bone sudah menghendakimu. Ini untuk mereda peperangan dan sudah jadi kesepakatan para dukun di rumah yowi.”

“Apa Waita kudu ditukar dengan perdamaian?”

“Lebih baik membikin persaudaraan daripada mencipta permusuhan, Waita. Akahi paekahi yae ewelende, wah onomi honomi eungekende. Ingat itu, Waita!” Mama Aname bersikeras.

“Mama, tapi Waita tidak pernah tahu apa nan wanita kerjakan di Soroani.”

“Suamimu dan Mama Ibo bakal mengajarimu menjadi wanita Soroani.”

Mata Waita mengerjap-ngerjap. Baru beberapa hari lampau dia merasakan seremoni menjadi wanita seutuhnya. Waita tetap berjuntai pada Mama Aname dan sekarang dia kudu bersiap untuk dibawa Bone ke humia baru di Soroani. Seperti seekor burung beranjak dari sarang satu ke sarang baru, jika telur-telurnya sudah menetaskan riuh kasuari baru.

Setiap memikirkan jenis perihal baru nan bakal mengubahnya, ada keganjilan nan tumbuh di kepalanya. Waita mengingat gimana sosok Ewoyop. Sosok laki-laki Hobone nan memainkan tifa begitu merdu.

***
Komplikasi:

Kayu-kayu kasuari dibelah dengan kapak. Kayu-kayu itu bakal dibakar dan menghasilkan bara api konstan. Anak-anak mini laki-laki wanita menyunggi bebatuan nan diambil dari sungai. Beberapa laki-laki memanggul babi di pundak. Para ibu membawa betatas dan buah pandan merah di dalam tas hakone nan dikaitkan di kepala mereka. Beberapa tetap digelatuti balita di bagian dada dan menggandeng seorang lagi. Semua wajah begitu ceria.

Tetua budaya dan para dukun di rumah yowimemutuskan bakal mengadakan upacara persembahan untuk alam di tengah Hobone, di sebuah tanah lapang nan bersih dari semak belukar. Beberapa hari lampau longsor mengubur empat desa di lereng gunung. Hobone diselamatkan. Sebagai ucap syukur upacara persembahan digelar, banyak tamu diundang, tari-tarian dan musik dipentaskan.

“Waita, kau menari hari ini?” tanya seorang mama, bibirnya merah lantaran sirih. Seorang bayi, mungkin lima bulan, tidak hendak lepas dari puting kanannya.

“Ya, Mama,” jawab Waita. Mukanya sedang dirias dengan dominan hitam-putih.

Keriuhan merasuki sela-sela pohon sagu sekitar Hobone. Lubang untuk tungku sudah selesai digali. Beberapa laki-laki gegas membikin api, dari seutas sumbu nan digesek dengan batu. Kayu kasuari kering diletakkan di atasnya, lampau batu dipanaskan hingga berganti warna putih. Setelah itu batu dipindahkan dengan batang kayu nan dibelah tengah menjadi penjempit ke dalam tungku. Di sanalah babi, betatas, umbi-umbian, dan jenis sayur siap dibakar.

Laki-laki menunggu di sekeliling tungku sembari mengisap pali, sebatang koteka mengacung hingga dada. Muncul gemerincing bunyi akibat gesekan ujung koteka dengan kalung para lelaki.

Waita bersiap menari. Para musikus sudah siap di ujung perhelatan. Di saat itulah Waita menemukan sosok laki-laki nan begitu tenteram memetik tifa. Ewoyop tidak ubahnya laki-laki Hobone lain, tapi tatapan matanya menyiratkan sinar berbeda. Waita kudu menari. Diiringi musik Ewoyop dan bebunyian dari mulut laki-laki Hobone. Waita mengagumi gimana Ewoyop memukul-mukul tifa secara konstan. Terutama betis Ewoyop tampak begitu kukuh saat melompat-lompat mengatur tempo nyanyian para ibu dan aktivitas penari hukune.

Alam Hobone mengajarkan mata laki-laki bisa menembus segala hal, setajam ujung tombak saat berburu rusa di tengah hutan. Adapun mata wanita kudu merunduk tak berani saling tumpu. Mata wanita hanya untuk mengurus betatas, ladang sagu, pakan babi, dan menyusui para bayi. Tidak lebih dari itu. diam-diam Waita menerawangkan mata hingga dua mata Ewoyop begitu berani merasuk ke tubuhnya.

Sebagaimana kehidupan lereng gunung mengepung Hobone nan tumbuh tanpa komando, ada emosi naluriah manusia nan diam-diam tumbuh di dada Waita. Isyarat itu makin kentara ketika tiba-tiba Ewoyop mengirim seikat betatas dan ubi jalar kepada Waita. Di Hobone jarang terlihat laki-laki dan wanita berbicara. Mereka ragu. Namun keduanya meyakini ada perihal spesial nan mereka rahasiakan. Hanya Waita dan Ewoyop nan tahu, nan mendekap begitu rahasia begitu pribadi.

Namun wanita Hobone tak punya kuasa atas tubuhnya. Tetua budaya dan para dukun rumah yowi memutuskan segalanya. Bahwa Waita bakal dinikahkan dengan Bone untuk meredam bentrok antara dusun atas dan dusun bawah.

***

“Cantik sekali kamu, Waita.”

Waita membalas dengan senyuman hambar. Aneka riasan dan perhiasan dari kerang tertempel di tubuhnya. Bulu cenderawasih dan kasuari tergantung di kepala. Sejak pagi Waita sudah melakukan prosesi adat. Mandi di sungai untuk melunturkan semua kotoran. Kulit hitamnya mengilat tertimpa sinar matahari. Halus. Bibirnya merah, perasan buah pandan merah nan mengilatkan dan meronakan bibir.

“Mama, apa wanita tidak bisa memilih di humia siapa bakal tinggal?”

“Waita, tidakkah Anda tahu tetua dan dukun rumah yowi sudah memutuskan semua? Semua kekayaan budaya sudah diterima. Dan Anda bukan hanya menjadi istri Bone. Kamu adalah peredam bentrok antara dusun atas dan dusun bawah.” Waita menghela napas. Matanya tak hendak berkaca, tapi ada sesuatu nan berguguran di dadanya.

“Katanya wanita dusun bawah kudu bekerja lebih keras daripada wanita dusun atas?”

“Maksudmu?”

Waita menggeleng, mau menarik semua ucapan nan mendadak keluar.

“Waita, semua penunggu humia kudu alim pada suami.”

Sebelum upacara pernikahan dihelat, jenis makanan disiapkan. Tungku untuk bakar batu, babi dan betatas tidak tertinggal. Termasuk jenis musik tifa dan penari. Waita percaya Ewoyop termasuk di dalamnya. Mantra dan dendang ceria disenandungkan oleh tetua budaya dan dukun rumah yowi. Selepas upacara, Waita diboyong ke humia Bone di Soroani.
***

Resolusi:

Waita menatap genting humia. Dia tidur telentang lebih dulu di atas lambaran tikar pandan di lantai dua. Pintu nan sempit sesekali membawa masuk hawa dingin, angin gunung masuk dan menggigilkan tubuh Waita. Di lantai satu api unggun mini berupaya menghangatkan humia.

Bone berdeham. Kemudian unggung dipadamkan. Waita mulai gemetar. Bone naik melalui tangga dan mendekati Waita. Humia gelap, tapi Waita bisa merasakan embusan napas Bone beraroma pali. Bone merengkuh tubuh Waita. Bone menciumi tubuh Waita. Tapi semua ditanggapi dingin. Bone mengunci betis Waita. Bone hendak menyenangkan diri atas tubuh Waita. Anak panah Bone hendak dilepas ketika muncul bunyi lembut terbawa angin masuk ke humia.

“Siapa nan memainkan tifa malam-malam begini?” ***

Catatan:
Humia: nama lain rumah budaya Papua
wam: babi
ijebasik: kulit kerang
wanggokme: kapak batu
ebekanem: tembakau
hunuke: tarian kebahagiaan
Akahi paekahi yae ewelende, wah onomi honomi eungekende: jika semua orang dianggap saudara, hidup kita bakal damai
yomine: pendamai dua perkampungan nan bermusuhan
rumah yowi: rumah inti, tempat berkumpul para dukun dan tetua adat
pali: rokok tradisional

Nah, dengan memandang beragam contoh cerpen nan menarik barusan, apakah Anda menjadi lebih tahu mengenai pengertian dan struktur cerpen? Kamu juga bisa mulai mencoba menganalisis struktur dari cerpen nan Anda baca sehari-hari, lho. Buat nan belum paham, yuk belajar lewat video beranimasi di ruangbelajar! Selain video belajar beranimasi, ada juga soal latihan beserta pembahasannya dan rangkuman.

IDN CTA Blog ruangbelajar Ruangguru

Referensi:

Catatan Pringadi [daring]. Tautan: https://catatanpringadi.com/category/cerpen/ (Diakses: 19 September 2023)

Kliping Sastra Indonesia [daring]. Tautan: https://klipingsastra.wordpress.com/ (Diakses: 19 September 2023)

Nafisah, Sarah. 2020. Cerpen Anak: Gara-Gara Nenek Lupa. Diakses dari https://bobo.grid.id/read/082010265/cerpen-anak-gara-gara-nenek-lupa?page=all pada 7 Oktober 2022.

Narakata. 2022. Cerpen Suatu Sisi Dalam Hidupmu Karya Andriani. Diakses dari https://www.narakata.id/2022/01/cerpen-suatu-sisi-dalam-hidupmu-karya.html pada 7 Oktober 2022.

Suherli dkk. 2017. Bahasa Indonesia untuk SMA/MA Kelas 11. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.

Trianto, Agus dkk. 2018. Bahasa Indonesia (edisi revisi). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.

Toemon, Sylvana. 2018. Lukisan Kasih Sayang. Diakses dari https://bobo.grid.id/read/08674606/lukisan-kasih-sayang?page=all pada 7 Oktober 2022.

Martin, Syrli. 2016. Si Kancil dan Buaya dari http://cerpenmu.com/cerpen-anak/kancil-dan-buaya.html pada 22 November 2022.

Vara. 2014. Kerbau dan Jalak dari https://kumpulantulisan25.blogspot.com/2014/12/cerpen-karya-anak-vara.html pada 22 November 2022.

Sumber Gambar:

brgfx. Free vector cartoon character of a boy playing guitar with melody symbols [daring]. Tautan: https://www.freepik.com/free-vector/cartoon-character-boy-playing-guitar-with-melody-symbols_18616513.htm#page=2&query=boy%20playing%20a%20guitar&position=9&from_view=search&track=ais (Diakses: 19 September 2023)

pch.vektor. People Reading Books in Library [daring]. Tautan: https://www.freepik.com/free-vector/people-reading-books-library_9650640.htm#query=reading%20a%20book&position=3&from_view=search&track=ais (Diakses: 18 September 2023)

Artikel ini pertama kali ditulis oleh Shabrina Alfari, diperbarui oleh Adya Rosyada Yonas, kemudian diperbarui lagi oleh Laras Sekar Seruni pada 19 September 2023.

Source ruangguru.com
ruangguru.com